Pages

Sunday, June 09, 2013

EMPING

#catatanRingan yang kebanyakan curcolnya.

Hujan sepertinya sedang bersinergi dengan rindu. Ia sedang sering mencumbu bumi. Kadang pagi, siang, sore, malam, bahkan dini hari seperti saat itu. Saat aku harus terjaga dan mengintipnya lewat jendela. Nampaknya aku memang mudah terbangun oleh hujan, khususnya hujan dini hari. Tapi dini hari itu, aku terjaga selain karena hujan juga karena lapar. Reflek ku tengok meja rendah sebelah tempat tidur. Salah satu perabot “minoritas” karena tidak berwarna hijau seperti jamaknya perabotan yang ada di kamar ini.

Dari sekian banyak benda yang berserakan di meja tersebut, mataku tertumbuk pada kantong kresek putih. Setelah ditengok, didalamnya ada tiga bungkus plastik bening ukuran sedang (duh kok banyak banget sampah plastiknya ya?!maaf ini tak sengaja).  Di tiap bungkusan plastik bening itu ada makanan kering. Dua diantaranya berisi emping, dan yang lainnya krupuk bawang. 

Emping dan kerupuk bawang itu sejenak membawa ingatanku ke sebuah pertemuan di beberapa hari sebelumnya. Saat itu malam 27 rajab. Setelah siangnya berpadu janji, malam itu saya berkesempatan untuk bertemu seorang teman. Sebut saja namanya Demas. Beliau salah satu penggerak komunitas pendidikan di kota kecil ini. Kebetulan ada satu program kerjasama yang ingin diinisiasi, jadi kami perlu berunding. Jadilah, angkringan pasar wage menjadi tempat perundingan itu. Kami ternyata penggemar angkringan untuk tempat diskusi.

Kemudian kami berbincang banyak tema selain tujuan utama tentang kerjasama program. Dari mulai obrolan tentang pendidikan, forum juguran, gamelan, banyumas, wayang sampai tentang pocong. Apa hubungannya? entahlah, mungkin obrolan kami itu ibarat omnibus. Sempat juga beberapa kali obrolan terhenti, oleh pengamen. Kebetulan saya termasuk yang senang melihat aksi pengamen. Kata Demas, bedanya pengamen di Indonesia dan di luar negeri, kalau di negara kita lebih banyak pengamen yang menyodorkan tangan untuk meminta-minta dikasih, sedangkan di luar negeri justru masyarakat yang menghampiri mereka untuk ngasih uang. Dengan kata lain, apresiasi terhadap pekerja seni jalanan diluar negeri lebih tinggi dibanding di negeri kita. Entahlah. Kalau ada pengamen dan aku suka, aku pasti kasih apresiasi, meskipun sedikit. Itu saja yang kupikir. Tidak lebih.

Di lepas pukul sembilan malam, obrolan tiba-tiba harus menemui jeda ketika ada sesosok wanita menghampiri kami. Gurat wajahnya menunjukan jejak perjalanan hidup yang sudah cukup panjang ia jalani. Usianya saya taksir diatas 70 tahun. Warna merah muda di bajunya sudah tak tampak jelas karena memudar. Jilbab bergo yang dikenakan seadanya membingkai wajahnya yang bulat. Mungkin yang khas dari sosok itu adalah celoteh riangnya yang tanpa henti. Hingga tak terlihat lelah yang dirasa.

Satu hal yang dapat dicirikan dari wanita itu adalah dua tas plastik besar di jinjingan dan gendongannya. Ya, ia ibu penjaja emping dan krupuk bawang. Ibu yang dengan penuh percaya diri menghampiri dan menghentikan obrolan kami. Tanpa diminta, ia serta merta mengeluarkan contoh-contoh “produk” yang dijualnya. Gendongannya serasa kantong ajaib Doraemon yang bisa mengeluarkan banyak jenis kerupuk. Ada kerupuk bawang, kerupuk mie, emping, dan entah apalagi. Saya dan Demas awalnya cukup kaget. Kalau jujus, mungkin ada sedikit perasaan terganggu. Tapi itu sekelebat saja. Justru perhatian saya mendadak teralih pada sang wanita itu. Saya hilang keinginan melanjutkan obrolan, justru memulai obrolan baru dengan si ibu. Pertanyaan pertama saya sangat retorik : malam-malam begini masih jualan bu? (saya menyampaikan pertanyaan itu dengan bahasa jawa, tentunya). Ya, mungkin lepas diatas jam 9 itu belum terlalu malam. Tapi, bagi saya, seorang wanita tua berjalan kaki di sebuah pasar dengan sarat jinjingan, itu bukan sesuatu yang bisa dianggap “tidak apa-apa”. Bagi saya, itu sangat “apa-apa”.


Bagaimana itu bisa “tidak apa-apa”. Di waktu orang lain jamaknya sedang beristirahat, ibu itu justru bekerja tanpa kenal lelah. Apalagi malam itu menjelang long week-end, dimana orang akan memilih berkumpul bersama keluarga dalam syahdunya malam peringatan isra mi’raj. Tapi sosok ibu ramah di depan kami ini mungkin tak pernah tahu apa itu long week-end bersama keluarga atau handai taulan. Ia hanya berpikir bagaimana emping dagangannya habis. Meski ia harus berjalan kaki menembus malam dan belum tahu akan selesai jam berapa.  Itulah yang ia lakukan di setiap harinya. Dari celotehnya, kami mendapat beberapa potong cerita, kenapa ia harus bekerja, dan  hidup yang dijalani dalam kesendirian. JIka pada awalnya kami yang mengajukan pertanyaan, selanjutnya malah si ibu itu bercerita tanpa diminta. Mengalirlah segala kisahnya.Ah, ada beberapa hal privasi yang tentunya tak elok apabila diumbar disini. Kami tak peduli tentang kebenaran cerita yang disampaikan. Bagi saya, menyimak tiap frasa yang dilontarkan sang ibu dengan ekspresinya yang khas memiliki pelajaran tersendiri.

Orang-orang seperti ibu penjaja emping itu adalah orang yang masih ingin menjaga harga dirinya dengan bekerja. Orang yang rela lelah untuk menikmati lembar halal rupiah meski tak seberapa. Orang yang cita-citanya sederhana, yaitu mengisi hidup dengan aktivitas yang benar, halal. Orang-orang seperti itu bukan pemimpi yang mengidamkan menjadi jutawan. Sekedar beberapa bungkus emping yang terjual di tiap malam sudah menjadi pemantik bertubi-tubinya kalimat tahmid. Orang-orang seperti itu susah untuk tergiur kenikmatan dunia. Meskipun ada, ia terlindungi oleh ketidaktahuannya. Hidup yang dijalani adalah hidup yang sederhana, tak kenal banyak intrik, tak mengenal strategi. Apa yang sudah diberikan Gusti Allah, itu yang harus disyukuri, simple kan?!. Allah kasih badan yang masih sehat, kaki yang masih kuat, maka disyukuri dengan bekerja. Meski ia punya banyak alasan untuk mengeluh dan memaki, meski ia punya sejuta argumen kuat untuk meminta-minta belas kasihan. Tapi wanita mulia itu, seminim apapun kondisi hidupnya, ia rela mengumpulkan lembar abu-abu dua ribu rupiah untuk tiap bungkus emping yang dijajakannya. Sedangkan bagi aku, kami, kita, orang-orang seperti mereka adalah guru. Mereka orang-orang terpilih yang sengaja dihadirkan Tuhan untuk membuat kita selalu eling , untuk membuat kita selalu terjaga, untuk membuat kita selalu belajar. Belajar tentang syukur, belajar tentang penjagaan marwah, belajar tentang kehidupan.

Dan demi tak ingin sang ibu terganggu waktu bekerjanya, kami mencukupkan obrolan. Tak lupa kami menukarkan lembaran rupiah dengan beberapa bungkus krupuk dan emping.

Setelah beberapa langkah si ibu meninggalkan kami, hening pun tercipta. Reflek saya mengubah posisi duduk bergeser kebelakang untuk sekedar menyandarkan punggung ke pintu kios toko. Kaki saya selonjorkan. Dari hela nafas masing-masing, saya tahu pikiran kami sedang mengembara. Mengembarakan rasa malu terhadap diri sendiri, yang masih cetek ilmunya, yang masih kerdil jiwanya, yang masih manja dalam menghadapi dinamika kehidupan. Sempat terlintas juga ingatan dan rindu saya atas sosok wanita hebat dalam ruang hidup pribadiku, ibu dan nenek. Wanita-wanita yang wajib saya usahakan kebahagiannya. Ah, kalau saat itu saya sedang sendirian, pasti sudah menetes barang satu atau dua butir air mata.  Tapi, akhirnya kami memilih untuk meneruskan obrolan yang tertunda. Obrolan dengan tema random. Sekedar melepas tawa dan sengkarut pikir.

Epilogue : Meski hujan belum berhenti, meski emping belum sempat termakan, rasa lapar saya mendadak saja hilang. Terpikir untuk mengirimkan sebuah pesan atau membuka laptop untuk sekedar menulis beberapa aksara untuk bicara. Tapi, hujan dini hari itu sudah cukup membuatku merasa punya teman berbincang. Hingga hujan pun sempat mengingatkanku pada sebuah kebodohan. Kebodohan bahwa kami lupa menanyakan siapa nama sang ibu penjaja emping itu. hehehe. Pastinya mereka itu memiliki nama yang tidak setenar para selebritas. Mereka yang tak pernah diingat atau ingin diketahui namanya oleh banyak orang. Allah selalu memeluk orang-orang seperti mereka itu dengan dekapan kasih sayang yang sangat erat, dekapan kasih sayang yang menciptakan hangat meski ditengah deras hujan es sekalipun. Semoga.

Purwokerto, pekan pertama Juni 2013
Kawasan Madrani, ditengah sejuknya lereng gunung Slamet.  

Ket : foto yang terpasang bukan subyek yang diceritakan dalam tulisan ini. 



Title: EMPING; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: