Pages

Sunday, March 10, 2013

Orang Jawa Ber-Muhammad *

#dicopy dari bulletin Jumat Masjid Jenderal Soedirman-Jogjakarta

Kedatangan Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW telah ditunggu-tunggu alam semesta. Ada banyak kabar mengenainya yang diterima oleh berbagai penganut agama dan kepercayaan di masa sebelum ia dilahirkan. Tak terkecuali di nusantara. Berbagai bangunan kuno telah didirikan sebagai simbol, harapan, dan doa bagi kedatangan nabi pembebas manusia itu. Bahkan sejak tahun 606 M, pengikut-pengikutnya yang saat itu bergelar Al-Amin, telah berduyun-duyun datang ke nusantara untuk menyebarkan berita gembira tersebut. Kelak, duyunan pengikutnya itu semakin membludak di negeri patirtan, nusantara, ini. Tepat setelah ia resmi “dilantik” menjadi nabi pada tahun 610 M.

Berdasarkan fakta-fakta sejarah tersebut, tidak sulit untuk mencari keterkaitan antara orang Jawa dan Nabi Muhammad SAW. Wangsa nusantara telah ber-Muhammad tepat sejak putra Abdullah itu diutus sebagairohmatan lil ‘alamin. Dapat dikatakan, umur ke-Muhammad-an wangsa nusantara sebanding dengan umur kedatangan Islam itu sendiri. Bukan sebagaimana yang diyakini oleh kalangan akademis dan peneliti sejarah selama ini; bahwa Islam baru menyebar di nusantara dan pulau Jawa khususnya terhitung sejak abad ke-14 awal.

Adapun pendapat dan penelitian yang menyatakan bahwa budaya Jawa (nusantara) adalah warisan Hindhu-Budha, sebaiknya itu diperiksa lagi. Peradaban dan kebudayaan Hindhu-Budha yang berasal dari India samasekali tak pernah ada di nusantara. Candi-candi yang dibangun di Jawa, pada dasarnya merupakan simbolisasi kebudayaan spiritual wangsa Jawa (nusantara), bukan agama. Bahasa Sanskerta yang masih tersisa di sini, tidak menunjukkan dalil kehindhuan maupun kebudhaan. Ditambah lagi, sejak masa Nabi Sulaiman AS, nusantara adalah negeri terbuka. Tidak mungkin dakwah Islam telah masuk di China pada tahun 627 M, tapi tidak masuk ke nusantara pada tahun yang lebih awal lagi. Padahal, nusantara adalah negeri seribu bandar yang pasti dihampiri oleh semua musafir dari segala penjuru dunia dengan segala kepentingannya. Untuk lebih lengkapnya mengenai kebenaran ini, bacalah buku Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah Yang Tersembunyi (Herman Sinung Janutama, 2010).


Jadi, usia Islam di nusantara telah memasuki usia Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Hanya saja, selama ini kita telanjur menerima sejarah ngawur bin dobol yang ditulis oleh para orientalis dan penjajah. Mereka tak paham bangunan sejarah dan kebudayaan kita, tapi berani menelurkan teori sejarah menurut kacamata mereka yang celakanya, pada hari ini sangat dalam kita imani. Tentu saja ini merupakan kebocoran ilmiah yang perlu segera diganti. Sebab, akibat dari kengawuran ilmiah tersebut, orang Jawa jadi tak lagi kenal pada nabinya, Muhammad SAW, yang sejak sebelum beliau dilahirkan pun, di sini, di Jawa (nusantara) ini, telah mereka tunggu kehadirannya.

Muhammad, di sini, telah jauh-jauh hari dinantikan cahayanya. Muhammad di sini telah disebut-sebut sebagai WishnuWishnu adalah Bahasa Sanskerta untuk menyebut seorang utusan Tuhan. Wishnumerupakan objek (maf’ul) dari kata WaishnawaWaishnawa artinya mengutus. Sedangkan Wishnu artinya utusan atau yang diutus. Maka tidak heran, silsilah sultan-sultan Jawa, bila ditarik ke atas, akan berujung pada Wishnu. Tentu saja Wishnu yang dimaksud di situ bukanlah dewa sebagaimana dikenal di India.Wishnu, di lidah orang nusantara, hanyalah simbol, yang artinya mengacu pada sosok Muhammad itu sendiri.

Muhammad Yang Tersembunyi
Bila hendak mencaritahu bagaimana orang Jawa ber-Muhammad, saksikanlah tradisi sekaten yang setiap tahun digelar di alun-alun utara Kraton Yogyakarta. Bentuk acaranya memang serupa pasar malam. Tapi latarbelakang acara itu tiada lain adalah kecintaan pada Muhammad SAW. Di berbagai belahan dunia, belum ditemukan acara peringatan Hari Ulang Tahun terpalingdahsyat, terpalingmeriah, dan terpalinglama hingga sebulan lebih, selain tradisi perayaan Ulang Tahun Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW tersebut.

Begitulah cinta orang Jawa pada nabinya. Begitulah orang Jawa ber-Muhammad. Memang, berdasarkan cerita populer, sekaten itu ungkapan Jawa atas kata “Syahadatain (dua kalimat syahadat)". Itu betul. Tapi ada makna lain Sekaten yang jarang diperbincangkan dalam dunia sehari-hari, termasuk di kampus. Bahwasekaten itu berasal dari kata seseking ati. Artinya sarat, penuh, dan menggumpalnya sesuatu di dalam hati. Bisa berupa asmara. Bila berupa asmara, maka Sekaten adalah bahasa untuk menumpahkan semua kerinduan, segala cinta, dan setiap kegilaan pada Sang Nabi SAW. Bila berupa kesesakan, kepiluan, Sekatenadalah kosakata Jawa untuk membahasakan betapa sakit, prihatin, dan perihnya lahir-batin seorang Muhammad SAW tatkala ia diharuskan untuk mendakwahkan Islam ke seluruh dunia.

Ada banyak riwayat sejarah yang menyatakan penderitaan dan kesesek-atian Gusti Kanjeng Nabi SAW ini. Misalnya, ia sampai lari terpontang-panting meninggalkan Gua Hira, tempatnya menyendiri gara-gara kekalutannya saat menerima wahyu pertama kali melalui Jibril, sosok makhluk Allah SWT yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Di rumah, ia minta istri tercintanya, Khodijah, untuk menyelimutinya, dan menghibur ketakutan terpuncaknya itu. Belum lagi bila cerita saat ia dilempari kotoran, dicerca, dimaki, dan diusir dari kampung halamannya dibahas. Kita akan tahu betapa perihnya penderitaan utusan mulia itu. Jadi,Sekaten, meskipun memang dalam rangka penegasan syahadat seorang muslim, juga merupakan peringatan atas kecintaan orang Jawa pada nabinya, sekaligus narasi sejarah kesesakan dan penderitaan Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tidak ganjil bila peringatan sekaten selalu diisi dengan pembunyian gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu selama 7 hari berturut-turut, yang gemelentingnya menyayat-nyayat hati.

Ciri penting lain ke-Nabi Muhammad SAW-an orang Jawa bisa diperiksa dari syair-syair (singir) dan tembang-tembang, dan puji-pujian kepada junjungan alam itu yang terdapat dalam tradisi masyarakat nusantara. Tidak hanya yang berbahasaarab, tapi juga yang berbahasa lokal. Nama-nama tempat, makanan, falsafah hidup, dan banyak lagi unsur kebudayaan Jawa lain juga mengandung muatan kemuhammadan atau keluhuran ajaran Islam. Sampai-sampai tidak ketahuan lagi bahwa ternyata muatan-muatan ajaran Islam telah termaktub di sana. Sehingga sedulur-sedulur sesama kawula Jawi yang non-muslim, merasa nyaman menikmati kejawaannya. Ini menegaskan bahwa Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW itu, di Jawa, adalah idola yang “tersembunyi”. Tapi itu tak masalah. Biarkan orang Jawa dan wangsa nusantara menikmati Muhammad tanpa ia sadari. Agar Muhammad merasuk ke dalam sumsumnya tanpa harus melewati regulasi seleksi “antibody keiblisan”  yang bercokol di dalam darahnya.

Kelumpuhan alam modern
Contoh kecil mengenai bagaimana orang Jawa ber-Muhammad, dapat disimak dari tradisi penyajiankopi/teh tubruk  yang pasti ada di berbagai daerah. Terutama di Jawa. Ia biasa disuguhkan untuk setiap tamu yang datang. Barangkali tradisi itu cuma kita anggap sebagai polah yang samasekali tak bermakna. Tapi bila ditelisik, penyajian kopi/teh tubruk ternyata berisi makna dan ajaran yang sangat Islami. Itu bisa dilihat dari kata “tubruk” yang merupakan hasil konversi/pengalihbahasaan dari istilah Islam yang diambil dari Bahasa Arab; “tabarruk”. Tabarruk artinya menghadirkan/mencari/mengolah/mendapatkan keberkahan. Karena biasanya disuguhkan kepada setiap tamu yang datang, kopi/teh tubruk tiada lain merupakan ungkapan bahwa sang tuan rumah ingin menyatakan kebahagiaan mendapatkan berkah kedatangan tamu. Dari sini dapat dipahami bagaimana “tabarruk” itu dialih-ubah menjadi “tubruk”. Agar ia lebih lengket dengan bahasa dan alam pikiran orang Jawa.

Contoh lain mengenai bagaimana orang Jawa ber-Muhammad, ada dalam makanan seperti “ketan, kolak, apem”. Trio kuliner itu biasa disuguhkan di setiap acara selamatan. Barangkali manusia modern tak akan pernah tahu apa sebenarnya tujuan penamaan dan ajaran yang ada di balik kata “ketan, kolak, apem” itu. Sekali lagi, semuanya biasanya dianggap hanya sebagai pepesan kosong. Padahal, “ketan, kolak, apem”,dibuat oleh para wali sebagai pernyataan; “bila ada salah, saya mengatakan mohon maaf”. Ketiga istilah kuliner itu diambil dari istilah Islam yang berasal dari Bahasa Arab. Ketan dari kata Khotoan, yang artinya salah. Kolak dari kata qola/qowlan, yang artinya berkata. Sedangkan apem dari kata afwun/afwan, yang artinya mohon maaf. Saat orang Jawa menyuguhkan makanan tersebut ke atas meja hidangan, pada dasarnya ia sedang memohonkan maaf atas segala kekhilafan dan kesalahannya.

Satu lagi contoh ke-Muhammad-an orang Jawa. Tentu Anda pernah membaca atau setidaknya mendengar nama tokoh Jawa seperti Ki Kebo Kenongo maupun Ki Kebo Kanigoro. Bagi anak sekolahan dan orang modern yang cacat menangkap bahasa simbol, tentu ia akan merendahkan nama “kebo” sebelum kata“kenongo” maupun “kanigoro” itu. Padahal, kata “kebo” itu sendiri, merupakan pelisanan orang Jawa atas kata “hubbu”, yang artinya cinta. Kedua tokoh itu digelari Kebo Kenongo dan Kebo Kanigoro, untuk menunjukkan maqom atau basis kema’rifatan dan lelaku hidupnya yang didasarkan atas cinta. CInta pada Tuhan, ya juga pada manusia. Itulah makanya, musik gamelan yang mengalun saat pengantin lelaki dan perempuan Jawa hendak dipertemukan, di Jawa disebut; kebogiro, yang tiada lain merupakan pelisanan atas kata hubb dan ghirahHubb dan ghirah itu sendiri artinya cinta dan hasrat. Dengan mengadakan ritual pemertemuan pengantin lelaki dan perempuan, orang Jawa ingin menegaskan; bahwa sebenarnya yang dipertemukan di sana adalah cinta dan gairah.
Nantinya, pernikahan dan proses pasca-nikah seperti pertunggalan fisik (Jima’/persetubuhan)  lelaki dan perempuan yang telah resmi menjadi suami-istri, di Jawa disebut; lakirabi. Lakirabi adalah liqoi rabbi(bersenda-jumpa dengan Tuhan). Ia diambil dari satu ayat al-Quran di akhir surat al-Kahfi: Fa man kaana yarjuu LIQOOA ROBBIhii falya’mal a’malan sholihan. Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah beramal sholeh. Pernikahan adalah amal sholeh. Setelah menikah, dalam kehidupan rumahtangga, persetubuhan merupakan satu di antara sekian banyak amal sholeh, atau jalan untuk bertemu Tuhan sebagaimana dimaksud. Bukankah ini semua sesuai dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW?
Tentu masih banyak contoh-contoh lain yang bila disebutkan di sini, jumlahnya akan mencapai jutaan. Baik yang berbahasa Jawa/Sasnskerta maupun yang merupakan konversi dari Bahasa Arab yang disesuaikan dengan lidah Jawa.

Nah, maka jangan pertanyakan lagi status ke-Muhammad-an orang Jawa. Sejak dari mulanya, orang Jawa telah punya tradisi ber-Muhammad yang merdeka, dalam, rigid, namun tak kentara. Ketakkentaraan atau ketersembunyian itu memang harus dibuat dan ditegas-kuatkan. Sebab bagi orang Jawa, keimanan dan keislaman itu urusan Gusti Pangeran yang samasekali tidak punya jatah untuk diperlihat-lihatkan maupun dipamer-pamerkan. Inilah fakta yang tidak dapat dilihat oleh orang-orang modern dan kaum kampus yangsok ilmiah dan lumpuh membaca operasi tanda, bahasa, dan metafora/perumpamaan di alam pikiran/kebudayaan orang Jawa. Sehingga mereka sangat mudah menuding budaya Jawa sebagai budaya yang penuh dengan bid’ah dan kemusyrikan. Padahal, bila ditelusuri lebih jauh, kita tak akan melihat nama lain yang tertera di sana selain ungkapan cinta dan asmara pada Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Semua kata, kalimat, benda, sandang, pangan, papan, pada dasarnya bernafaskan kemuliaan, keterpujian, dan ajaran-ajaran Muhammad Sang Lelananging Jagad.

Maka melalui kesempatan ini, saya mengajak para pembaca yang terhormat sekalian untuk kembali menguri-uri budaya Jawa khususnya, dan budaya nusantara umumnya. Di sanalah Islam tersimpan. Di sanalah keluhuran akhlak Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW diejawantahkan oleh para pendahulu. Maka, kapan kita bisa bermuhammad, yaitu memproduksi semesta yang isinya hanya Muhammad yang disembunyikan tapi menerangi dan terang? Allahumma sholli ngala sayyidina Muhammad wa ngala ali sayyidina Muhammad. Wallahu a’lam.

*Catatan ini adalah tulisan seorang jamaah Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta beberapa bulan lalu, yang ditulisnya di buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman untuk menyambut peringatan Mawlid Nabi Muhammad SAW 1434 H. Atas permintaannya, namanya tidak dituliskan di sini.
Title: Orang Jawa Ber-Muhammad *; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: