Hujan sepertinya sedang bersinergi dengan rindu. Ia sedang
sering mencumbu bumi. Kadang pagi, siang, sore, malam, bahkan dini hari seperti
saat itu. Saat aku harus terjaga dan mengintipnya lewat jendela. Nampaknya aku
memang mudah terbangun oleh hujan, khususnya hujan dini hari. Tapi dini hari
itu, aku terjaga selain karena hujan juga karena lapar. Reflek ku tengok meja
rendah sebelah tempat tidur. Salah satu perabot “minoritas” karena tidak
berwarna hijau seperti jamaknya perabotan yang ada di kamar ini.
Dari sekian banyak benda yang berserakan di meja tersebut,
mataku tertumbuk pada kantong kresek putih. Setelah ditengok, didalamnya ada
tiga bungkus plastik bening ukuran sedang (duh kok banyak banget sampah
plastiknya ya?!maaf ini tak sengaja). Di
tiap bungkusan plastik bening itu ada makanan kering. Dua diantaranya berisi
emping, dan yang lainnya krupuk bawang.
Emping dan kerupuk bawang itu sejenak membawa ingatanku ke
sebuah pertemuan di beberapa hari sebelumnya. Saat itu malam 27 rajab. Setelah
siangnya berpadu janji, malam itu saya berkesempatan untuk bertemu seorang
teman. Sebut saja namanya Demas. Beliau salah satu penggerak komunitas
pendidikan di kota kecil ini. Kebetulan ada satu program kerjasama yang ingin
diinisiasi, jadi kami perlu berunding. Jadilah, angkringan pasar wage menjadi
tempat perundingan itu. Kami ternyata penggemar angkringan untuk tempat
diskusi.
Kemudian kami berbincang banyak tema selain tujuan utama
tentang kerjasama program. Dari mulai obrolan tentang pendidikan, forum
juguran, gamelan, banyumas, wayang sampai tentang pocong. Apa hubungannya?
entahlah, mungkin obrolan kami itu ibarat omnibus. Sempat juga beberapa kali
obrolan terhenti, oleh pengamen. Kebetulan saya termasuk yang senang melihat
aksi pengamen. Kata Demas, bedanya pengamen di Indonesia dan di luar negeri,
kalau di negara kita lebih banyak pengamen yang menyodorkan tangan untuk
meminta-minta dikasih, sedangkan di luar negeri justru masyarakat yang
menghampiri mereka untuk ngasih uang. Dengan kata lain, apresiasi
terhadap pekerja seni jalanan diluar negeri lebih tinggi dibanding di negeri
kita. Entahlah. Kalau ada pengamen dan aku suka, aku pasti kasih apresiasi,
meskipun sedikit. Itu saja yang kupikir. Tidak lebih.
Di lepas pukul sembilan malam, obrolan tiba-tiba harus menemui jeda ketika ada
sesosok wanita menghampiri kami. Gurat wajahnya menunjukan jejak perjalanan
hidup yang sudah cukup panjang ia jalani. Usianya saya taksir diatas 70 tahun.
Warna merah muda di bajunya sudah tak tampak jelas karena memudar. Jilbab bergo
yang dikenakan seadanya membingkai wajahnya yang bulat. Mungkin yang khas
dari sosok itu adalah celoteh riangnya yang tanpa henti. Hingga tak terlihat
lelah yang dirasa.
Satu hal yang dapat dicirikan dari wanita itu adalah dua tas
plastik besar di jinjingan dan gendongannya. Ya, ia ibu penjaja emping dan
krupuk bawang. Ibu yang dengan penuh percaya diri menghampiri dan menghentikan
obrolan kami. Tanpa diminta, ia serta merta mengeluarkan contoh-contoh “produk”
yang dijualnya. Gendongannya serasa kantong ajaib Doraemon yang bisa
mengeluarkan banyak jenis kerupuk. Ada kerupuk bawang, kerupuk mie, emping, dan
entah apalagi. Saya dan Demas awalnya cukup kaget. Kalau jujus, mungkin ada
sedikit perasaan terganggu. Tapi itu sekelebat saja. Justru perhatian saya
mendadak teralih pada sang wanita itu. Saya hilang keinginan melanjutkan
obrolan, justru memulai obrolan baru dengan si ibu. Pertanyaan pertama saya
sangat retorik : malam-malam begini masih jualan bu? (saya menyampaikan
pertanyaan itu dengan bahasa jawa, tentunya). Ya, mungkin lepas diatas jam 9
itu belum terlalu malam. Tapi, bagi saya, seorang wanita tua berjalan kaki di
sebuah pasar dengan sarat jinjingan, itu bukan sesuatu yang bisa dianggap
“tidak apa-apa”. Bagi saya, itu sangat “apa-apa”.
Bagaimana itu bisa “tidak apa-apa”. Di waktu orang lain
jamaknya sedang beristirahat, ibu itu justru bekerja tanpa kenal lelah. Apalagi
malam itu menjelang long week-end, dimana orang akan memilih berkumpul
bersama keluarga dalam syahdunya malam peringatan isra mi’raj. Tapi sosok ibu
ramah di depan kami ini mungkin tak pernah tahu apa itu long week-end bersama
keluarga atau handai taulan. Ia hanya berpikir bagaimana emping dagangannya
habis. Meski ia harus berjalan kaki menembus malam dan belum tahu akan selesai
jam berapa. Itulah yang ia lakukan di
setiap harinya. Dari celotehnya, kami mendapat beberapa potong cerita, kenapa
ia harus bekerja, dan hidup yang
dijalani dalam kesendirian. JIka pada awalnya kami yang mengajukan pertanyaan,
selanjutnya malah si ibu itu bercerita tanpa diminta. Mengalirlah segala
kisahnya.Ah, ada beberapa hal privasi yang tentunya tak elok apabila diumbar
disini. Kami tak peduli tentang kebenaran cerita yang disampaikan. Bagi saya,
menyimak tiap frasa yang dilontarkan sang ibu dengan ekspresinya yang khas
memiliki pelajaran tersendiri.
Orang-orang seperti ibu penjaja emping itu adalah orang yang
masih ingin menjaga harga dirinya dengan bekerja. Orang yang rela lelah untuk
menikmati lembar halal rupiah meski tak seberapa. Orang yang cita-citanya
sederhana, yaitu mengisi hidup dengan aktivitas yang benar, halal. Orang-orang
seperti itu bukan pemimpi yang mengidamkan menjadi jutawan. Sekedar beberapa
bungkus emping yang terjual di tiap malam sudah menjadi pemantik
bertubi-tubinya kalimat tahmid. Orang-orang seperti itu susah untuk tergiur
kenikmatan dunia. Meskipun ada, ia terlindungi oleh ketidaktahuannya. Hidup
yang dijalani adalah hidup yang sederhana, tak kenal banyak intrik, tak
mengenal strategi. Apa yang sudah diberikan Gusti Allah, itu yang harus
disyukuri, simple kan?!. Allah kasih badan yang masih sehat, kaki yang masih
kuat, maka disyukuri dengan bekerja. Meski ia punya banyak alasan untuk
mengeluh dan memaki, meski ia punya sejuta argumen kuat untuk meminta-minta
belas kasihan. Tapi wanita mulia itu, seminim apapun kondisi hidupnya, ia rela
mengumpulkan lembar abu-abu dua ribu rupiah untuk tiap bungkus emping yang
dijajakannya. Sedangkan bagi aku, kami, kita, orang-orang seperti mereka adalah
guru. Mereka orang-orang terpilih yang sengaja dihadirkan Tuhan untuk membuat
kita selalu eling , untuk membuat kita selalu terjaga, untuk membuat
kita selalu belajar. Belajar tentang syukur, belajar tentang penjagaan marwah,
belajar tentang kehidupan.
Dan demi tak ingin sang ibu terganggu waktu bekerjanya, kami
mencukupkan obrolan. Tak lupa kami menukarkan lembaran rupiah dengan beberapa
bungkus krupuk dan emping.
Setelah beberapa langkah si ibu meninggalkan kami, hening
pun tercipta. Reflek saya mengubah posisi duduk bergeser kebelakang untuk
sekedar menyandarkan punggung ke pintu kios toko. Kaki saya selonjorkan. Dari
hela nafas masing-masing, saya tahu pikiran kami sedang mengembara.
Mengembarakan rasa malu terhadap diri sendiri, yang masih cetek ilmunya,
yang masih kerdil jiwanya, yang masih manja dalam menghadapi dinamika
kehidupan. Sempat terlintas juga ingatan dan rindu saya atas sosok wanita hebat
dalam ruang hidup pribadiku, ibu dan nenek. Wanita-wanita yang wajib saya
usahakan kebahagiannya. Ah, kalau saat itu saya sedang sendirian, pasti sudah
menetes barang satu atau dua butir air mata.
Tapi, akhirnya kami memilih untuk meneruskan obrolan yang tertunda.
Obrolan dengan tema random. Sekedar melepas tawa dan sengkarut pikir.
Epilogue : Meski
hujan belum berhenti, meski emping belum sempat termakan, rasa lapar saya
mendadak saja hilang. Terpikir untuk mengirimkan sebuah pesan atau membuka
laptop untuk sekedar menulis beberapa aksara untuk bicara. Tapi, hujan dini
hari itu sudah cukup membuatku merasa punya teman berbincang. Hingga hujan pun
sempat mengingatkanku pada sebuah kebodohan. Kebodohan bahwa kami lupa
menanyakan siapa nama sang ibu penjaja emping itu. hehehe. Pastinya mereka itu
memiliki nama yang tidak setenar para selebritas. Mereka yang tak pernah
diingat atau ingin diketahui namanya oleh banyak orang. Allah selalu memeluk
orang-orang seperti mereka itu dengan dekapan kasih sayang yang sangat erat,
dekapan kasih sayang yang menciptakan hangat meski ditengah deras hujan es
sekalipun. Semoga.
Purwokerto, pekan pertama Juni 2013
Kawasan Madrani, ditengah sejuknya lereng gunung
Slamet.
No comments:
Post a Comment