Pages

Sunday, March 10, 2013

Menjahit Kebajikan

*Majalah LAMPU edisi 3

Detak jarum jam seolah mengguratkan semburat merah di kaki langit. Perlahan, senja berkemas. Keriuhan  sesiang sudah mulai bergerak  pulang.  Disaat jam sudah melewati  batas jam kerja itulah, seorang rekan beranjak masuk dan menghempaskan diri. Dan ternyata, ia membawakan sebuah hadiah, sebuah kisah.

Namanya pak Abdul. Saat siang tadi kami sedang melakukan kunjungan ke salah satu Muzakki, sebuah pesan singkat masuk yang kemudian kami ketahui namanya sebagai pak Abdul.  Berbagi tugas, biarlah salah satu dari kami saja yang menyambangi kediaman pak Abdul.  Ini kunjungan kali pertama bagi kami ke tempat beliau. Tidak ada bayangan atau gambaran siapakah dibalik nama pak Abdul ini.  Gambaran yang tesampaikan dalam tulisan ini adalah disarikan dari kisah kunjungan yang diceritakan kepada penulis.

Beliau seorang penjahit. Tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil, yang nilai kontraknya hampir sama dengan biaya kos-kosan sederhana di lingkungan kampis UNSOED. Beliau tinggal bersama keluarganya disana dan tentu saja bersama dengan sahabat yang juga penyambung nafas hidupnya, yaitu mesin jahit. Bukan mesin jahit canggih. Usaha yang dijalankannya adalah usaha yang berbekal semangat  belajar dan pantang menyerah. Awalnya beliau awam tentang dunia  tata busana. Boro-boro menjahit, memasukan benang kedalam jarum pun mungkin butuh waktu lama. Tapi ia ingin belajar, setidaknya ia ingin punya ketrampilan yang dari sana mampu menyambung nafas keluarga. Dari nol, beliau belajar tak kenal hanti. Hingga akhirnya ia berhasil membuat sebuah celana dengan sempurna. Kemudian ia membuka usaha jahit di rumah petaknya yang sederhana itu. Jika kisah hidupnya ini dianggap monoton, maka memang monoton karena hanya dihiasi oleh semangat dan semangat. Kata menyerah hampir enggan untuk merayapi hidupnya. Ketelatenan serta kejujurannya membuat pak Abdul sering mendapat kepercayaan untuk order-order jahitan dari orang-orang penting, bahkan dari luar kota Purwokerto. Namun kecakapannya itu tidak membuatnya lantas mematok tariff jasa lebih tinggi. Hingga saat ini ia menjadi tukang jahit yang sederhana.


Untuk menemaninya bekerja, pak Abdul bersahabatkan sebuah radio kuno. Dari radio tersebut pak Abdul kerap  “tergoda” oleh sebuah advertori yang berisi ajakan bersedekah. Ada yang berputar-putar di pikiran pak Abdul. Bagi seorang penjahit seperti dia, penghasilan hanya habis untuk makan sehari-hari. Namun, beliau sadar bahwa hidup ini tidak berhanti pada selesainya urusan makan dan dunia belaka. Penasaran, ia menghubungi nomor layanan jemputan zakat  yang diputar pada stasiun radio tersebut. Ternyata, nomor layanan itu salah, masih ada digit yang tidak tersebut. Pak Abdul bingung bukan kepalang. Tapi, keinginannya untuk bersedekah tak bisa lagi dibendung. Dengan pendengaran yang sudah mulai berkurang, beliau kerap menempelkan pesawat radio di telinganya. Kemudian dengan kemampuan otak-atik nomor hape, ia mencoba segala angka dengan harapan “siapa tahu bisa nyambung”.  Berhari-hari pak Abdul mencoba, Alhamdulillah akhirnya bisa dipertemukan dengan petugas penjemput zakat dari Lazis Mafaza Peduli  Ummat.

***
Kisah sederhana, di jelang penghujung senja. Namun, serpihan kisah yang seperti inilah yang seolah menjadi cambuk bagi kami para amil. Bukan besar-kecil nominal penerimaan serta penyaluran, tapi hati-hati bening yang kami jumpai setiap hari .  Begitu banyak sosok-sosok pak Abdul yang kami jumpai, yang memiliki semangat bersedekah. Sedekah meski disaat kondisi susah. Sedekah sebagai penghilang resah. Kami melihat seolah di setiap detiknya, hanya ridho Allah yang ingin diraih.

Meski kadang ironi juga tak pelak kami temui. Disaat ada orang-orang yang bergegas menyisihkan hartanya untuk berbagi dengan yang membutuhkan, masih ada juga yang genggaman tangannya sangat erat menghitung-hitung harta yang diklaim sebagai miliknya semata. Sementara itu senandung perut lapar serta rintihan masyarakat miskin yang butuh pengobatan, terus menjadi  music yang menggelitik otak dan hati kami. Menggelitik untuk terus mengencangkan ikat pinggang, menegakan bahu, untuk bisa berpikir bagaimana caranya jembatan yang kami coba bentangkan dapat terjabat erat  di satu sisi oleh muzakki dan di satu sisi oleh mustahik.

Seperti pak Abdul yang tak lelah menjahit amal sholih, semoga kita mampu terus menyatukan pola legenda hidup kita dengan jahitan yang baik. Aamiin. (nta)
Title: Menjahit Kebajikan ; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: