Menilik sejenak 83
tahun yang telah lalu, di bulan yang sama dengan saat ini (Oktober.red) , tak
kurang dari hitungan jari , sekelompok anak muda pernah tergugah dan berhasil
menciptakan sejarah. Rangkaian frasa yang mereka kumandangkan pada Kongres
Pemuda II ternyata menjadi sebuah inspirasi yang tak pernah mati bagi bangsa
ini. Saat itu Muhammad Yamin cukup bernas menyampaikan arti dan hubungan
persatuan dengan pemuda. Ia berkata bahwa ada lima faktor yang bisa memperkuat
persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum, adat, pendidikan, dan
kemauan. Hingga pada penutup rapat berkumandanglah secarik deklarasi yang dikenal
sebagai sumpah pemuda . Paduan kumandang sumpah itu memiliki notasi semangat
yang alunannya bahkan menjadi trade mark
semangat bagi generasi muda Indonesia hingga kini.
Bergerak ke tujuh
belas tahun dari kumandang sumpah pemuda, sekelompok pemuda lain menciptakan
sejarah yang tak kalah hebat. Letupan riak darah muda yang mengalir pada tubuh
seorang Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana ternyata mampu memaksa mereka berbuat
“nekad” menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk mendesak agar
segera diproklamirkan pernyataan kemerdekaan. Tak dapat digambarkan pula
bagaimana perasaan seorang Latief Hendraningrat dan Soehoed saat mengibarkan
Sang Saka Merah Putih dengan iringan Indonesia Raya serta pekikan merdeka di
hari tujuh belas bulan delapan tahun 05 berdasarkan perhitungan tahun jepang saat
itu.
Mei 1998, rakyat Indonesia
mengenal kata “reformasi” sebagai sebuah diksi yang sepadan pentingnya dengan
nasi. Lagi-lagi anak muda yang unjuk gigi. Sejarah mencatat ratusan ribu
generasi muda turun ke jalan menuntut
sebuah perubahan. Pemerintahan Soeharto yang berjalan lebih dari tiga dasawarsa
itu memasuki buritannya. Aspal jalanan mendidih berbenturan dengan gemuruh
semangat. Pekik reformasi menggerung di jalanan ibukota, menggelora hingga ke pelosok-pelosok
daerah. Desakan itu sangat kuat hingga akhirnya “the old man most probably has resigned”[i].
Baik itu Muhammad
Yamin, Soegondo, Chairul Saleh, Latief Hendraningrat, hingga ke Elang dan
kawan-kawan, sama-sama berangkat dari sebuah titik jenuh pada situasi dan
kondisi di masanya masing-masing. Tahun 1928, dimana organisasi pemuda mulai
menjamur dengan membawa bendera masing-masing. Jong Java, jong celebes, serta
organisasi lain yang berbasiskan semangat primodialisme muncul di setiap sudut
wilayah Indonesia. Mereka bergerak, namun sendiri-sendiri. Kondisi ini berjalan
dalam beberapa tempo yang lama-kelamaan hampir menuju sebuah rasa jenuh.
Kejenuhan yang menstimulan adanya pemikiran bahwa “nggak bisa kayak gini terus”.
Begitu pula dengan Chairul Saleh dan kawan-kawan. Gejolak semangatnya adalah sebuah efek dari rasa jenuh atas kondisi bangsa yang terjajah. Lebih dari tiga abad, rakyat ditindas bangsa lain, kondisi tersebut terjadi berulang-ulang , sangat menjenuhkan. Hampir sama dengan kejenuhan yang muncul akibat tiga dasawarsa kepemimpinan otoriter di rezim orde baru. Pembungkaman aktivis yang membuat hidup berjalan monoton, tanpa dinamika. Pemerintah selalu benar, rakyat tak boleh membantah. Lama kelamaan diam yang dipaksakan itu adalah sebuah kejenuhan yang sungguh tak terperi.
Begitu pula dengan Chairul Saleh dan kawan-kawan. Gejolak semangatnya adalah sebuah efek dari rasa jenuh atas kondisi bangsa yang terjajah. Lebih dari tiga abad, rakyat ditindas bangsa lain, kondisi tersebut terjadi berulang-ulang , sangat menjenuhkan. Hampir sama dengan kejenuhan yang muncul akibat tiga dasawarsa kepemimpinan otoriter di rezim orde baru. Pembungkaman aktivis yang membuat hidup berjalan monoton, tanpa dinamika. Pemerintah selalu benar, rakyat tak boleh membantah. Lama kelamaan diam yang dipaksakan itu adalah sebuah kejenuhan yang sungguh tak terperi.
Fenomena yang
berjalan berulang-ulang. Repetisi kondisi dalam sebuah lingkaran yang dianggap
“nyaman” oleh kelompok tertentu sebenarnya membuat hidup ini tak terasa hidup.
Era ini kemudian
terus bergulir, sampai pada zona dimana digital menjadi hal yang sangat vital.
Ruang-ruang yang tadinya terpisahkan oleh ratusan kilometer jarak dan perbedaan
waktu bisa menjadi terasa dekat dengan hanya jeda satu spasi. Mata dan fikiran
ini terasa dibuka dengan lebih lebar hanya dengan menyimak informasi dari
layar. Kemudian tak ayal teknologi informasi kini telah menjadi sebuah
fenomena. Internet menjadi hal yang familiar dalam atmosfer kehidupan masa
kini. Saat ini kita tentunya tidak asing lagi dengan Facebook, twitter,
Youtube, Flickr, Wikipedia, weblog, dan lain sebagainya. Media jejaring sosial merupakan perkembangan dari
teknologi web 1.0 menjadi web 2.0. Web 2.0 memiliki ciri
penting yaitu share, collaborate, dan
exploit. Situs jejaring sosial berbasis web 2.0
memiliki potensi tinggi dalam meningkatkan partisipasi dan memasifkan suatu hal
karena memungkinkan terjadinya interaksi
yang dinamis.
Tingkat penggunaan
media jejaring nasional di Indonesia cukup tinggi. Departemen Komunikasi dan
Informasi menghitung bahwa pengguna Internet di Indonesia sampai dengan awal
tahun 2009 adalah 25 juta orang. Data terbaru dari situs alexa.com, situs
terbanyak yang dikunjungi peselancar dunia maya adalah situs jejaring sosial
Facebook. Masih dari Alexa,
orang Indonesia terbanyak kelima setelah Amerika Serikat, Prancis, Italia,
Inggris, dan India. Dari data Google Adplannner per Juni 2009, facebook
menempati urutan pertama situs yang sering diakses oleh pengguna internet (netter) Indonesia dengan pengakses
sebanyak tiga puluh juta orang. Data yang sama juga terangkum oleh Alexa. Hal
ini cukup fenomenal dengan adanya facebook yang menggeser posisi Yahoo! Untuk
pertama kalinya[ii].
Saat ini adalah
kondisi dimana sedang terjadi euforia sosial media di kalangan generasi muda. Hampir semua anak muda memiliki akun di
media jejaring sosial dengan kepentingannya masing-masing. Ini adalah fenomena
sosial yang jika tak mampu kita memaknainya, maka kita pun akan larut dan
menjadi bagian yang menjenuhkan.
Perlahan, sebenarnya fenomena anak muda dan media jejaring sosial sudah
mulai menampakan kondisi yang menjenuhkan. Euforia ini sangat lambat untuk
mengali sisi potensial dari sosial media. Kini hanya akan lebih mudah melihat
anak muda akrab dengan layar facebooknya
dibanding dengan tetangga dan handai taulannya. Kita tak akan susah melihat
para ABG saling beradu narsis melalui foto, status
update, ocehan (tweet), dan lain
sebagainya. Hal yang mungkin lebih memprihatinkan adalah kita sudah tak kaget
melihat berbagai tindak penyimpangan yang dilakukan melalui media jejaring
sosial dan dilakukan pula oleh generasi muda sebayaa kita. Budaya copy-paste menjadi marak di kalangan pelajar
dan mahasiswa dan terbantukan oleh mbah google. Belum lagi pornografi dan
pornoaksi yang seperti mendapatkan pintu yang terbuka semakin lebar di era
digital ini. Kalau dulu rakyat kita ditindas secara fisik, maka kini penjajahan
di sisi mental sudah cukup menjadi fenomena yang menjenuhkan. Sosial media juga
membuat usernya semakin tebal rasa
individualisnya. Kepekaan sosial secara nyata menjadi berkurang diakibatkan
“dunia masing-masing” yang telah dibangun melalui akun-akun sosial media
tersebut. Padahal kondisi
dimana manusia memperkuat keapatisan masing-masing akan membawa pada titik
kebobrokan. Kesenjangan sosial tak akan terhentikan. Kondisi ini sudah cukup
menjenuhkan. Kondisi euforia akan new
media yang tak banyak digali potensi positifnya. Bahkan pada beberapa titik hanya diambil sisi
keuntungan materi oleh para pebisnis teknologi informasi.
Situasi ini perlu disadari sebagaimana Muhammad Yamin sadar bahwa potensi
semangat berhimpun di tahun 1928 dulu harus segera ditengahi. Maka perlu
semakin banyak generasi muda untuk mengcover
budaya-budaya negatif yang bisa semakin ramai memenuhi layar tampilan situs
jejaring sosial kita. Bukan dengan menjauhi jejaring media sosial, tapi kita
justru harus mengoptimalkan gerakan melalui kebermanfaatan new media ini. Pengkajian-pengkajian tentang pemanfaatan new media sebagai ruang publik yang
belum teroptimalkan peranannya. Misalnya ketika sosial media kita gunakan untuk
saling berinteraksi, berdiskusi dan berkolaborasi dalam ruang maya hingga
membuat keputusan maka muncul yang disebut Electronic
Democracy (e-democrarcy). E-democracy atau Virtual Democracy (Norris&James;1998), Digital Democracy (Hague; 1999), Democracy Online (Shane;
2004) merupakan konsep demokrasi yang berkembang saat ini dan menjadi bentuk
demokrasi terpenting di masa depan[i].
Perubahan-perubahan sosial perlu diefektifkan dengan pemanfaatan sosial media.
Mari perkuat barisan yang menjadikan sosial media sebagai elemen positif
penggerak perubahan bangsa, dibanding sekedar larut dalam sikap euforia yang menjenuhkan. Dua hal
tersebut seperti dua sisi sikap yang merupakan pilihan. Semoga semakin banyak
anak muda cerdas dalam menentukan pilihan sikapnya.
No comments:
Post a Comment