Akhir bulan lalu, hasil judicial
review terhadap UU zakat telah keluar setelah sekira satu tahun
diperjuangkan oleh beberapa lembaga penghimpun zakat. Nampaknya dunia zakat kini mulai makin
bergeliat dan memunculkan dinamikanya yang menarik di negara kita. Tentunya hal
ini merupakan ruang yang bagus untuk kita dapat lebih mengenalkan pentingnya
zakat kepada masyarakat luas. Hal yang
terpenting dalam kita berdialektika tentang zakat adalah bukan pada seberapa
banyak atau seberapa hebat, tapi bagaimana pemahaman zakat dapat diterima
dengan baik dan mudah oleh masyarakat. Zakat bukan sekedar ritual atau doktrin
dalam sebuah sistem kepercayaan belaka. Bukankah dalam setiap perintahNya, kita
diwajibkan untuk menuai banyak pesan serta pelajaran? Kemampuan yang telah
diberikan Tuhan kepada manusia adalah untuk menganalisa tiap ajaranNya dengan
baik serta mengeksekusinya untuk kemaslahatan semesta dan seisinya.
Dalam wacana umum, membicarakan
Zakat biasanya tak lepas dari kata infaq, sedekah, dan sejenisnya. Penamaan
lembaga penghimpun zakat pun lazim dikenal masyarakat dengan akronim seperti
BAZIS atau LAZIS, yang mengikutsertakan instrument infak serta sedekah di
dalamnya. Tak jarang pula masyarakat tak begitu memahami apa perbedaan antara
zakat, infak, dan sedekah. Kita menumpukannya pada satu kata umum : memberi,
atau dikenal juga istilah karitas / charity yang kemudian kita juga mulai akrab dengan
istilah filantropi.
Perkembangan dunia zakat tak dapat
dilepas kaitannya dengan perkembangan filantropi pada era saat ini. Jurnal
berita Inggris, The Economist, menyatakan bahwa di abad ini kita mungkin
sedang meilihat munculnya “zaman keemasan filantropi”. Yayasan-yayasan
filantropi mencul bak tumbuhnya jamur di musim penghujan. Tiap moment selalu
ada peluang untuk menggalakkan gerakan filantropi. Entah masalahnya menyangkut
kemiskinan, perawatan kesehatan,
lingkungan, pendidikan, atau keadilan sosial, orang-orang dari kalangan ekonomi
atas khususnya ”semakin tidak sabar terhadap tidak memadainya upaya pemerintah
dan upaya internasional untuk menyelesaikan atau memperbaiki masalah-masalah
itu”, kata Joel Fleishman dalam bukunya The
Foundation: A Great American Secret—How Private Wealth Is Changing the World.
Zakat, infaq, dan sedekah
dimasukan sebagai salah satu yang termasuk dalam filantropi islam. Meskipun
secara filosofis ada perbedaan antara filantropi dan ibadah zakat. Di Indonesia
sendiri, kemunculan lembaga-lembaga filantropi islam mulai meningkat pasca orde
baru. Kondisi ini dipengaruhi situasi sosial politik yang memungkinkan warga
memiliki ruang aktualisasi lebih luas.
Bentuk dari gerakan filantropi
islam ini pun memiliki bermacam-macam motif. Dari gerakan penghimpunan yang sifatnya
merespon peristiwa-peristiwa sosial sampai yang dikemas dalam bentuk
bisnis/usaha yang mendatangkan profit. Lepas dari positif dan negative tiap
bentuk gerakan tersebut, point positifnya adalah tersedia banyak metode untuk
menghimpun dana kepedulian pada berbagai elemen masyarakat. Tentunya kita tahu
tidak semua orang mudah untuk bisa diundang empatinya dan peduli serta
merelakan sebagian hartanya. Ada yang perlu digelitik lewat jalan bisnis murni
atau bidang-bidang publik seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan , dan
lain-lain. Sebagai contoh, orang yang punya interest dalam dunia
kesehatan akan mudah ketika diajak masuk dalam group yang menggalang dana untuk
rumah sakit di daerah rawan perang.
Namun jamaknya gerakan filantropi
yang ada dirasa masih bersifat reaksioner. Kita akan sibuk “memproduksi”
program-program penghimpunan dana yang mungkin tak ada habisnya. Tapi, sebanyak
apapun agenda filantropi, semua tetap terbatas. Kita tak mungkin mengagendakan
bencana untuk dapat melakukan penghimpunan besar. Belum lagi masalah
subyektifitas terhadap ideologi-ideologi yang kadang menjadi pertimbangan untuk
seseorang beramal. Disinilah Zakat dan Infaq memiliki peran penting untuk
dikembangkan.
Di negeri yang mayoritas
penduduknya muslim, seharusnya orang tak perlu takut untuk menjadi miskin dan
tak terlalu obsesif untuk menjadi kaya. Adanya perintah zakat adalah jaminan
bahwa kita dipercaya Tuhan untuk mengelola kesimbangan dan kesejahteraan. Miskin ataupun kaya hanyalah atribut
keduniaan yang bisa melekat pada siapa saja, kedudukannya sama sebagai aktor
dan aktris yang menjalankan skenario kehidupan. Kewajiban masing-masing sudah
jelas, berusaha dengan sebaik-baiknya usaha. Seluruh harta yang ada di bumi ini
adalah milik Allah, yang diamanahkan melalui orang-orang berpunya. Mereka yang
diamanahi punya kewajiban mengimplementasikan syukurnya dengan mengelola
hartanya supaya berkah dan bermanfaat bagi banyak orang. Bagi yang dipercaya
menjadi miskin, juga mendapat amanah untuk menjalani kehidupannya dengan penuh
kesabaran. Diantara dua unsur itu, kemudian munculah amil yang memiliki peran
teramat besar untuk menghimpun dan menyalurkan zakat dengan tetap menjaga
keikhlasan sang kaya serta menjaga harga diri sang miskin. Zakat dan infaq
adalah “jaminan” kehidupan berlangsung sejahtera. Sejahtera bukan berarti tak
ada penduduk miskin, karena kemiskinan itu memang tak dapat serta merta
dihapuskan. Itu adalah bagian dari puzzle kehidupan yang tak dapat
dilepas. Pointnya, kampanye zakat perlu
lebih dikuatkan frekuensinya dibanding agenda-agenda filantropi islam secara
umum. Trend filantropi sudah mulai meningkatkan , kemudian bagaimana dengan
trend zakat?
Memang bukan suatu hal yang
bermasalah ketika semangat filantropi perlahan mulai menjamak dan menjadi trend
di tengah masyarakat. Hal yang menjadi PR besar bagi kita adalah masyarakat
muslim memahami kewajibannya untuk berzakat yang bukan sekadar memberi. Zakat
adalah unsur penting yang ditempatkan sebagai salah satu rukun Islam.
Kehadirannya secara naqli sudah jelas terpampang di banyak ayat Al-Quran yang
disempurnakan melalui hadits serta penjelasan-penjelasa teknis fiqhnya oleh
para ulama. Pemahaman awam memungkinkan kita untuk mengasumsikan persamaan
antara aktivitas filantropi dengan zakat. Padahal, beramal itu belum tentu
berzakat, tapi berzakat sudah sekaligus beramal dan zakat termasuk ibadah yang
mencakup dimensi vertical serta horizontal. Jangan sampai orang-orang akrab
dengan sedekah, dengan amal, tetapi tidak familiar dengan zakat. Pun pada
nominal yang lebih besar. Bagaimanapun juga, zakat merupakan ibadah yang
memerlukan “akad” dan penyalurannya memiliki aturan yang cukup ketat.
Zakat menjadi kebutuhan bagi umat
Islam untuk menunaikannya. Antusias berzakat perlu ditingkatkan. Sama halnya
ketika ribuan umat muslim tiap tahun berbondong-bondong untuk mendaftarkan
dirinya sebagai calon jamaah haji, begitu juga orang-orang yang mendaftarkan
dirinya sebagai wajib zakat yang minta dikelola zakatnya tiap tahun.
Jika mengutip hasil kajian Asian
Development Bank (ADB) potensi zakat di Indonesia mencapai 100 triliun rupiah.
Nilai itu masih menjadi “mitos” mengingat pencapaian yang hingga kini sudah
tercatat oleh BAZNAS – sebagai lembaga koordinator zakat nasional- bahkan belum
mencapai separuhnya. Dalam arti lain, berkembangnya lembaga filantropi islam
masih berjalan lambat dalam menggaungkan budaya zakat masyarakat.
Kenapa potensi zakat belum dapat
maksimal, banyak kemungkinan faktor yang salah satunya adalah belum
tersosialisasinya zakat dengan baik ke masyarakat. Akses untuk membayar zakat
juga masih terbatas. Kondisi inilah sebenarnya yang kemudian memberangkatkan
langkah kaki para penggiat zakat untuk melakukan Judicial Review (JR)
terhadap UU zakat di setahun yang lalu.
Pengajuan JR terhadap regulasi zakat
seharusnya tidak dimaknai sebagai ekspresi kekhawatiran “kehilangan lapak” yang
sudah lama dijalankan oleh lembaga-lembaga zakat non pemerintah. Seharusnya
justru BAZNAS lah yang menggawangi adanya JR ini, karena UU sebelum JR
sebetulnya justru menjadi sandungan bagi para amilin untuk mengoptimalkan
potensi zakat nasional secara maksimal. Pengajuan JR ini perlu dimaknai sebagai
otokritik pada lembaga filantropi islam pada umumnya dan BAZNAS pada khususnya.
Bahwa gerakan menggalakan budaya zakat ini masih lemah sistem koordinasinya.
Regulasi yang dibutuhkan adalah yang memungkinkan masyarakat lebih mudah untuk
terbuka pemahamannya mengenai zakat serta lebih mudah untuk menunaikan
zakatnya. Untuk itu diperlukan banyak pejuang zakat yang menjangkau seluruh
penjuru nusantara, dengan segala upaya kreativitasnya masing-masing. Semakin
banyak lembaga zakat yang berkembang, semakin tinggi tingkat eksekusi
distribusi rezeki dan kesejahteraan di tengah masyarakat. Ruang-ruang koordinasi serta edukasi juga
perlu disediakan untuk seluruh pejuang zakat di berbagai penjuru. Supaya semua
memahami pentingnya profesionalisme dalam pengelolaan zakat. Juga supaya dapat
terjalinkan sinergi antar lembaga di antar wilayah supaya potensi zakatnya
dapat teroptimalkan dengan baik.
Ini hanya uraian testimoni yang
sangat sederhana sebagai respons melihat perkembangan dunia filantropi islam
pada umumnya dan zakat pada khususnya. Sekadar melemparsambutkan semangat
pengoptimalan potensi zakat. Semoga semakin riuh ide serta aksi yang muncul,
semakin berlimpah berkah dalam satu sketsa sebagai sebuah negara yang penuh
rahmat dari Sang Maha Kuasa. Tabik.
Shinta arDjahrie
Fundraising Manager Lazis Mafaza Peduli Ummat
Purwokerto
No comments:
Post a Comment