Prolog : Selain bertukar pikiran dan kisah, saya dan Om
Chairul kerap bertukar bacaan atau tontonan sekedar untuk bahan obrolan dan
juga refreshing. Biasanya sepulang ia bertugas sebagai dosen, mengajak
mahasiswanya untuk bergabung makan siang denganku. Sudah berpekan-pekan lamanya
kesempatan itu hilang. Kalo Om bilang : "shinta itu selalu sibuk, om nya
datang saja kadang dicuekin..."hahaha. Untuk menebus kesalahan itu, maka
kutawari untuk bertukar tontonan. Aku tawari film-film pemenang Oscar kemarin, kayak "Argo"; "Life
of Pie"; dan "Lincoln".
Tak ketinggalan kutawari juga film india yang dalam beberapa pekan ini aku
tonton juga.hehe. Sebagai barter, entah dapat dari mana Om ku memberikan
koleksi film-filmnya. Tentu saja koleksi beliau tidak lebih banyak
dariku.hahaha. Akhirnya, kucopy lah film "Muhammad AlFatih" dan
"Front of The Class". Judul yang kedua cukup membuat saya tercenung
dan bahkan hampir meneteskan air mata. Setelah dua pekan yang lalu larut dalam
emosi film bollywood, sore itu saya meleleh dalam film yang berdasarkan dari
sebuah buku dan juga kisah nyata. Front of The Class termasuk film lama.
Berkisah tentang seorang penderita Tourette Syndrom yang memiliki tekad luar
biasa kuat untuk menjadi guru.
Dan inilah itu, satu catatan sederhana , maaf kalau
mengandung spoiler :-)
"Guru bagi saya adalah orang yang memungkinkan anak-anak belajar walau dalam kondisi berbeda..."
Itulah jawaban
seorang Brad Cohen ketika ditanya kenapa ingin menjadi guru dan bagaimana guru
semasa kecil bisa menginspirasi dia untuk bertekad menjadi guru. Pertanyaan itu
muncul dalam sebuah wawancara pekerjaan di sebuah sekolah dimana Brad
mengirimkan lamaran pekerjaan. FYI, itu adalah sekolah yang ke sekian puluh
kali ia masuki untuk melamar pekerjaan sebagai guru. Brad Cohen memiliki resume
yang sangat bagus. Setiap lamaran pekerjaan yang dimasukan, ia selalu mendapat
panggilan wawancara. Namun, berulang kali pula ia gagal dalam wawancara. Dengan
satu alasan yang sama , para pengelola sekolah itu tidak percaya bagaimana
seorang penderita Tourette Syndrom dapat mengajar di depan kelas.
Sebuah hal yang cukup
mengganggu memang ketika dalam sebuah kondisi yang membutuhkan konsentrasi,
tiba-tiba ada seorang yang menimbulkan suara aneh seperti gonggongan anjing.
Penderita Tourette memang khas dengan gerakan-gerakan dan suara-suara yang
aneh. Syndrom ini adalah sebuah gangguan neurologis dimana sang penderita akan
menimbulkan gerakan dan atau suara aneh sebagai sebuah ekspresi emosi.
Suara-suara itu tak bisa dikendalikan. Itu semua muncul diluar kuasa sang
pengidap Tourette Syndrom. Bagi orang normal, itu menjadi terasa aneh dan kerap
kali memang mengganggu. Itulah yang dialami seorang Brad Cohen sedari kecil.
Langsung ke pointnya
saja, bahwa menurutku film ini memiliki pesan pendidikan yang kuat. Ada satu
moment dimana Brad merasakan telah terbuka pintu dunia baru baginya. Yaitu,
ketika kepala sekolah-nya, Mr.Myer , memberikan kesempatan kepada dia untuk
bicara depan khalayak apa yang diinginkannya, dan Brad menjawab : saya ingin
diperlakukan sama seperti orang lain.
Tercenung mengingat
bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita mungkin terlalu banyak memarginalkan
orang lain yang berbeda. Kita susah untuk menerima bahwa tiap orang memiliki
keunikan masing-masing. Saya pribadi pun tidak mudah mempraktekkan hal
tersebut. Saya pernah punya murid les yang berkebutuhan khusus. Awalnya, saya
tidak tahu. Sebuah kebiasaan, kalau punya kelas belajar, saya akan membebaskan
mereka untuk belajar dan bertanya kapanpun juga, tidak terbatas pada jam belajar.
Prinsip saya, ketika kita sudah mendedikasikan diri sebagai "pelayan"
maka tak ada namanya batasan jam kerja. Its oke, ini prinsip sebagai seorang
yang masih single.hehe. Nah, kembali ke cerita, karena murid saya yang
berkeutuhan khusus itu lumayan agresif maka bisa diduga dia menghubungi saya
untuk sekedar bertanya PR di waktu-waktu yang "unik", bisa pagi-pagi
banget atau malam-malam. Meski di depannya saya staycool, tapi sungguh di hati saya nggak munafik
kadang terasa terganggu. Jahat sekali ya saya?? :( . *dan ketika saya menulis
hingga bagian ini, mendadak saya ingat belum merespons sms dari Mega dan Desi
yang bertanya PR, yang satu eks anak les dan satu lagi adik di Oemah Sinau...:(
Mungkin tak perlu
jauh-jauh ke anak special. Terkadang dalam sekolah pun ada budaya untuk
mengelompokan anak-anak yang "pintar" atau "tidak pintar".
Kita susah sekali untuk bisa "adil" dan bersikap sama istimewanya ke
semua orang. Dulu, saat saya masih SD pernah berpikiran kenapa teman-teman saya
ada yang belum bisa berhitung dengan baik, padahal sudah kelas enam. Saya hanya
mikir simple, kita semua sama-sama makan nasi, berangkat sekolah sama
dari jam tujuh sampai jam satu siang, kenapa berbeda? Akhirnya saya melihat
adalah kesempatan untuk semangat belajar yang berbeda. Maka, saat itu saya
bikin kelompok belajar beranggotakan sepuluh anak, dan mereka adalah anak-anak
yang pernah tinggal kelas, anak-anak yang berada dalam "kasta sudra"
dalam urusan prestasi akademis. Sebuah kegembiraan kolektif bagi kami ketika
sepuluh anak ini bisa lulus dengan niai yang baik dan semua bisa masuk ke SMP
negeri impiannya masing-masing. Menarik sekali, ketika tidak ada yang merasa
lebih pintar atau lebih hebat.
Biasanya stratifikasi
anak ini juga datang dari orang tua. Saya masih ingat, saat di kelompok belajar
itu, suatu saat di giliran rumah salah seorang anak, ada seorang ibu yang bilang : "anakku kalau duduk nggak
boleh sama x atau y, dia kan raportnya banyak merah-nya, kalau duduk sama
anak-anak pintar saja biar ketularan pintar". Mungkin maksudnya bagus,
supaya anaknya menjadi lebih baik, tapi caranya salah dengan membeda-bedakan
orang. Bahwa semua anak sebenarnya pintar, semua anak itu istimewa. Tak ada
yang berbeda.
Itulah yang kemudian
menjadi semangat saya untuk berjibaku dalam "Oemah Sinau". OS ini
dibuat bukan sekedar untuk anak-anak punya ranking satu di kelasnya. Tak
penting itu ranking atau juara, tapi bahwa teman-teman OS punya semangat
belajar kapanpun dan dimanapun. Punya rasa ingin tahu dan kepercayaan diri yang
tinggi. Bahwa meski (maaf) mereka berasal dari kalangan dhuafa, tapi mereka
harus yakin bahwa mereka punya kesempatan yang sama dengan semua anak lain di
seluruh dunia. Mereka berhak punya cita-cita dan impian yang tinggi, tanpa
harus memikirkan orang tua yang tak punya uang untuk bayar SPP. Itu bukan
kendala. Bebaskanlah diri dan pikiranmu untuk belajar dan terus belajar.
Seperti kata Mr.Myer kepada Brad Cohen : "kau tau arti pendidikan? untuk
menambah pengetahuan dan menghilangkan kebodohan?". Ya, dan
membeda-bedakan orang lain adalah salah satu bentuk kedunguan yang kadang tak
sadar berada pada diri kita.
Kembali kepada kisah
Brad Cohen, dia juga akhirnya menemukan belahan jiwa nya. Seorang gadis manis,
yang tidak mempedulikan Tourette Syndrom yang ada pada diri Brad. Menurutku,
dia adalah wanita cerdas dan juga beruntung. Nancy, namanya. Dalam dunia nyata,
Nancy dan Brad akhirnya menikah. Ah, Tuhan memang tak pernah ingkar janji, ia
akan memberikan wanita hebat kepada pria hebat juga. Satu hal yang disebutkan
Nancy adalah bahwa cukup bagi dia untuk bahagia memilih Brad, karena Brad
membuat dia tertaw membuat dunianya menjadi indah. Ya, pesa yang menarik bahwa
cintailah orang yang selalu dapat membuatmu tertawa lepas dan menikmati hidup
ini dengan penuh rasa syukur. ^_^.
Mengenai sikap
terhadap orang yang berbeda berkaitan juga dengan stigma. Tempo hari ada yang
bertanya kepada saya : "ada temanku mantan gay, dia kayaknya lagi pdkt
sama aku. Bagaimana ya". Jawabku : "ya nggak ada masalah". Tiap
orang punya masa lalu-nya masing-masing, tiap orang punya jalan hidup
masing-masing. Apa yang buruk di mata kita adalah semata-mata karena kita belum
bisa menggali pelajaran yang terkandung didalamnya. Orang-orang yang hidup
dengan "resiko" adalah orang-orang yang dipilih Tuhan untuk
menanggung semua itu. Kita terlalu takut dengan resiko dan berpikir banyak
tentang masa depan. Padahal masa depan hakiki yaitu "akhirat" tidak
mensyaratkan orang harus lurus seratus persen. Berpikir tentang mati adalah
berpikir tentang hidup, bagaimana kita bisa manusiawi , memanusikan diri
sendiri dan manusia lain..itulah hidup! Bagaimana kalau tiba-tiba kita ternyata
dapat kecelakaan yang itu punya efek besar di masa depan, apakah kita akan
senang dimarginalkan oleh orang lain? tidak kan? Sekali lagi, orang-orang yang
yang punya hidup "beresiko" adalah orang-orang terpilih, mereka yang
dipercaya Tuhan untuk bisa menanggungnya dimana semua itu kemudian menjadi
pelajaran bagi orang lain. Nikmat apalagi yang kita dustakan?
Mengakhiri catatan
sederhana dan tak penting ini, mungkin ini hanya sebuah film yang bagi orang
lain mungkin sekedar hiburan (tapi tidak bagi saya). Bahwa dari kisah Brad
Cohen ini, ada banyak nilai humanis yang bisa kita ambil. Hidup ini hanya
perpaduan syukur dan sabar. Dengan apapun bahasa yang coba kita ungkapkan.
Berapa serpih hati yang kita iris hanya karena kita bersikap tak adil kepada
orang lain. Berapa kali kita toreh luka di hati orang-orang yang sebenarnya sudah
dipilih Tuhan untuk bisa jadi marrtir?! Semoga Allah SWT mengampuni dosa kita.
aamiin.
Maka, tulisan ini
menjadi sebuah refleksi bagi saya pribadi. Pagi ini kutorehkan janji, akan
menyapa semua orang yang kutemui dengan riang dan menanyakan kabarnya. Akan
melupakan segala kemarahan dan kekesalan kepada orang lain. Mungkin mereka
bukan sengaja bersalah, tapi mereka hanya belum tahu. Kenapa aku harus
marah-marah dan bersikap berbeda atas kelemahan dan kekurangan mereka? Ah,
lupakanlah saja. Kata "Class" dalam film ini menurutku bukan sekedar
merujuk pada kelas di sekolah, tapi juga "class" yang lebih besar,
bagaimana kita menghadipi kehidupan ini dengan lebih bersikan manis dan humanis
kepada orang lain. Semoga.
No comments:
Post a Comment