*Majalah LAMPU edisi 3
Detak jarum jam seolah mengguratkan
semburat merah di kaki langit. Perlahan, senja berkemas. Keriuhan sesiang sudah mulai bergerak pulang.
Disaat jam sudah melewati batas
jam kerja itulah, seorang rekan beranjak masuk dan menghempaskan diri. Dan
ternyata, ia membawakan sebuah hadiah, sebuah kisah.
Namanya pak Abdul. Saat siang tadi kami
sedang melakukan kunjungan ke salah satu Muzakki, sebuah pesan singkat masuk
yang kemudian kami ketahui namanya sebagai pak Abdul. Berbagi tugas, biarlah salah satu dari kami
saja yang menyambangi kediaman pak Abdul. Ini kunjungan kali pertama bagi kami ke tempat
beliau. Tidak ada bayangan atau gambaran siapakah dibalik nama pak Abdul
ini. Gambaran yang tesampaikan dalam
tulisan ini adalah disarikan dari kisah kunjungan yang diceritakan kepada
penulis.
Beliau seorang penjahit. Tinggal di sebuah
rumah kontrakan kecil, yang nilai kontraknya hampir sama dengan biaya kos-kosan
sederhana di lingkungan kampis UNSOED. Beliau tinggal bersama keluarganya
disana dan tentu saja bersama dengan sahabat yang juga penyambung nafas
hidupnya, yaitu mesin jahit. Bukan mesin jahit canggih. Usaha yang
dijalankannya adalah usaha yang berbekal semangat belajar dan pantang menyerah. Awalnya beliau
awam tentang dunia tata busana. Boro-boro
menjahit, memasukan benang kedalam jarum pun mungkin butuh waktu lama. Tapi
ia ingin belajar, setidaknya ia ingin punya ketrampilan yang dari sana mampu
menyambung nafas keluarga. Dari nol, beliau belajar tak kenal hanti. Hingga
akhirnya ia berhasil membuat sebuah celana dengan sempurna. Kemudian ia membuka
usaha jahit di rumah petaknya yang sederhana itu. Jika kisah hidupnya ini
dianggap monoton, maka memang monoton karena hanya dihiasi oleh semangat dan
semangat. Kata menyerah hampir enggan untuk merayapi hidupnya. Ketelatenan
serta kejujurannya membuat pak Abdul sering mendapat kepercayaan untuk
order-order jahitan dari orang-orang penting, bahkan dari luar kota Purwokerto.
Namun kecakapannya itu tidak membuatnya lantas mematok tariff jasa lebih
tinggi. Hingga saat ini ia menjadi tukang jahit yang sederhana.
Untuk menemaninya bekerja, pak Abdul
bersahabatkan sebuah radio kuno. Dari radio tersebut pak Abdul kerap “tergoda” oleh sebuah advertori yang berisi
ajakan bersedekah. Ada yang berputar-putar di pikiran pak Abdul. Bagi seorang
penjahit seperti dia, penghasilan hanya habis untuk makan sehari-hari. Namun,
beliau sadar bahwa hidup ini tidak berhanti pada selesainya urusan makan dan
dunia belaka. Penasaran, ia menghubungi nomor layanan jemputan zakat yang diputar pada stasiun radio tersebut.
Ternyata, nomor layanan itu salah, masih ada digit yang tidak tersebut. Pak
Abdul bingung bukan kepalang. Tapi, keinginannya untuk bersedekah tak bisa lagi
dibendung. Dengan pendengaran yang sudah mulai berkurang, beliau kerap
menempelkan pesawat radio di telinganya. Kemudian dengan kemampuan otak-atik
nomor hape, ia mencoba segala angka dengan harapan “siapa tahu bisa
nyambung”. Berhari-hari pak Abdul
mencoba, Alhamdulillah akhirnya bisa dipertemukan dengan petugas penjemput
zakat dari Lazis Mafaza Peduli Ummat.
***
Kisah sederhana, di jelang penghujung
senja. Namun, serpihan kisah yang seperti inilah yang seolah menjadi cambuk
bagi kami para amil. Bukan besar-kecil nominal penerimaan serta penyaluran,
tapi hati-hati bening yang kami jumpai setiap hari . Begitu banyak sosok-sosok pak Abdul yang kami
jumpai, yang memiliki semangat bersedekah. Sedekah meski disaat kondisi susah.
Sedekah sebagai penghilang resah. Kami melihat seolah di setiap detiknya, hanya
ridho Allah yang ingin diraih.
Meski kadang ironi juga tak pelak kami
temui. Disaat ada orang-orang yang bergegas menyisihkan hartanya untuk berbagi
dengan yang membutuhkan, masih ada juga yang genggaman tangannya sangat erat
menghitung-hitung harta yang diklaim sebagai miliknya semata. Sementara itu
senandung perut lapar serta rintihan masyarakat miskin yang butuh pengobatan,
terus menjadi music yang menggelitik
otak dan hati kami. Menggelitik untuk terus mengencangkan ikat pinggang,
menegakan bahu, untuk bisa berpikir bagaimana caranya jembatan yang kami coba
bentangkan dapat terjabat erat di satu
sisi oleh muzakki dan di satu sisi oleh mustahik.
Seperti pak Abdul yang tak lelah menjahit
amal sholih, semoga kita mampu terus menyatukan pola legenda hidup kita dengan
jahitan yang baik. Aamiin. (nta)
No comments:
Post a Comment