Pages

Saturday, May 04, 2013

Tak Ada Asap Jika Tak Ada Api : Memahami Teror Yang Sebenarnya

#catatanRingan

“…ada yang sudah sesak lebih dahulu karena tercekik biaya pendidikan, ada yang sudah ter-teror dari awal dengan biaya pendidikan yang mahal…, bijaksana lah dalam berkomentar! “

Pernah melihat orang-orang bermobil mewah yang ngomel-ngomel pada demonstran BBM tapi dia sendiri ngisi bensinnya pake bensin bersubsidi? Pernah melihat orang-orang yang sok intelektual dengan mencaci demonstran dengan mengeluarkan teori-teori tinggi tapi ketika harga-harga melambung naik dia pun misuh-misuh? Orang-orang yang mengeluhkan macet, merasa dirugikan oleh aksi massa mahasiswa tapi dia sendiri menikmati kebijakan yang dihasilkan gara-gara perjuangan para demonstran itu. Orang-orang seperti itu banyak jumlahnya disekitar kita. Kalau saya akan merasa jijik melihat orang-orang seperti itu, pun bagaimana hebatnya orang tersebut. Kalau teman-teman saya suka menyebutnya sebagai kelompok#kelasMenengahNgehe.

Rasa jijik yang sama juga menyentak saya ketika secara tak sengaja melihat salah satu respon terkait rame-ramenya aksi pengasapan di Hardiknas kemarin. Saya sebenarnya tidak ingin berkomentar panjang tentang aksi itu. Selain bahwa saya masih“setia” untuk mengkritik pemberitaan di media yang berlebihan, saya juga tidak tertarik dengan konflik sentimen antar kelompok gerakan mahasiswa, yang sepertinya kejadian kemarin menjadi momentum untuk mereka saling sikut. Biasa itu. Namanya juga anak muda.

Tapi sungguh saya tersentak ketika melihat salah satu komentar yang menyebutkan : “dampaknya ke alumni, perusahaan menjadi tidak respect nanti kepada alumni, beasiswa-beasiswa dari perusahaan juga nanti akan berkurang…bla…bla..bla..”. Intinya sebuah ungkapan yang merendahkan aksi para demonstran karena secara tidak langsung ia akan menerima dampaknya. Perasaan saya saat melihat komentar itu adalah “ih, kok gitu sih? lebai banget! kalaupun demonya ada yang salah ya cukup bilang salah tapi nggak usah nyinyir pake bawa-bawa nasib alumni”. Kesannya dia adalah alumni terhebat dengan daftar seribu prestasi yang kemudian merasa dirugikan gara-gara aksi para demonstran. Menurut saya pada saat itu sebenarnya dia telah kehilangan karakter dirinya dansemua prestasinya bernilai nol besar.


Begini lho, kalau kita ingin berkomentar sesuatu yang bersifat publik tolong jangan self centered. Adik-adik Save Soedirmandan tentunya kelompok mahasiswa yang lain punya ghirah untuk memperjuangkan nasib teman-teman mereka yang kesulitan membayar biaya pendidikan. Menyuarakan nasib teman-temannya yang tidak mampu bersuara. Bahwa pada prosesnya kemudian memunculkan letupan emosi, itu adalah bagian dari proses, resiko-resiko yang akan dihadapi oleh sebuah perjuangan. Meskipun orang-orang yang kontra save soedirman merasa bahwa ada banyak aksi yang lebih“cerdas”, tapi apakah ada yang berani menjamin itu? Ah, itu mirip orang-orang partai bersih yang tentu saja tidak bisa menjaminkan dirinya akan benar-benar bersih. Intinya, tidak ada kesempurnaan. Tidak ada yang bisa menjaminkan sesuatu itu sempurna selain Yang Maha Kuasa, bukan?

Sehebat-hebatnya orang pintar , masih lebih hebat orang yang mampu mengatur sikap bijaksananya untuk mencoba mengetahui akar masalah yang ada. Kalian pintar, lulus dari unsoed dengan suma cum laude, diiringi tepuktangan yang riuh rendah, serentetan sertifikat prestasi yang gemilang, tapi karakter kalian nol ketika bicara merasa terugikan gara-gara sebuah aksi perjuangan mahasiswa.

Mungkin kalian benar bahwa insiden kemarin akan menimbulkancitra buruk, sedikit warna gelap di khalayak. Tapi hidup ini lebih dari sekedar nama baik, kawan. Hidup ini lebih dari sekedar urusan citra. Saya paham bahwa bagi orang-orang yang mungkin ada di wilayah kehumasan, kepentingannya adalah nama baik. Tapi, tengoklah hati nurani, bahwa lebih dari sekedar urusan nama baik, ada adik-adik kita, ada teman-teman kita yang jatuh bangun demi beberapa lembar rupiah untuk membayar kuliah. Saya menyaksikannya dengan mata kepala langsung. Sepagi kemarin, seorang ibu dan anaknya datang mengajukan pinjaman untuk membayar SPP karena hari itu adalah deadline pembayaran uang kuliah. Saya melihat dengan mata kepala langsung, adik-adik yang pusing karena tak sanggup membayar kuliah. Dulu sempat terdengar kabar akan ada pengembalian UKT, penangguhan pembayaran SPP, tapi kenyataannya mereka tetap harus membayar sejumlah nominal yang tak kecil. Teman-teman Save Soedirman mungkin punya data kasus yang lebih banyak lagi. Salah satu adik saya, Bhaskara bahkan bercerita sedang banyak melihat banyak kasus terkait hal itu. Inilah teror yang sebenarnya!

Jujur, kalau melihat dunia pendidikan yang seperti itu saya speechless. Saya beberapa kali melihat orang tua yang mengadu sambil meneteskan air mata bahwa ia tak sanggup lagi membiayai pendidikan anaknya. Saya bisa merasakan kepiluan dan kebingungan orang-orang yang melihat dunia pendidikan ini dengan sangat horor.

Maka, sangat tidak etis ketika kita bicara “nama baik” alumni di depan perusahaan dalam kondisi yang seperti ini. Selain sebuah sikap paranoid, itu jelas-jelas menunjukkan mental dan karakter kita yang tak punya sisi empati sama sekali.

Bukan berarti saya tidak berempati pada yang merasa menjadi korban “pengasapan” kemarin. Ada yang sesak nafas karena asap di kantor,mungkin. Tapi di sisi lain, saya melihat orang-orang yang sesak nafas karena tak bisa bayar kuliah. Kalau saya melihat dua kasus sesak nafas yang seperti itu, jelas keberpihakan mana yang akan diambil. Betul bahwa kawan-kawan alumni juga nanti akan mendapatkan serpihan kerugian. Toh yang mendapatkan kerugian itu bukan cuma kalian. Bahkan mungkin seorang cleaning servicedi rektorat pun mengalami kerugian karena harus kerja ekstra memberesi ruangan akibat pengasapan. Semua merasa dirugikan. Tapi, siapa yang sebenarnya menjadi biangkerugian ini semua? Sistem yang membuat teror pada orang-orang kecil dengan biaya pendidikan yang sangat tinggi,bukan?! Save Soedirman saya yakin tidak akan turun kalau memang kesepakatan yang sudah dibuat oleh rektor kemarin dijalankan dengan baik. Tak ada asap jika tak ada api.

Kalau masalah dirugikan, para alumni bukanlah satu-satunyayang merasa rugi. Tapi sungguh sangat egois ketika berkoar-koar seperti itu,sementara sebenarnya ada yang sudah dirugikan jauh dari semenjak Save Soedirmanturun. Saya jadi membayangkan pada saat para pejuang kita merebut kemerdekaandulu. Kalau rakyat mau egois, mereka akan bilang bahwa perang akan merugikanmereka, karena rumah harus terbakar, kampong halaman harus ditinggalkan, danlain sebagainya. Tapi mereka paham bahwa apa yang sedang dilakukan paraprajurit itu adalah sebuah “investasi” masa depan, untuk anak cucu merekasupaya bisa menghirup nafas kemerdekaan. Seandainya dulu kekuatan orang egoisyang mendominasi, mungkin saat ini kita tak akan pernah mengenal proklamasi kemerdekaan.

Memaklumi dan berbesar hati, itu memang sesuatu yang sulit. Tapi justru itulah sebenar-benarnya prestasi. Bukan sekedar IPK kalian yang cumlaude, bukan sekedar rentetan beasiswa dan prestasi yang gemilang, tapibagaimana kelembutan hati serta kepekaan melihat permasalahan yang ada disekitar. Kalau aksi kemarin dianggap teror, ada adik-adik kita yang sudah lebihdulu diteror dengan biaya pendidikan dan itulah teror yang sebenarnya. Jangankita marah karena terpercik air ketika sebuah ambulance melaju kencang, tapicoba pikirkan bagaimana kegundahan orang yang sedang sakit didalamnya. Apalagikalau dalam hal ini, para alumni itu adalah orang yang lebih senior. Lebihbijak dan berkarakterlah. Masalah link pekerjaan, perusahaan, beasiswa, ituadalah rezeki yang jika kita sungguh-sungguh meraihnya, insya Allah tak akansusah.

Anak muda dengan gejolaknya, itu sudah biasa, adanya beberapa letupan emosi semoga segera dapat diredupkan. Selesaikanlah teror komersialisasi pendidikan ini, kalaupun kalian tidak selesai menunaikannya, jangan lupa untuk mewariskan semangat perjuangan itu ke generasi yang lebih muda. Yakin Usaha Sampai. :)



Shinta arDjahrie
-- bukandemonstran--



Kawasan Madrani, 4 Mei 2013 , jelang waktu dhuha di Sabat yang bersahabat.
Bertepatan dengan harba PII, dirgahayu!
Title: Tak Ada Asap Jika Tak Ada Api : Memahami Teror Yang Sebenarnya; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

8 comments:

poernawarman said...

1. Alay atau tidak, itu subjektif Mbak sebagai pengamat. Namun diskusi yang berputar berputar adalah pada tindakan yang sudah tidak bisa dibilang baik, bahkan menuju pada kekacauan.Kalau Mbak merasa jijik dengan orang2 yang sudah Mbak sebutkan, maka saya juga jijik dengan orang2 yang membenarkan tindakan yang menimbulkan kekacauan seperti yang dilakukan teman2 Save Soedirman.
2. Dan komentar anda tentang merendahkan aksi demonstrasi.... saya harap anda mengacu kepada aksi pengasapan. karena tindakan itu (Pengasapan) bukanlah suatu bentuk demonstrasi. saya harap Mbak tau tentang hal ini.
sampai disini saya berfikir Mbak sudah Self-centered (menjilat ludah sendiri?). selanjutnya, siapa yang terlihat merendahkan?
3. Mungkin Mbak sebagai freelancer tidak kena dampak secara langsung. lalu bagaimana dengan mereka yang ada ikatan dinas? Malu adalah hal pertama yang mereka rasakan ketika melihat berita (Tp mungkin beruntungnya bukan berita utama). tidak signifikan memang, tapi tetap akan menjadi pecahan kekecewaan tersendiri. dan saya harap mb benar2 menyimak dari sumber diskusi secara langsung, bukan karena DIBERITAHU oleh orang lain.
4. saya pengamat pendidikan, sama seperti Mbak dalam hal ini. tp fokus pembahasan diskusi adalah tentang PENGASAPANNYA, pembenaran terhadap pengasapan dan solusi alternatif yang seharusnya bisa dilakukan tanpa menimbulkan hal2 negatif semaksimal mungkin.

Saya tunggu responnya. (Senang dapet teman debat. ^_^)

Sahida Woro Palupi, S.K.M said...

Saya setuju dengan saudara yang berkomentar di atas. Perasaan malu itu pasti adanya. Banyak teman saya bercerita akan komentar-komentar dari orangtua mereka. Banyak yang mengatakan, itu mahasiswa atau ....?
Harusnya masih banyak cara yang dapat ditempuh untuk memperjuangkan nasib UKT.
Apalagi banyak dosen yang mengkritik akan hal tersebut, dan salah satu perkataan dosen favorite saya yaitu yang membahas tentang sikap dan perilaku mahasiswa yang kurang bermoral. Beliau menyampaikan, Universitas kita menyandang banyak predikat. Dari kampus olahraga yang tak mempunyai fakultas olahraga, kampus tenang dan nyaman di jawa dimana yang lain sibuk demo mahasiswa kita diam2 saja. Namun, kemarin di saat yang lain a"adem ayem" eeh...ini ada aksi sendiri, menghebohkan koran tiap edisi akhir-akhir ini.
Ya benar itu, apa kata banyak orang????
Yang saya kurang setujui, mengapa gerakan tersebut membawa nama semua mahasiswa UNSOED??? Padahal banyak kalangan tidak merespon adanya gerakan tersebut. Gerakan tersebut memebawa-bawa Organisasi lain yang sebenarnya tidak ada dukungan untuk mereka.

Srie Mustika Rahayu said...

Tak akan ada asap jika tak ada api. Maka, tak akan ada tulisan ini jika anda sekalian punya cara solutif untuk menyelesaikan permasalahan ini. Kalau Mbak Shinta memakai bahasa ‘jijik, saya lebih suka mengatakan saya kasihan dengan orang-orang itu. Mencela tanpa mengerti apa yang mereka cela. Mengumpat, tanpa memahami siapa yang mereka umpat. Memaki-maki, tanpa sadar sudahkah mereka bercermin. Merasa sudah berbuatkah sampai harus menyalahkan tindakan orang lain? Lucu. Kalau saya lebih percaya bahwa kinerja seseorang tidak diukur dari citra basis pendidikan orang tersebut. Kalau toh dia punya skill, mengapa harus dispelekan? Mungkin kalau seandainya benar-benar ada yang diremehkan hanya karena dia alumni dari ‘universitas rusuh’, itu karena dia tidak bisa membuktikan bahwa universitas tempat dia berasal dalam kondisi seburuk apapun tidak mempengaruhi kredibilitasnya di perusahaan tempat dia bekerja. (jika tetap mau membicarakan kredibilitas). Karena ia begitu saja memberikan alasan pada orang-orang di tempat ia bekerja yang justru sedang menanti-nantikan untuk meremehkannya. Ini ‘mungkin’ lho ya, jangan diambil hati gitu dong, dicek dulu bener apa engga. Kalau sebatas diledek-ledek mah aaah biasa. Yang luar biasa itu ketika alumni termaksud lebih memilih membuktikan diri dibanding terus mengeluh dia dianggap remeh karena keributan yang tidak ia buat. Memangnya mengeluh membuat mereka terlihat keren? Nggak juga meen..

Srie Mustika Rahayu said...

Dan bagi anda sekalian yang jijik dengan aksi savesoedirman berikut yang membenarkannya, ‘kekacauan’ yang anda sebutkan itu sebetulnya mungkin tidak perlu ada jika ada ‘solusi alternatif’ yang topcer yang bisa anda lakukan. Bukan, bukan sekadar pembahasan dan pembahasan yang tak kunjung selesai, namun tindakan yang riil yang menghasilkan. Saya kira malu adalah hal yang wajar. Bukankah kewajaran itu menunjukkan bahwa kita masih punya sisi kemanusiaan? Kalau sisi itu lebih ditonjolkan, mungkin yang malu bisa turut berpikir apa yang harus dan baik dilakukan, dibanding terus-terusan menyalahkan dan menyalahkan orang lain dan keadaan yang ditimbulkan. Oh, saya jadi membayangkan seandainya itu yang terjadi, indah sekali ending dari perdebatan ini. Saya kira sudah saatnya, kita semua bahu membahu menuju keadaan yang lebih baik, dibanding jalan di tempat dan terus meributkan mengapa, mengapa, dan mengapa. Mengapa harus ini, mengapa tidak itu, mengapa jadi begini.. Well, pertanyaan mengapa ini ayolah kita jawab dengan APA. Apa yang harus dilakukan? Apa yang bisa kita perbuat? Apa solusi yang paling bijak? Dibanding yang menuding, saya lebih menghargai yang menantang dengan solusi yang lebih yoi.

Srie Mustika Rahayu said...

Malu? Jika mau berkaca dari rasa malu, tidak malukah diri kita pada diri sendiri saat melihat orang lain berbuat namun kita hanya sibuk menghujat? Saya tidak membenarkan tindakan yang dianggap sebagai kekacauan itu. Namun tidak jua saya menyalahkan terjadinya tindakan tersebut. Aah benar dan salah hanya soal subjektifitas saja. Tak perlulah dibesar-besarkan. Karena sebenarnya ‘permainan asap-asapan’ itupun tak akan ada jika toh Rektor tidak ingkar. Ya, saya lebih suka mengatakan ‘permainan asap-asapan’ karena anak-anak di sekitar rumah saya pun bermain benda serupa saat ada perayaan hari besar. Senang-senang saja yang saya lihat mereka tetap ceria. Tak ada yang menyebutnya bom atau granat (hehehe). Sudah saya bilang ini hanya persoalan subjektif saja. Sana sini berbeda tho cara memandangnya? Tak usahlah heboh seheboh-hebohnya begitu. Yang perlu dipahami, ada puluhan ribu orang hampir mati tercekik biaya pendidikan yang muahal, yang meski terlihat murah-- ya memang murah bagi anda yang berduit-- namun nyatanya toh membelit. Masihkah kita ingin terus berkutat dengan benar salah sementara di sekitar kita mereka saja banyak yang tidak mengerti apa yang mereka alami? Tak jadi melanjutkan kuliah karena biaya sulit, tindakan benarkah itu? Jadi pengamen karena lebih menghasilkan dibanding sekolah, salahkah itu? Jawabannya tidak benar dan tidak salah. Ada banyak hal di sekitar kita yang begitu tampak runyam dan rumit, padahal pemecahannya sederhana saja: berbagi.

Srie Mustika Rahayu said...

Ya tidak bisa berbagi dengan materi, bagilah sedikit sumbangan pikiran. Tidak jua, tenaga lah. Tidak bisa juga, empati lah. Masih tidak bisa? Anda tidak pantas merasa malu. Malu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang peduli, yang masih memiliki sisi humanis dalam dirinya. Maka saya percaya, anda yang merasa malu adalah anda yang akan membuktikan, bahwa apa yang beredar tidaklah benar, dan anda yang akan mampu memberikan langkah yang solutif(hanya jika anda tetap keukeuh menganggap tindakan yang dilakukan savesoedirman itu salah).
Bagi yang tidak menerima gerakan yang turut membawa-bawa nama mereka, ya buatlah gerakan lain yang lebih kongkrit dan efektif. Simpel kan? Salam Perdamaian. 

poernawarman said...

postingan pertama
saya sepakat dengan saudari Mustika bahwa orang diukur dari kemampuannya. tp opini selanjtnya saya sangat tidak respek dengan itu. dan bahkan bertanya2, apa anda mencintai alamamater anda (Itu klo anda seorang Alumni UNSOED, kalo bukan boleh di skip aja ko). dengan mudahnya anda menyepelekan adik2 anda yang berbuat salah tanpa membenarkannya... saya pikir saudarilah yang tidak bertindak dan hanya cuek melenggang lalu.

postingan kedua
saya rasa anda tidak mengikuti perkembangan debat di Fb tentang solusi alternatif, jadi saya skip aja.

postingan ketiga
Bukankah akan lebih malu jika kita tidak mengoreksi tindakan adik2kita yang salah. mana peran moral anda sebagai senior mereka (Kembali ke andai anda Alumni UNSOED, hehe). sebutkan siapa yang memandang pengasapan baik buat UNSOED? hanya teman2 SS yang cuma beberapa orang. gmna pandangan publik yang lebih besar tentang kejadian itu> orang tua Siswa yang melihat, saudara2nya... apa saudari mengabaikan hal ini? dan anda terlalu membesar2kan perkara pendidikan. lalu apa yang anda harapkan dari pendidikan di Inodesia? apa tujuan yang anda harapkan dari pendidikan di indonesia? cukup berhenti sampai PENDIDIKAN HARUS MURAH?? apa yang bisa didapat dari pendidikan MURAH? Kualitas? daya saing dengan Negara Lain? solusi saudari yang solutif adalah BERBAGI?? tolong dijelaskan dan bagaimana mekanismenya? bagaimana membangun kesadaran berbagi? siapa yang harus berbagi?

postingan keempat
Malu hanya untuk orang2 yang humanis dan peduli? atas dadar apa saudari berkata seperti ini? apa definis malu menurut anda? tolong di jabarkan karena pikiran anda masih terlalu dangkal. sepert halnya pangasapan, tindakan yang membuat malu banyak pihak. namun mereka melakukannya dengan riang gembir (lihat video), tak nampak malu di wajah mereka, bearti mereka bukanlah orang2 humanis dan peduli pada pihak lain. mereka hanya peduli pada diri mereka sendiri: Showing Their Existence through UKT. Shame on them...

Shinta ar-djahrie said...

Wah, maaf...saya baru sempat ngecek blog, dan notif comment tidak saya aktifkan ke email.

Sebelum menjawab semua, ada dua hal yang ingin disampaikan :
1.Postingan ini tidak dibuat untuk "berdebat", dan
2. Saya tidak suka diskusi di dunia maya dengan orang yang tidak menggunakan identitas jelas.

Maturnuwun sudah singgah di blog ini..:)