“…Karena kita tak pernah tahu makna sebenar-benarnya
dibalik sebuah tawa ataupun tangis. Bisa berarti bahagia, haru, atau justru
malu. Maka menjadi riskan ketika tangisan menjadi tontonan. Ada marwah yang
perlu kita jaga pada tiap orang….”
Era teknologi informasi saat ini membuat kita tak susah
untuk mengikuti perkembangan berita atau peristiwa yang terjadi . Segala macam
bentuk informasi. Dalam lingkup regional hingga internasional. Jarak
beribu-ribu kilometer sudah bukan menjadi penghalang untuk mengetahui update
informasi terbaru. Baik melalui tayangan visual di televisi hingga berita
yang berupa kicauan. Semua ramai dan meramaikan.
Tempo hari dunia hiburan masyarakat kita disibukkan oleh
sosok Eyang Subur dengan segala pro kontra dan problematika yang terjadi. Tak
bisa dipungkiri beberapa hal privasi juga terkuak di layar kaca , menjadi
tontonan masyarakat, bahkan lembaga MUI hingga turun tangan. Silih berganti
hari, kemunculan seorang bocah remaja dari sebuah desa di Banyumas juga mewarnai
media massa di Indonesia. Dialah Tasripin. Sempat menjadi “selebritis” yang
mewarnai program-program acara news sampai hiburan. Berganti hari dan pekan,
meninggalnya seorang da’I menggantikan posisi “headline” pemberitaan baik di
program news maupun hiburan. Lagi-lagi media membuat kita kebanjiran
informasi yang juga mengusik hal privasi sang almarhum.
Miris ketika kita melihat bahwa pada akhirnya di dunia media
pemberitaan dan hiburan, semua menjadi “sah” ketika dapat dijual dan menggaet
rating.
Adakah kita lupa bahwa setiap orang memiliki marwah untuk
tidak menjadi perbincangan khalayak. Pernahkah berpikir efek apa yang akan
diterima oleh seorang Tasripin di usia-usia mendatang? Bahwa kepapa-annya
pernah menjadi tontonan ratusan juta masyarakat. Sementara awak media berbangga
hasil karyanya menjadi headline dan bahkan menggelitik tokoh penguasa,
lalu apa yang menjadi kebanggan seorang Tasripin dan keluarganya? Apakah
diperhatikan presiden karena kemiskinan menjadi sebuah hal yang membanggakan?
Apakah ketika sebuah kesedihan keluarga atas kematian menjadi sebuah hal yang
“menghibur”?
Media telah membuat kita mengaburluluhkan urusan-urusan yang
tadinya bersifat privasi menjadi konsumsi publik. Anehnya, kita justru senang
menikmatinya. Tangisan itu bukan
tontonan. Penderitaan bukanlah bulan-bulanan media. Begitu juga dengan apa yang
dilakukan oleh orang-orang yang ada di lembaga sosial. Menjadi tanggungjawab
kita untuk menjaga marwah dari setiap penerima manfaat. Mereka yang menerima,
memberi, semua pada posisi yang sama, dan kita adalah jembatan kasih antar
sesama. Semoga.
No comments:
Post a Comment