Pages

Sunday, March 10, 2013

Tentang Selembar Buletin



Secara subyektif, terkadang  saya  memiliki penilaian terhadap suatu lembaga dari pengelolaan media yang dimiliki. Dalam setiap komunitas atau lembaga, ada fungsi kehumasan dimana hal itu tertuang ke dalam satu wujud media. Bisa berupa papan informasi, majalah dinding, bulletin, brosur, atau hingga majalah, jurnal, dan lain-lain. Maka secara subyektif pula, saya menilai aktivitas literasi di sebuah lembaga dapat mencerminkan dinamika keilmuan yang berjalan disana. Beberapa hari yang lalu saya memberikan kalimat  kritik yang agak keras kepada salah satu takmir masjid : “ini masjid besar, tapi  tidak ada aktivitas literasi sama sekali, mading hanya satu-dua kali terbit kemudian bubar, ini kompleks pesantren dan kampus harusnya banyak yang membaca, menulis, dan berdiskusi, tapi bulletin saja bubar, benar-benar masjid megah tanpa peradaban!” . Kalimat seterusnya agak kasar jadi tidak saya tuangkan disini. J .

Sebagai orang yang pernah memegang tanggungjawab sebagai marketing komunikasi di sebuah lembaga, biasanya kalau ada acara bersama lembaga lain, kami akan membawa marketing tools dari lembaga masing-masing. Ada yang brosur, bulletin, majalah,  jurnal, sampai buku. Tentu saja dari media-media ini kita akan bisa melihat, mana media yang hanya jadi ajang eksistensi saja atau media yang benar-benar menjadi wadah belajar, beraktualisasi. Bahwa “marketing” adalah sebuah aktivitas pemasaran ide, pemikiran, bukan sekedar jualan produk. Itulah yang membedakan orang-orang pekerja yang punya idealis atau sekedar kejar target. Meski marketing tools nya berkemasan keren, tapi kalau isinya biasa saja, ya terasa garing. Perlu ada peningkatan konten yang disampaikan kepada “pasar”.

Salah satu contoh, ada satu teman saya yang bekerja di sebuah lembaga pemerintahan, sebut saja namanya mas Febrie.Beliau bekerja di Bappeda kabupaten.  Menjadi sorotan masyarakat ketika itu karena aktvitas di Bappeda kabupaten lebih dinamis daripada di kota. Saat itu, teman saya membuat sebuah komunitas diskusi dan merintis terbitnya sebuah jurnal. Sempat juga saya diundang menulis disana. Apa yang menjadi istimewa dari jurnal tersebut? Bukan sekedar lambang eksistensi , namun disana ada aktivitas penyampaian ide-ide tentang pembangunan daerah, idealisme-idealisme para pegawai pemerintahan yang terkadang tertututupi oleh opini publik tentang PNS.


Ada juga rekan-rekan saya yang aktif di komunitas sastra. Membuat bulletin sastra “wedang kendhi”, bukan untuk sekedar menunjukkan keberadaan komunitas tersebut, tapi memang dijadikan sebagai wadah ekspresi dan apresiasi sastra lokal.  Berbicara “lokal”, saya juga memiliki rasa salut tersendiri pada beberapa media lokal yang muncul bukan sebatas ekspresi primodialisme belaka. Namun dijadikan media interaksi yang lebih memiliki kedekatan dengan masyarakat lokal. Sebut saja seperti majalah Ancas, Banyumas. Keberadaanya cukup memberi warna pada khasanah media lokal di wilayah Banyumas.

Salah satu media yang saya suka adalah bulletin Jumat. Sejak kecil, ketika setiap Jumat ayah saya pulang dari masjid, pasti membawa “oleh-oleh” bulletin Jumat. Biasanya yang paling rajin dan sering muncul adalah bulletin dari yayasan-yayasan kelompok salafi.  Tentu saja saat saya kecil tak mengerti kelompok-kelompok itu, yang saya tau saya suka menikmati oleh-oleh makan siang dari Sang Ayah sambil membaca bulletin yang banyak memuat ayat-ayat Quran dan hadits itu. Biasanya ayah saya tidak hanya mengambil satu jenis bulletin saja, tapi beliau meng-oleh oleh kan banyak rupa. Kebanyakan dari bulletin jumat, biasanya kontennya normatif saja. Dalam bahasa kasar-nya : hanya jualan ayat!. Tema-tema yang terpampang dalam tulisan disana sudah bisa ditebak. Padahal, saya termasuk orang yang suka membaca media-media seperti itu sampai titik terakhir. Menurut saya, ceramah-ceramah yang disampaikan oleh para ustadz dengan berbusa-busa itu akan berbeda “sense”nya ketika kita nikmati melalui bahasa tulisan. Maka, menjadi menarik (bagi saya) ketika acara-acara peringatan hari besar Islam atau hari raya, ceramahnya itu juga tertuang dalam sebuah makalah singkat atau bulletin / brosur. Tentu saja lebih menarik lagi, ketika media-media dakwah itu tidak berisi tema-tema normatif belaka. Kebanyakan dari bulletin atau majalah islam, materi-materi yang disampaikan hanya copy paste dari internet dan bahasanya sangat menggurui. Saya suka pada jenis tulisan-tulisan refleksi yang membuat kita terbuka wawasannya, tercerahkan, atau pada tulisan-tulisan ekspresif dan original. Kenapa bulletin Jumat hanya berisi tema yang itu-itu saja? Kalau dibilang itu menjadi “style”, saya pikir itu sebuah apologi atas kematian kreatifitas mengelola media dakwah.

Salah satu bulletin jumat yang cukup membuat saya terkesan adalah milik Masjid Jenderal Soedirman, Jogjakarta. Secara fisik, rupanya sangat biasa. Cetakannya saja bisa gonta-ganti warna tergantung percetakan-- katanya. Hehe. Tapi, berdasarkan keterangan dari pengasuhnya, antusiasme jamaah sangat tinggi  untuk mengisi bulletin tersebut. Pengurus cukup proaktif untuk membuka kesempatan seluas-luasnya pada jamaah untuk berkontribusi mengirimkan ide-idenya. Tadinya saya berpikir, di Jogja yang konon katanya adalah kota pendidikan,  tentu saja budaya seperti itu sudah biasa, atmosfir  baca-tulis disana cukup tinggi. Namun, tidak juga ternyata. Saya pernah berkunjung ke beberapa masjid lain di wilayah yang sama. Tak banyak bulletin Jumat yang “berkarakter”. Dalam artian, ya itu tadi, hanya mengangkat tema-tema umum keagamaan, bersifat sebagai reminder . Saya tak sengaja juga menemukan sebuah pembahasan tentang bulletin Jumat dan mengambil bulletin “Jenderal Soedirman” sebagai sample, bisa dicek di link berikut : http://immanyogyakarta.wordpress.com/2012/03/04/makna-selebaran-jumatan-peran-al-quran-dan-al-hadist-dalam-berargumen/ .  Oya, salah satu contoh isi bulletin masjid jendsud ini juga saya posting di blog.

Ternyata tak banyak orang bisa “tekun” mengurusi sebuah media , bahkan seperti bulletin yang simple. Atau karena terlalu simple itulah, orang justru malas mengurusnya ya? Hehe.   Kalau mungkin bulletin agak malas untuk mengurus, ya minimal majalah dinding atau papan informasi. Sama halnya dengan bulletin, saya juga orang yang termasuk senang mengamati majalah dinding.

Pada beberapa training menulis yang pernah saya isi, biasanya saya selalu mengadakan follow-up untuk menuangkan ide-ide peserta melalui bulletin atau media berkala. Bagi trainer, itu akan membantu untuk dapat melihat perkembangan kemampuan peserta dalam menuangkan idenya. Ada satu peserta training, anak SMA, yang selalu rajin mengirimkan puisi-puisi dan cerpennya kepada saya melalui inbox FB. Kami belajar menulis , tanpa pretense apapun. Hanya ingin menuangkan pemikiran, berdiskusi, dan menjadi pembelajaran yang berarti dan berharap dapat diimplementasikan pada kehidupan sehari-hari.

Secara singkat, saya hanya ingin menyampaikan bahwa keberadaan media-media komunikasi/publikasi seperti majalah, bulletin, brosur, itu bukan hanya eksistensi saja, tapi ada penuangan gagasan disana. Menjadi  penting bagi kita untuk kembali menyumbangkan ketelatenan pada media-media tersebut. Termasuk juga disini adalah portal / website atau media lain yang digunakan oleh tiap lembaga. Khusus untuk bulletin / lembar jumat, akan lebih menarik ketika pengelolaannya tidak sekedar / asal terbit saja. Semoga semakin ramai para pengelola berkreasi melalui lembar Jumat, supaya souvenir Jumatan itu lebih bermanfaat dan berlimpah berkah. Aamiin.


*10maret2013, lewat jam sepuluh malam. Sekedar ngebunuh jenuh, dua hari pulang pagi mulu...:D  
Title: Tentang Selembar Buletin; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: