Pages

Tuesday, November 26, 2013

Menakar Budaya Zakat Masyarakat : Sebuah Testimoni

Akhir bulan lalu, hasil judicial review terhadap UU zakat telah keluar setelah sekira satu tahun diperjuangkan oleh beberapa lembaga penghimpun zakat.  Nampaknya dunia zakat kini mulai makin bergeliat dan memunculkan dinamikanya yang menarik di negara kita. Tentunya hal ini merupakan ruang yang bagus untuk kita dapat lebih mengenalkan pentingnya zakat kepada masyarakat luas.  Hal yang terpenting dalam kita berdialektika tentang zakat adalah bukan pada seberapa banyak atau seberapa hebat, tapi bagaimana pemahaman zakat dapat diterima dengan baik dan mudah oleh masyarakat. Zakat bukan sekedar ritual atau doktrin dalam sebuah sistem kepercayaan belaka. Bukankah dalam setiap perintahNya, kita diwajibkan untuk menuai banyak pesan serta pelajaran? Kemampuan yang telah diberikan Tuhan kepada manusia adalah untuk menganalisa tiap ajaranNya dengan baik serta mengeksekusinya untuk kemaslahatan semesta dan seisinya. 

Dalam wacana umum, membicarakan Zakat biasanya tak lepas dari kata infaq, sedekah, dan sejenisnya. Penamaan lembaga penghimpun zakat pun lazim dikenal masyarakat dengan akronim seperti BAZIS atau LAZIS, yang mengikutsertakan instrument infak serta sedekah di dalamnya. Tak jarang pula masyarakat tak begitu memahami apa perbedaan antara zakat, infak, dan sedekah. Kita menumpukannya pada satu kata umum : memberi, atau dikenal juga istilah karitas / charity  yang kemudian kita juga mulai akrab dengan istilah filantropi.

Perkembangan dunia zakat tak dapat dilepas kaitannya dengan perkembangan filantropi pada era saat ini. Jurnal berita Inggris, The Economist, menyatakan bahwa di abad ini kita mungkin sedang meilihat munculnya “zaman keemasan filantropi”. Yayasan-yayasan filantropi mencul bak tumbuhnya jamur di musim penghujan. Tiap moment selalu ada peluang untuk menggalakkan gerakan filantropi. Entah masalahnya menyangkut kemiskinan, perawatan kesehatan, lingkungan, pendidikan, atau keadilan sosial, orang-orang dari kalangan ekonomi atas khususnya ”semakin tidak sabar terhadap tidak memadainya upaya pemerintah dan upaya internasional untuk menyelesaikan atau memperbaiki masalah-masalah itu”, kata Joel Fleishman dalam bukunya The Foundation: A Great American Secret—How Private Wealth Is Changing the World.  

Zakat, infaq, dan sedekah dimasukan sebagai salah satu yang termasuk dalam filantropi islam. Meskipun secara filosofis ada perbedaan antara filantropi dan ibadah zakat. Di Indonesia sendiri, kemunculan lembaga-lembaga filantropi islam mulai meningkat pasca orde baru. Kondisi ini dipengaruhi situasi sosial politik yang memungkinkan warga memiliki ruang aktualisasi lebih luas.

Bentuk dari gerakan filantropi islam ini pun memiliki bermacam-macam motif. Dari gerakan penghimpunan yang sifatnya merespon peristiwa-peristiwa sosial sampai yang dikemas dalam bentuk bisnis/usaha yang mendatangkan profit. Lepas dari positif dan negative tiap bentuk gerakan tersebut, point positifnya adalah tersedia banyak metode untuk menghimpun dana kepedulian pada berbagai elemen masyarakat. Tentunya kita tahu tidak semua orang mudah untuk bisa diundang empatinya dan peduli serta merelakan sebagian hartanya. Ada yang perlu digelitik lewat jalan bisnis murni atau bidang-bidang publik seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan , dan lain-lain. Sebagai contoh, orang yang punya interest dalam dunia kesehatan akan mudah ketika diajak masuk dalam group yang menggalang dana untuk rumah sakit di daerah rawan perang.

Namun jamaknya gerakan filantropi yang ada dirasa masih bersifat reaksioner. Kita akan sibuk “memproduksi” program-program penghimpunan dana yang mungkin tak ada habisnya. Tapi, sebanyak apapun agenda filantropi, semua tetap terbatas. Kita tak mungkin mengagendakan bencana untuk dapat melakukan penghimpunan besar. Belum lagi masalah subyektifitas terhadap ideologi-ideologi yang kadang menjadi pertimbangan untuk seseorang beramal. Disinilah Zakat dan Infaq memiliki peran penting untuk dikembangkan.

Di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, seharusnya orang tak perlu takut untuk menjadi miskin dan tak terlalu obsesif untuk menjadi kaya. Adanya perintah zakat adalah jaminan bahwa kita dipercaya Tuhan untuk mengelola kesimbangan dan kesejahteraan.  Miskin ataupun kaya hanyalah atribut keduniaan yang bisa melekat pada siapa saja, kedudukannya sama sebagai aktor dan aktris yang menjalankan skenario kehidupan. Kewajiban masing-masing sudah jelas, berusaha dengan sebaik-baiknya usaha. Seluruh harta yang ada di bumi ini adalah milik Allah, yang diamanahkan melalui orang-orang berpunya. Mereka yang diamanahi punya kewajiban mengimplementasikan syukurnya dengan mengelola hartanya supaya berkah dan bermanfaat bagi banyak orang. Bagi yang dipercaya menjadi miskin, juga mendapat amanah untuk menjalani kehidupannya dengan penuh kesabaran. Diantara dua unsur itu, kemudian munculah amil yang memiliki peran teramat besar untuk menghimpun dan menyalurkan zakat dengan tetap menjaga keikhlasan sang kaya serta menjaga harga diri sang miskin. Zakat dan infaq adalah “jaminan” kehidupan berlangsung sejahtera. Sejahtera bukan berarti tak ada penduduk miskin, karena kemiskinan itu memang tak dapat serta merta dihapuskan. Itu adalah bagian dari puzzle kehidupan yang tak dapat dilepas.  Pointnya, kampanye zakat perlu lebih dikuatkan frekuensinya dibanding agenda-agenda filantropi islam secara umum. Trend filantropi sudah mulai meningkatkan , kemudian bagaimana dengan trend zakat?

Memang bukan suatu hal yang bermasalah ketika semangat filantropi perlahan mulai menjamak dan menjadi trend di tengah masyarakat. Hal yang menjadi PR besar bagi kita adalah masyarakat muslim memahami kewajibannya untuk berzakat yang bukan sekadar memberi. Zakat adalah unsur penting yang ditempatkan sebagai salah satu rukun Islam. Kehadirannya secara naqli sudah jelas terpampang di banyak ayat Al-Quran yang disempurnakan melalui hadits serta penjelasan-penjelasa teknis fiqhnya oleh para ulama. Pemahaman awam memungkinkan kita untuk mengasumsikan persamaan antara aktivitas filantropi dengan zakat. Padahal, beramal itu belum tentu berzakat, tapi berzakat sudah sekaligus beramal dan zakat termasuk ibadah yang mencakup dimensi vertical serta horizontal. Jangan sampai orang-orang akrab dengan sedekah, dengan amal, tetapi tidak familiar dengan zakat. Pun pada nominal yang lebih besar. Bagaimanapun juga, zakat merupakan ibadah yang memerlukan “akad” dan penyalurannya memiliki aturan yang cukup ketat.

Zakat menjadi kebutuhan bagi umat Islam untuk menunaikannya. Antusias berzakat perlu ditingkatkan. Sama halnya ketika ribuan umat muslim tiap tahun berbondong-bondong untuk mendaftarkan dirinya sebagai calon jamaah haji, begitu juga orang-orang yang mendaftarkan dirinya sebagai wajib zakat yang minta dikelola zakatnya tiap tahun.

Jika mengutip hasil kajian Asian Development Bank (ADB) potensi zakat di Indonesia mencapai 100 triliun rupiah. Nilai itu masih menjadi “mitos” mengingat pencapaian yang hingga kini sudah tercatat oleh BAZNAS – sebagai lembaga koordinator zakat nasional- bahkan belum mencapai separuhnya. Dalam arti lain, berkembangnya lembaga filantropi islam masih berjalan lambat dalam menggaungkan budaya zakat masyarakat.

Kenapa potensi zakat belum dapat maksimal, banyak kemungkinan faktor yang salah satunya adalah belum tersosialisasinya zakat dengan baik ke masyarakat. Akses untuk membayar zakat juga masih terbatas. Kondisi inilah sebenarnya yang kemudian memberangkatkan langkah kaki para penggiat zakat untuk melakukan Judicial Review (JR) terhadap UU zakat di setahun yang lalu.

Pengajuan JR terhadap regulasi zakat seharusnya tidak dimaknai sebagai ekspresi kekhawatiran “kehilangan lapak” yang sudah lama dijalankan oleh lembaga-lembaga zakat non pemerintah. Seharusnya justru BAZNAS lah yang menggawangi adanya JR ini, karena UU sebelum JR sebetulnya justru menjadi sandungan bagi para amilin untuk mengoptimalkan potensi zakat nasional secara maksimal. Pengajuan JR ini perlu dimaknai sebagai otokritik pada lembaga filantropi islam pada umumnya dan BAZNAS pada khususnya. Bahwa gerakan menggalakan budaya zakat ini masih lemah sistem koordinasinya. Regulasi yang dibutuhkan adalah yang memungkinkan masyarakat lebih mudah untuk terbuka pemahamannya mengenai zakat serta lebih mudah untuk menunaikan zakatnya. Untuk itu diperlukan banyak pejuang zakat yang menjangkau seluruh penjuru nusantara, dengan segala upaya kreativitasnya masing-masing. Semakin banyak lembaga zakat yang berkembang, semakin tinggi tingkat eksekusi distribusi rezeki dan kesejahteraan di tengah masyarakat.  Ruang-ruang koordinasi serta edukasi juga perlu disediakan untuk seluruh pejuang zakat di berbagai penjuru. Supaya semua memahami pentingnya profesionalisme dalam pengelolaan zakat. Juga supaya dapat terjalinkan sinergi antar lembaga di antar wilayah supaya potensi zakatnya dapat teroptimalkan dengan baik. 

Ini hanya uraian testimoni yang sangat sederhana sebagai respons melihat perkembangan dunia filantropi islam pada umumnya dan zakat pada khususnya. Sekadar melemparsambutkan semangat pengoptimalan potensi zakat. Semoga semakin riuh ide serta aksi yang muncul, semakin berlimpah berkah dalam satu sketsa sebagai sebuah negara yang penuh rahmat dari Sang Maha Kuasa. Tabik.

Shinta arDjahrie
Fundraising Manager Lazis Mafaza Peduli Ummat
Purwokerto






Title: Menakar Budaya Zakat Masyarakat : Sebuah Testimoni; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: