Pages

Wednesday, August 21, 2013

Ego yang Terlerai di Kaldera Ceremai

#catatanPendakian

"...sembunyi diriku dalam pelukan alam, hindari semua kenyataan. Menggigil tubuhku sadari alam. Disini ku kecil dan tak berarti..."  (Slank)

Elf  biru  itu akhirnya menghentikan lajunya. Mang Yayan, begitu nama sang sopir yang telah mengantarkan kami menuju Palutungan. Kemudian bersama sang kenek, kami menurunkan carrier yang tersusun tinggi di atap mobil. Setelah semua berhasil diturunkan, Mang Yayan pun bertanya : “kapan akan pulang? nanti sms saja, biar dijemput”.  Sementara Rifki —pimpinan rombongan-- menjawab dan bertukar nomor kontak dengan sang sopir, saya membatin mengulang pertanyaan Mang Yayan. Ya, kapan akan pulang? ah, bukan, tapi apa memang bisa pulang? Bahkan perjalanan ini baru saja dimulai, tantangan masih mengawang. Ternyata memang semua perjalanan itu adalah untuk mencari jalan pulang.

Maka jika di hari Sabtu, sehari setelah peringatan kemerdekaan RI kemarin, kami bersembilan berkata akan melakukan pendakian, sebenarnya bukan puncak gunung yang dituju, tetapi pelajaran apa yang bisa dibawa pulang --kalau memang bisa pulang--. Maksudnya, bisa saja kami terpesona di lembah Edelweiss, hingga lupa jalan pulang. Itu refleksi kehidupan juga kan?

Kenapa jadi berfilasafat ria ya? hehe. Baiklah, singkat cerita, di sepertiga terakhir jeda liburan lebaran yang saya miliki, sudah terjadwalkan akan melakukan pendakian ke Gunung Ceremai. Entah apa yang dalam pikiran saya ketika mengiyakan saja ajakan teman-teman untuk muncak. Saya memang menyukai kegiatan para “samirono” atau petualang atau bahasa kerennya “traveler”. Menyukai kegiatan di alam bebas, tapi untuk benar-benar sebuah pendakian, ini adalah kali pertama. Beberapa teman ada yang berkomentar,“pendakian pertama langsung ke Ceremai?”  atau ada yang bilang “Shin, ceremai itu trek nya susah.., pikir-pikir lagi aja!”.  Entah kenapa sms dan pesan whatsapp dari teman-teman itu baru sempat saya baca ketika sudah di pos 1 pendakian.hehe. Jadi, saya pikir, Allah sengaja memberikan kesempatan pada saya untuk melakukan pendakian ini dengan maksud supaya mengambil banyak pelajaran.

Sebagai informasi, Ceremai adalah Gunung Tertinggi di provinsi Jawa Barat (3078 MDPL). Masih lebih rendah dibanding Gunung Slamet, tentu saja. Namun Gunung Ceremai merupakan salah satu gunung yang memiliki trek yang susah untuk dilalui. Curam, terjal, dan sumber air yang minim. Ada tiga jalur pendakian yang biasa dilalui oleh para pendaki, yaitu : Apuy, Palutungan, dan Linggarjati. Untuk informasi lebih lengkapnya, bisa googlingsaja ya.

Saya dan delapan teman yang lain mengambil jalur Palutungan. Setelah melapor pada petugas di pos, kemudian kami berkemas di masjid terdekat. Di jelang Ashar, kami pun memulai perjalanan. Menelusuri perkampungan dan hamparan sawah. Pos 1 pun terlewati, dan kami menuju pos 2 di Cigowong. Pos ini adalah satu-satunya pos yang memiliki sumber air di jalur Palutungan. Menurut info dari Rifki juga, pos Cigowong adalah pos yang jaraknya terjauh dibanding jarak antar pos yang lain. Entahlah, saya tak memahami seluk-beluk pendakian ini. Disinilah saya benar-benar melakukan perjalanan jiwa, perjalanan hati. Ya, disinilah perjalanan itu bermula.

Selama perjalanan menuju Cigowong, saya mengalami shock. Kebetulan kami juga lupa melakukan pemanasan, jadi bagi saya yang memang intensitas olahraga-nya cukup minim sangat berpengaruh. Walhasil, dada sesak dan kepala pusing tak tertolak menyerang. Saya menahannya. Bukan, bukan sakit fisik yang saya rasakan. Justru saat itu saya merasakan lintasan-lintasan pikiran yang menusuk-nusuk otak.

Selama perjalanan itu, saya benar-benar  merasa tertohok. Saya serasa didera pertanyaan atas kejujuran hati, apa tujuan perjalanan ini sebenarnya. Jujur, hingga pada perjalanan menuju Palutungan, yang menguasai pikiran saya masih sebatas ego pribadi. Saya hanya ingin mencari kepuasan diri dengan mendaki gunung. Saya berfikir, masa muda yang sedang dilewati ini harus diisi berbagai hal yang penuh sensasi. Saya sudah pernah melakukan banyak hal, ngebolang di dalam dan luar negeri (walaupun belum banyak), menjalani masa studi, mengikuti banyak kompetisi, memiliki eksistensi di berbagai komunitas, entah itu bidang akademik, seni budaya, agama, dan lain-lain, tinggal beberapa “misi” yang belum dicapai salah satunya adalah naik gunung. Jadi, pendakian ini hanyalah pemuas ambisi dan mimpi saya saja. Goblok banget kan? emang!

Selama perjalanan, pikiran saya berkecamuk. Saya merasa selama ini sudah mengalami banyak hal dalam hidup. Menjalani berbagai problematika. Dari mulai masalah ecek-eceksampai masalah dramatik, dari mulai di keluarga hingga pekerjaan hingga yang berhubungan dengan khalayak. Entah itu karena saya orang yang sanguinis melankolis, atau memang saya dipilih Tuhan untuk menghadapi problematika yang ada. Beberapa orang yang saya percaya, mungkin tahu persis apa yang saya maksud. Namun segala perjalanan hidup itu, membuat saya merasa terkuatkan. Menempa diri menjadi pribadi yang keras. Ini bukan kata saya, tapi testimoni orang lain. Saya kemudian tumbuh menjadi orang yang merasa sanggup melakukan banyak hal sendiri. Mendedikasikan diri sebagai pelayan yang harus selalu siap melayani orang lain. Kemana-mana sendiri. Kehilangan, diabaikan, itu sudah bukan hal yang terlalu menakutkan. Saya merasa kuat.., tapi itu salah besar! Itu dibuktikan pada pendakian kemarin.

Nyatanya, saya memang tak bisa menghindari sesak di dada saat kekurangan oksigen. Nyatanya, saya tak dapat menghalangi mual dan pusing yang melanda. Nyatanya, langkah kaki saya punya batas lemah. Kebetulan saya pernah mengalami gangguan pernafasan, alergi pada suhu yang dingin. Kalau dingin, biasanya langsung bereaksi dengan meler kemudian sesak dan nyeri di dada kiri.  Meski sudah berolahraga, nyatanya di perjalanan kemarin saya terbukti lemah! Saya tahan saja. Diam-diam saya khawatir dan berpikir bagaimana jika ada salah satu teman nantinya berkata : “kita batalkan saja ya perjalanannya”. Tidak, saya tidak mau itu terjadi. Jika memang saya harus mati di leher gunung, itu sudah jalan “pulang” saya toh?!  Akhirnya saya tahan semua itu. Oya, kebetulan waktu itu saya juga sedang datang bulan, jadi ada pengaruh ke fisik dan emosi juga. Tapi sebenarnya tidak masalah kok kalau cewek sedang berhalangan kemudian ingin melakukan pendakian.

Kemudian tiba di pos Cigowong, sebuah percakapan diantara tim membuat saya sangat lega. Ari, sang komandan berkata : “ingat, puncak itu hanya bonus saja”. Si jambul ini memang anggota tim yang paling bijak menurutku. Diam-diam saya curiga, sebenarnya dia itu kakek-kakek tapi terperangkap dalam tubuh seorang anak muda. Seperti di film Benjamin Buttons. hehehe. Obrolan itu seperti pelajaran pertama yang saya dapatkan dari perjalanan ini. Bahwa, orientasi tiap perjalanan kita bukanlah hasil, tapi proses. Puncak hanyalah bonus, bukan target/ klimaks pencapaian, bukan kehebatan atau kebanggaan, tapi puncak gunung adalah proses kita menaklukan diri, emosi, ego pribadi, menyadari kekerdilan diri sebagai hambaNya. Ini filosofi kehidupan yang benar-benar menyentuh. Apapun yang sedang kita usahakan, hasil adalah bonus saja, yang terpenting adalah bagaimana cara kita memilih jalan untuk mengarunginya.

Singkat cerita, kami berhasil melewati Sembilan pos dengan sensasinya masing-masing. Ada Tanjakan Asoy yang memang geboy. Tanjakan dengan banyak akar dan bebatuan, bersisian jurang, hampir tak menyisakan kesempatan tubuh untuk berdiri dengan tegak. Nanjak terus sampai atas. Mantap luar biasa! Ada pos Arban yang terkenal mistisnya, ada pos Gowa Walet yang angkuh berdiri dalam dinginnya yang menusuk, dan pos-pos yang lain.

Akhirnya, pada hari Minggu di separuh senja terakhir, kami berkesempatan untuk mendapatkan “bonus” itu. Kami menjejak puncak Ceremai, berkesempatan menyaksikan Kaldera, bibir kawah yang mempesona. Ketika kaki kananku menjejak dan menegakkan tubuh serta menatap kawah, tak ada kata lain yang mampu terucap : Allahu Akbar, walilllahilhamd. Aku tak percaya dapat menjejak puncak. Ini semua hanya karena kuasa Allah yang ingin memberikan satu pelajaran untukku. Bukan karena ku kuat, bukan karena ku mampu, tapi karena Allah berkehendak.

Selama lebih dari setengah jam kami menikmati kawah dan landscape yang tak terlukiskan indahnya. Melihat puncak Gunung Slamet dari kejauhan. Melihat hamparan Edelweis yang sungguh romantis. Kemudian sekedar untuk dokumentasi, kami pun mencoba membekukan beberapa moment dengan media kamera.

Senja pun melarut. Aroma belerang sudah mulai kuat terasa, kami pun bersiap turun kembali. Oya, ketika akan muncak, kami hanya membawa satu carrier dan satu daypack. Sedangkan barang-barang yang lain kami tinggal di camp Goa Walet. Dari Goa Walet ke puncak sudah dekat, kurang dari satu jam perjalanan. Tapi, jangan tanya medan terjalnya. Sepanjang mata memandang hanya ada batuan dan debu beterbangan. Serta tingkat kecuramannya semakin tinggi, untuk orang-orang yang terbiasa olahraga wall climbingsepertinya justru terasa menarik.

Akhirnya kami berjalan turun, diiringi langit yang mulai memerah. Saya dipersilakan menunggu di persimpangan menuju Goa Walet, tak perlu ikut packing. Karena untuk turun dan naik lagi, jalurnya juga cukup terjal. Toh cuma mau packing.

Saya pun duduk sendiri, menyaksikan langit yang mulai merah, rembulan yang perlahan muncul dengan cantiknya, dikelilingi hamparan Edelweis yang merayu mata. Puisi mana yang tak akan hadir di suasana seperti itu, hah??!

Maka, ditemani seekor burung liar berparuh kuning yang loncat menjinak di dekatku, beberapa untai kata kurangkai. Tapi sebenarnya bukan merangkai, saya hanya mengeluarkan apa yang saya lihat. Ada keMahaHebat-an Allah yang saya saksikan di semburat merah membalur langit, ada kelembutanNya di lipatan desir angin yang mengayun-ayunkan batang Edelweis. Bahkan memandanginya saja sudah cukup membuatku tenang dan nyaman. Tiap kuntum bunga gunung itu seperti mengerlingkan rindu yang teramat syahdu. Akhirnya, tanpa tersadar air mata pun membasahi pelupuk mata. Saya nangis lagi!!! cengeng yak?!hehe. Saya betul-betul menikmati suasana senja itu. Baru tersadar ketika ada dua orang pendaki rombongan dari UI yang kebingungan mencari jalan turun ke Goa Walet.

Kemudian tak lama, teman-teman lain berdatangan, dan kami pun memulai perjalanan turun. Dalam syahdunya malam, disinari lembutnya rembulan, kami pun berjalan perlahan meniti turunan terjal. Beberapa kali harus terjerembab, saat rembulan bersembunyi di temaramnya langit malam. Aku ada di urutan kedua dari barisan Sembilan orang itu. Di depanku ada si Agus, ia kujuluki sebagai “penerang jalanku”. Di malam sebelumnya, Agus juga lah yang ada di depanku dengan headlamp. Dia sangat menolong perjalananku. Entah karena Agus yang sigap atau bagaimana, aku bisa berjalan lebih cepat ketika malam hari saat di belakangnya. Aku percaya pada petunjuk yang Agus berikan serta tangannya yang selalu sigap membantu menaiki tumpukan batu atau akar. Di malam sebelumnya, aku nyaris tersesat karena pandanganku yang kabur. Nyaris tersesat karena susah membedakan silaunya sinar kunang-kunang atau sinar headlamp. Dan satu lagi, Agus nggak berani kentut saat di depanku, tapi giliran di depan yang lain, ia kentut berkali-kali..hahahaha.

Kami memutuskan nge-camp semalam lagi. Perjalanan ini memang disetting santai. Tiap usai ngecamp¸kami baru memulai jalan setelah jam 9 pagi. Maklum, anak-anak kategori bangsawan alias bangsa tangi awan (kelompok bangun siang). Itupun setelah bangun dan sholat, ada “ritual” bermusik, buang hajat, nyanyi-nyanyi, foto-foto, masak, dan lain-lain. Seru sih. Aku bisa kenal sama delapan orang gila tapi hebat ini. Mereka seperti tak pernah kehabisan akal untuk melahirkan lelucon-lelucon cerdas. Dua diantara mereka adalah “santri” tapi santri gila. Jadi jangan heran kalau kadang ada plesetan-plesetan gokil, kayak :“ Muhammad gua ya Muhammad gua, Muhammad diyeh ya Muhammaddiyeh.., “ atau mengeluarkan dalil-dalil ngawur yang kalau saya tuliskan disini nanti jadi salah paham, mending dengerin aja langsung.

Di camp ini, kami termasuknya “rempong”. Berbagai macam menu kami masak, ada nasi goreng magelangan, sarden, mie rebus plus sayur, tempe goreng bumbu racik sampe bikinNutri Jell dengan berbagai macam campuran. Pokoknya rempong deh. Saya sih asik-asik aja, lha saya doyan urusan yang gituan. hehe. Untuk nyiap-nyiapin nesting , kompor, potong-potong sayur dan lauk saja sudah makan waktu, belum packing-packing nya, kalau makan sih bisa cepet banget, karena harus sepiring bertiga. Makanya perjalanan kami ini terbilang santai. Toh dari awal, tujuan kami bukan puncak, tapi menikmati perjalanan. Itu fatwa dari ustadz Ari Jambul..hehe.

Perjalanan pulang cukup menyenangkan. Saya terprovokasi untuk berlari menuruni jalanan terjal dan curam tersebut. Meski tidak segesit teman-teman yang lain, saya sangat menikmati. Berlari turun melintasi Tanjakan Asoy dengan berteriak dan tertawa lepas, aaaaah.., menentramkan sekali. Beberapa kali saya terjatuh, berdebam, tersandung akar atau pohon yang melintang. Tapi saya tetap tertawa lepas, menikmati udara segar dan jalanan yang menggoda. Disitu ada pelajaran kehidupan lagi, bahwa kita harus yakin pada pijakan yang kita lakukan. Kalau tidak yakin, justru akan membuat hilang keseimbangan. Jangan terlalu banyak menahan, itu hanya akan membuat sakit dan nyeri di otot kaki. Oya, satu hal lagi, jangan terlalu banyak berhenti, kalau lelah tetaplah bergerak tapi perlahan. Kalau terlalu banyak berhenti, kita hanya akan menambah tingkat kelelahan. Ini filosofi kehidupan juga. Jangan terlalu banyak menunda, jalani dan hadapi saja. Jika mulai lelah, berjalanlah perlahan, tapi jangan pernah berhenti kecuali mati!.

Di jelang pos Cigowong, daya tahan kaki saya melemah, akhirnya berjalan perlahan. Saya mempersilakan beberapa teman berjalan terlebih dahulu, tidak apa-apa. Tapi beberapa teman justru ingin tetap di belakang. Perjalanan kami ditingkahi dengan banyak dialog yang mencerahkan. Makasih banget ya Ari, Idrus, dan Deni.. hehehe. Obrolan selama perjalanan di jelang Cigowong kemarin, itu rahasia lho..hehe. Kecuali yang akhirnya Ari ungkap dibriefing sebelum pulang di Cirebon itu.. ^_^

Seusai makan siang dan menghabiskan perbekalan logistik di Cigowong, maka tinggal dua pos terakhir sebelum pulang. Akhirnya, saya menghubungi Mang Yayan untuk menjemput kami di Palutungan. Ketika Ari dan Rifki becanda bilang : “selamat yaaaaa sudah dapat NAPL…”, saya hanya nyengir dan bilang : “dih, nyebelin banget!”.

Ya Allah, terimakasih telah memberikan saya “keluarga” baru selama pendakian kemarin. Mereka para lelaki hebat lahir batin.

Terimakasih Puncak Ceremai, Goa Walet, Tanjakan Asoy, Cigowong, dan lain-lain. Terimakasih, Indonesiaku tercinta. Terimakasih Gusti Allah atas kesempatan ini.

Kalau ditanya “kapok nggak naek gunung?” saya akan tegas menjawab  “ tidak kapok… saya mau melakukannya lagi, lagi, dan lagi!!!”. Ceremai telah membuatku jatuh cinta, Ceremai telah membuat egoku terlerai..




Selasa, 20 Agustus 2013 , mengistirahatkan badan, sambil nanti mau berziarah ke pusara ayah sebelum kembali ke Purwokerto. Saya siap beraktivitas kembali, dengan semangat baru… hiyaaaajiiiiaaaaaaar bleeh!  

note : foto-fotonya nanti biar di-upload sama teman-teman di fanspage atau group  FPL dan HMI Purwokerto . Saya type orang yang malas menunggu proses upload foto di pesbuk. Nanti insya Allah dipost di blog atau akun flickr saja. :)
Title: Ego yang Terlerai di Kaldera Ceremai; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: