Sastra memungkinkan seseorang memiliki kelembutan
dan kebijakan hati tak terbantahkan. Bekal yang berharga untuk dimiliki oleh
seorang pemimpin. Itu mungkin kiranya yang membuat kita tak akan pernah heran
menyimak kisah seorang Siti Aisyah Wa Tenriolle sang Datu dari Tenatte,
Sulawesi Selatan. Kecerdasan literasinya telah berjasa dalam mengumpulkan
naskah I La Galigo, sebuah epos yang didakwa sebagai epos terpanjang di dunia.
Sungguh indah menyimak kisah kepemimpinan seorang wanita pecinta sastra, tentu
mampu terlukiskan di benak kita betapa bijak dan dicintai rakyatnya.
Tak kalah indah juga dengan kisah sang
Heldhafting dari bumi serambi mekkah.
Helfdafting adalah sebuah gelar yang bermakna Gagah Berani. Gelar tersebut
memang sangat tepat sekali melekat pada seorang Pocut Meurah Intan, seorang wanita
pemberani yang bersenjatakan rencong seorang diri untuk menghadapi para
penjajah. Siapa pula orang yang tak terkagum-kagum pada aksinya yang sungguh
berani.
Sama kiranya kagum yang tak terbendung saat menyimak
kisah seorang Rainha de Japara, senhora
paderosa erica, Ratu dari Jepara. Julukan yang dilayangkan oleh Diego de Couto
(penulis Portugis) kepada Ratu Kalinyamat. Tak berlebihan memang jika kita
menyimak betapa luarbiasanya Ratu Kalinyamat saat menghidupkan kembali
perekonomian Jepara yang saat itu telah
porak poranda akibat perang saudara.
Aisyah Wa
Tenriolle, Pocut Meurah Intan, dan Ratu Kalinyamat adalah tiga diantara 17
tokoh yang termuat kisahnya dalam buku “Perempuan Pejuang”. Buku yang disusun
oleh Widi Astuti ini menyuguhkan beberapa kisah heroik yang inspiratif dan
menambah wawasan kita tentang sejarah Indonesia. Satu hal yang istimewa dalam
buku ini, khusus mengangkat kisah para pejuang perempuan, yang kemudian
ditasbihkan sebagai jejak perjuangan perempuan Islam Nusantara dari masa ke
masa.
Buku setebal 143
halaman ini mengajak pembaca untuk mengingat kembali tentang peran penting para
perempuan pejuang yang namanya kerap terabaikan. Seolah memberikan ingatan
kepada kita akan sebuah adagium “negara yang besar adalah yang menghargai jasa
para pahlawannya”. Tentu bukan menghargai dalam simbolitas belaka, namun
bagaimana kita dapat menyelami kisah-kisah perjuangan para pahlawan yang penuh
dengan pelajaran. Apalagi buku ini juga
memberikan cakrawala baru kepada kita pada tokoh-tokoh perempuan yang selama
ini luput dari perhatian. Kita mungkin cukup jarang mendengar nama Pocut Meurah
Intan, Rohana Kudus, Safiatudin, Tengku Fakinah, dan lain-lain. Mereka adalah
nama-nama indah yang turut mengukir sejarah nusantara tercinta ini. Kehadiran
buku ini cukup menambah khasanah baru khususnya bagi generasi muda yang
fenomenanya kian hari makin kurang mengenal sejarah bangsanya sendiri.
Sebagai sedikit
informasi, historiografi atau penulisan sejarah di Indonesia telah dimulai
sejak lampau dengan adanya penulisan dalam bentuk naskah. Naskah-naskah
tersebut kemudian kita kenal dengan babad, hikayat, kronik, tambo, dan
lain-lain. Bentuk naskah tersebut merupakan historiografi tradisional yang
lebih mengutamakan hikmah dibanding adanya kebenaran fakta. Berbeda dengan
historiografi modrn yang sangat mementingkan fakta.
Pada
perkembangannya, bentuk penulisan sejarah juga membutuhkan ide kemasan. Hal ini
lebih kepada bagaimana pembaca dapat menikmati kisah sejarah itu dengan cara
yang lebih nyaman. Maka muncul pula adanya genre fiksi sejarah pada karya-karya
sastra. Adapun buku Perempuan Pejuang ini adalah kategori nonfiksi. Tentu saja
ini berkonsekuensi pada keakuratan serta kedalaman uraian informasi yang termuat.
Menjadi ganjalan sendiri ketika membaca kisah ketujuhbelas tokoh perempuan
pejuang yang disajikan dalam bentuk lintasan saja.
Secara teknis,
dalam buku ini kita akan menemuka tujuh belas profil singkat para perempuan
pejuang yang telah dipilih oleh penulis. Pembaca mungkin tak perlu
berekspektasi untuk mendapatkan informasi baru dalam buku ini, karena memang
informasi yang diberikan pada buku ini masih bersifat sangat umum. Namun
keberadaan buku ini memang sangat bermanfaat sebagai pengingat pada kita semua.
Akan sangat
menarik misalnya penyampaian kisah atau profil para perempuan pejuang ini lebih
mendalam. Ini yang memang menjadi salah satu titik tersulit dalam penulisan
buku sejarah. Ketika kita akan menuliskan sejarah, satu hal yang tidak bisa dilepas
adalah bahwa kita sedang menuliskan fakta yang pernah terjadi. Syarat penting
dari penulisan kisah sejarah adalah adanya sumber informasi yang valid dan
beragam. Buku sejarah tentunya bukan buku rangkuman dari berbagai buku sejarah
yang sudah pernah ada sebelumnya. Ada kedekatan personal penulis dengan subyek
atau obyek sejarah yang akan ditulisnya. Tak jarang kita mendengar sebuah buku
sejarah ditulis membutuhkan waktu yang begitu panjang karena harus mengumpulkan
data, wawancara, mengolah, analisa, dan sebagainya. Misalnya bahwa penulisan
sejarah tak bisa terlepas dari berbagai sudut pendekatan, sosiologis,
antropologis, psikologis, yang seharusnya memungkinkan penulis untuk mengangkat
bagaimana kondisi budaya masyarakat di masing-masing wilayah mengenai pemimpin
perempuan. Faktor budaya masyarakat bugis, jawa, melayu tentunya punya peran
yang tak sedikit terhadap perjalanan para srikandi penjaga negeri tersebut. Harapannya,
buku Perempuan Pejuang ini tidak hanya sampai pada titik “sudah terbit”, tapi
ada khasanah baru yang dihadirkan untuk pembaca. Bukan pula sebagai “peluang”
yang sangat prospektif untuk mengangkat tema gender yang katanya belum dilirik
para penulis sejarah – seperti tercantum pada sebuah testimoni.
Hal teknis lain
dalam pembacaan buku Perempuan Pejuang juga banyak yang perlu dikritisi.
Seperti tata letak serta ilustrasi yang kurang kuat. Beberapa keterkaitan antar
paragraf dalam satu kisah, kiranya jika ditata kembali akan menarik antusiasme
pembacaan yang lebih kuat lagi. Lepas dari itu semua, salut atas terbitnya buku
Perempuan Pejuang ini. Sebagai sebuah bagian dari ensiklopedi sejarah, kita
perlu menyangjungkan terimakasih atas inisiatif penulis menghadirkan buku ini.
Sebagai buku sejarah, semoga ini menjadi awalan yang dapat memacu semangat
mencintai dan mempelajari penulisan sejarah. Pada akhirnya, jika hidup adalah
rangkaian kisah, salah satu cara memaknainya adalah dengan menghargai sejarah.
Tabik. J
Judul buku :
Perempuan Pejuang, Jejak Perjuangan Perempuan Islam Nusantara dari Masa ke Masa
Penulis :
Widi Astuti
Penerbit :
Konstanta Publishing House
Tahun Terbit : Agustus 2013
Tebal buku :
XV + 143 halaman.
No comments:
Post a Comment