Pages

Tuesday, February 05, 2013

Episode Jogja

#Catatan Perjalanan


Jumat malam, 1 Februari'13, kantor yang sempit.

 Malam yang semakin larut. Ada satu email yang sedang kutunggu. Meski penat mulai menyapa, tapi teringat perjalanan esok hari, maka ku urung pulang ke peraduan.
"Kalau kita mau keluar kota, pastikan kerjaan semua beres dulu.." itu kata-kata mbak Nurli Al-Azhar  pusat, salah satu lembaga yang bermitra dengan  tempatku beraktivitas. Makanya, malam itu aku masih berkutat dan membereskan meja kerja yang berantakan serta menuliskan beberapa memo tugas. Ah, sebenarnya aku juga nggak  bermaksud pergi jauh. Cuma ke jogja. Tiga jam perjalanan naik kereta. Akhirnya, lewat tengah malam sudah bisa merebahkan diri, meski belum benar-benar merem karena harus beres-beres kos.. :D 


Sabtu, 2 Februari 2013

Hanya tidur beberapa jam saja. Selepas adzan shubuh aku langsung melesat ke kantor yang ada di sebrang masjid. Ada saja yang tertinggal, huufth . Dan finally, pukul 06.00, aku sudah duduk manis di kereta Logawa. Tiket yang sudah kupesan jauh-jauh hari membawaku untuk duduk di bangku nomor 10C. Aku berseberangan dengan seorang ibu yang akan ke Klaten dan seorang pemuda yang hendak turun di Jombang. Kereta Logawa ini memang punya rute pemberangkatan Purwokerto-Surabaya. Dulu saat belum diberlakukan aturan nomor tempat duduk, kau harus bersiap-siap berdesak-desakan di pintu masuk untuk berebut kursi. Bahkan tak jarang bahwa ada sebagian calon penumpang yang batal diangkut sehingga tiketnya dikembalikan lagi. Dulu saya naik kereta ini pertama kali saat ada acara HMI di surabaya. Setelah itu lama tak menyambangi kereta Logawa lagi. Kalau ke tujuan Yogyakarta, banyak alternatif kereta yang lain. 


Untuk bisa duduk nyaman di kereta Logawa kelas ekonomi ini, kita perlu merogoh kocek Rp 40.000,-. Ya, standart kereta ekonomi lah, tidak mahal dan tidak murah. Tarif itu sebenarnya adalah tarif untuk tiket sampai stasiun terakhir. Jadi, jauh-dekat, turun dimana saja tetap dengan satu harga. Seperti yang ibu-ibu di depan saya bercerita, beliau asli Klaten dan sering mengunjungi anaknya di Purwokerto. Dulu, si ibu ini katanya naik kereta Logawa dari Klaten-Purwokerto dengan tarif 15ribu rupiah, hingga sekarang harus membayar tarif penuh Rp 40.000,-. Kebijakan baru. 



Tapi, lupakan sejenak tentang kebijakan PT.KAI, lupakan juga bagaimana saya tiba di jogja. Semua terasa begitu cepat. Mungkin karena di sepanjang perjalanan saya malah sibuk untuk koordinasi sana-sini. Perjalanan yang kurang dinikmati. Meski beberapa kali saya bertukar cerita dengan mas-mas dan mbak-mbak yang ada di depanku. Tak banyak yang istimewa, tujuan saya pertama di jogja mengunjungi pameran fotografi orang utan, tanpa janjian yang tepat, bertemu juga saya dengan beberapa teman untuk sedikit urusan tentang kamera. FYI,  dua kamera pocket di kantor rusak *lembiru*. Tak lama , menjelang dhuhur, saya memilih jalan-jalan sendiri ke kawasan Kraton. Kenapa kesana?? gak kenapa-kenapa. Cuma pengen jalan-jalan sambil cari titipan seragam batik pesanan teman. 


Sambil hunting foto di maliobro dan pasar beringharjo, akhirnya kaki ini melangkah sampai kawasan kraton. Masuk menyambangi museum Senobudoyo. Hah, wisata ke museum itu wisata yang sangat murah. Tiketnya cuma tiga ribu rupiah dan guide-nya gratis. Entah kenapa, aku jadi teringat waktu berkunjung ke Lawangsewu, Semarang. Mungkin agak kurang tepat ketika keduanya dibandingkan, tapi ada beberapa kesamaan. Dimana keduanya merupakan ruang untuk mengingat kembali sejarah. Dari segi management tempat wisata, jelas Lawang sewu lebih tertata, harga tiket dan paket guide nya lebih mahal. Sedangkan untuk senobudoyo, hanya dengan tiga ribu rupiah kita sudah  bisa masuk dan dipandu di museum budaya terbesar kedua di Indonesia (begitu katanya). Nah, yang agak menggelitik adalah bahwa Lawangsewu membangun "image" sebagai tempat yang lebih bersifat "wisata horor/mistis" daripada  sebagai "wisata sejarah", dari awal sampai akhir para guide tak akan lupa untuk menambahkan cerita hantu disana-sini, dan bahwa tempat ini juga dijadikan shooting acara "Dunia Lain" itu sepertinya menjadi daya tari sendiri bagi pengunjung (kecuali saya, tentunya). Oke, saya sepakat bahwa ada alam lain, ada makhluk halus, tetapi tidak semestinya kita menjadikannya sebagai bahan cerita "hantu", apalagi jadi bahan jualan. Nah, ketika saya di museum juga ditengah-tengah sempat ada celetukan tentang "cerita hantu" juga. Disini saya mulai malas. Nampaknya, pengemasan wisata sejarah di Indonesia perlu dievaluasi. Beberapa hal juga ada yang kurang membuat nyaman, diantaranya para pemandu yang kurang menguasai konten dari benda-benda yang dipajang di museum. Dalam kalimat singkat : pemandunya asal banget! (maaf ya mbak.. ^-^ ).

FYI, di museum ini kita akan diajak mengingat kembali masa peradaban manusia dari mulai  zaman pra-sejarah, zaman berburu dan meramu, sampai era kolonialisme. Bukan hanya tentang Jawa, tapi juga tentang suku lain di Indonesia seperti Bali. Tapi, memang tidak selengkap yang diduga. Skip saja, kapan-kapan akan saya tulis tentang perjalanan di museum ini. 


Saya saat itu berdua dengan seorang teman mengunjungi museum senobudoyo dan museum kereta kemudian menuju tamansari. Sekeluar dari pintu museum kereta, saya sempat berbincang dengan mbok-mbok penjual dawet yang kemudian jadi ada obrolan panjang yang berawal dari tema "gula aren". Ya, dawet yang dibuat si mbok itu ternyata memakai gula aren produksi orang Banyumas, tentu saja sudah dari tangan pedagang. Saya jadi teringat dengan beberapa penderes di desa-desa Banyumas. Entah bagaimana alurnya, akhirnya obrolan kami memanjang dan melebar. Ada beberapa cerita  yang ia kisahkan, aku hanya memancing saja dan tak banyak masuk dalam cerita. Bukan apa-apa saya sudah lama tak memakai  bahasa jawa krama jadi agak ragu barangkali kurang sopan.. *orang jawa yang nggak njawani.hehe*.  


Selepas muter-muter, saya mampir dan beristirahat di masjid Soko Tunggal.  Kemudian aku hubungi seorang teman, mas Yaser namanya. Awalnya saya memang kontak-kontak dengan beliau saat hendak ke Jogja.. Yak, dan jelang Ashar, datanglah makhluk yang akan menjemput saya itu. Waktu ngliat mas Yaser datang,  saya mbatin "what the...!!", khas mas Yaser, amat sangat cuek bebek banget! bayangin aja, cuma pake kaos, jaket dekil, dan celana kolor diatas lutut!! huuftth... Saya benar-benar tak ingat bagaimana bisa kenal dengan makhluk aneh ini. 


Hingga malam hari dan keesokan paginya, saya menghabiskan waktu di Masjid Jenderal Soedirman. Lokasinya di  Jln. Rajawali 10 Komplek Kolombo, Demangan Baru, Yogyakarta. Kebetulan disana sedang ada kegiatan memeperingati hari lahirnya nabi Muhammad SAW atau biasa disebut maulid nabi. Ada beberapa hal yang baru saya temui di acara ini. Salah satunya yaitu Joged Sholawat Mataram. Pertama, kata "joged" itu memang merupakan sinonim dari kata "menari", tapi kata Joged umum digunakan untuk tarian yang lincah, atau joged juga disebut beksa atau ledhek, tarian yang genrenya merupakan tarian pergaulan. Bagi orang awam seperti saya, mendengar kata "joged" yang terbayang ya tarian yang bersifat menghibur belaka, kayak joged dangdut, joged india, joged gangnam, dll. Kedua, itu diadakan di dalam masjid. Ini mungkin lebih karena cara pandang saya yang belum luas. Mungkin juga pengaruh lingkungan. Saya sangat jarang melihat ada pertunjukan kesenian di masjid. Contoh, di masjid tempat saya beraktivitas jelas yang namanya musik ya dilarang masuk masjid. Bahkan untuk memutar film pendek yang banyak musiknya itu saya harus berkonsultasi dengan ustadz. Untuk sebuah acara training guru TPA, yang ada latihan nyanyi-nyanyinya, kami harus pindah di aula atau bahkan pendopo kecamatan. Intinya, nggak boleh ada musik di masjid. Tapi saya menulis disini bukan untuk membahas mana yang benar dan mana yang salah, saya hanya menginformasikan bahwa saya saat ini tinggal di lingkungan yang sangat memberikan batasan-batasan ketat dalam penggunaan hall masjid. 


Kemudian saya sempat mencari-cari referensi, sedikit "ngeh" ketika membaca beberapa artikel tentang Joged Mataram.  Ya intinya sih,  kalau hanya sekilas saja dengar kata "Joged Sholawat" kita tidak akan bisa memiliki penilaian yang tepat untuk pertunjukan ini. Saya sarankan untuk menyaksikannya langsung. Dalam tema yang diangkat pada acara ini "Joged Sholawat Sebagai Media Dzikir", kita bisa tahu bahwa fokus utamanya adalah dzikir. Inilah yang perlu diapresiasi bahwa mereka mencoba mengungkapkan dan mengekspresikan cinta, mengingat melalui media tarian. Saya diam-diam iri melihat bagaimana mereka begitu kuat mengekspresikan rasa cinta dan ingatan mereka pada Nabi Muhammad. Saya diam-diam iri melihat ekspresi cintanya mas Wibbie dan team. Makanya beberapa kali saya ingin mengabadikan beberapa ekspresi dalam jepretan. Sengaja memang tak menyalakan blitz di kamera, sebagai amatir yang sangat amatir saya ingin belajar mengkomposisikan cahaya, ternyata hasilnya memang masih kurang bagus.hehe,  Tapi untuk menyetel kamera dalam kondisi auto saya juga mikir 'eman-eman', karena ada moment untuk belajar..hehe. Sebenarnya sih penerangan di masjid sudah cukup.., hanya kemarin lay-outnya saja yang agak dadakan. Kalau stage menarinya agak ketengah sedikit sepertinya lebih enak, tidak  terhalang tiang atau pengeras suara. Entah berapa kali saya muter-muter nggak jelas buat nyari spot yang enak. Udah gitu, kameranya masih pake lensa standart yang satu paket dengan body, yang tentu saja daya jangkaunya dikit. Nanti kalo udah bisa nabung banyak, beli kamera dan lensa yang bagus sekalian. *aamiin*. :D


Acara ini juga diramaikan dengan diskusi, yang kalau kemarin saya nggak lagi capek bisa lebih menyimak isi kajiannya yang bagus. Menarik, unik, dan sangat menambah wawasan, itu penilaian sederhanaku terhadap diskusi yang menghadirkan ki Herman Sinung Janutama sebagai pembicara ini. Sementara itu, sebenarnya saya belum bisa memahami sepenuhnya apa yang ada di rekaman-rekaman ceramah beliau, tapi bahwa ada banyak hal yang membuka wawasan baru, saya sangat sepakat. Saya mungkin masih teramat "dangkal" untuk bisa memahami kajian sedalam dan sedetail itu. Tapi justru itulah yang membuat saya ingin tahu banyak. Sepulang dari jogja bahkan sempat untuk searching info-info dan rekaman diskusinya ki Herman. Hasilnya??? saya bingung..hehe. 


Acara malam itu berakhir tepat jam 12 malam, dilanjutkan ramah tamah dengan menikmati hidangan yang sudah disiapkan oleh panitia. Sebenarnya saya laper banget waktu itu. Tadinya berencana untuk minta anter mas Yaser cari makan setelah acara, bayangin aja saya hanya sempat makan pas setiba di Jogja. Malam sebelumnya saya belum sempat makan. Eh, sorenya sempat dijajanin sih tapi kan cuma bubur, mana ada santannya pula. (maag membuat saya punya masalah dengan makanan bersantan).

Hanya karena acara Joged Sholawatnya bagus, saya lupa kalau perut sudah menjerit. Eh, ternyata setelah acara ada hidanggan. Masalahnya lagi, saya terjebak pada "jaga image" jadi ikut malu-malu untuk makan malam itu. Alhasil, hidangan sudah hampir habis. Tapi biasanya memang nggak bisa langsung makan nasi kayak gitu, bisa perih perutnya. 


Rasa lapar dan perihnya itu ternyata tertutup oleh rasa capek dan ngantuk. Tapi ternyata selepas makan masih ada acara ngobrol-ngobrol sama beberapa teman senior HMI, dan tau sendiri anak-anak HMI kalo ngobrol bisa lupa waktu, bahkan ketika ada di jeda tidak ada obrolan pun mereka masih belum pada pulang...haduuuuh. 


Saya lupa itu sudah jam berapa, sepertinya jam dua dini hari akhirnya bisa istirahat. Dan saat itulah baru terasa bahwa kaki kiri saya serasa mau copot. Baru ngeh kalau sehari sebelumnya saya seharian ada acara raker juga. Pantesan aja capek. Makanya, pas paginya meski udah bangun dari shubuh masih males untuk berdiri. Alhasil cuma tidur-tiduran saja sambil pesbukan...#nggakPentingBanget. 


Minggu, 3 Februari 2013
Yup, tak butuh waktu lama , saya bisa melupakan rasa lapar dan capek. Ngliat video rekaman acara malam sebelumnya, dan sebelum pulang saya ditemani jalan-jalan mengunjungi beberapa masjid unik di Jogja. Tentang yang ini, kapan-kapan saja saya tulis deh ya.

Hari minggu yang semakin terik, sebelum jelang tengah hari, saya sudah ada di perjalanan kembali ke Purwokerto. Alhamdulillah, sampai kamar kos sekitar jam 16.30, hanya perlu waktu beberapa detik untuk selanjutnya tertidur pulas, dan baru bangun jam 23.00 ..hehe. 


Sementara itulah catatan perjalanan saya di akhir pekan kemarin. Intinya, acara week-end kemarin cukup berkesan. Jarang-jarang saya bolos cuma untuk jalan-jalan. Terimakasih untuk teman-teman di Jogja khususnya mas Yaser dan crew MJS. Kalian keren.., saya dapat banyak inspirasi dari sana. :) Bulan depan rencananya ingin jalan-jalan ke Jawa Timur, kayaknya seru bisa mengunjungi trowulan. Meski saya ada agenda juga ke Pemalang jelang HPL calon keponakan..hehe. Ya, lihat saja nanti deh intinya sambil hunting dan belajar fotografi.. ;) 




5Februari2013, 22.05, masih di kantor.., sendirian. Menyiapkan bahan presentasi untk besok pagi... :D
Oya, selamat milad HMI.., terimakasih telah menjadi bagian dari ruang belajarku.., yakin usaha sampai :)
Title: Episode Jogja; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: