Pages

Thursday, March 14, 2013

Front of The Class

Prolog : Selain bertukar pikiran dan kisah, saya dan Om Chairul kerap bertukar bacaan atau tontonan sekedar untuk bahan obrolan dan juga refreshing. Biasanya sepulang ia bertugas sebagai dosen, mengajak mahasiswanya untuk bergabung makan siang denganku. Sudah berpekan-pekan lamanya kesempatan itu hilang. Kalo Om bilang : "shinta itu selalu sibuk, om nya datang saja kadang dicuekin..."hahaha. Untuk menebus kesalahan itu, maka kutawari untuk bertukar tontonan. Aku tawari film-film pemenang Oscar  kemarin, kayak "Argo"; "Life of Pie"; dan  "Lincoln". Tak ketinggalan kutawari juga film india yang dalam beberapa pekan ini aku tonton juga.hehe. Sebagai barter, entah dapat dari mana Om ku memberikan koleksi film-filmnya. Tentu saja koleksi beliau tidak lebih banyak dariku.hahaha. Akhirnya, kucopy lah film "Muhammad AlFatih" dan "Front of The Class". Judul yang kedua cukup membuat saya tercenung dan bahkan hampir meneteskan air mata. Setelah dua pekan yang lalu larut dalam emosi film bollywood, sore itu saya meleleh dalam film yang berdasarkan dari sebuah buku dan juga kisah nyata. Front of The Class termasuk film lama. Berkisah tentang seorang penderita Tourette Syndrom yang memiliki tekad luar biasa kuat untuk menjadi guru.
Dan inilah itu, satu catatan sederhana , maaf kalau mengandung spoiler :-)


 "Guru bagi saya adalah orang yang memungkinkan anak-anak belajar walau dalam kondisi berbeda..."

Itulah jawaban seorang Brad Cohen ketika ditanya kenapa ingin menjadi guru dan bagaimana guru semasa kecil bisa menginspirasi dia untuk bertekad menjadi guru. Pertanyaan itu muncul dalam sebuah wawancara pekerjaan di sebuah sekolah dimana Brad mengirimkan lamaran pekerjaan. FYI, itu adalah sekolah yang ke sekian puluh kali ia masuki untuk melamar pekerjaan sebagai guru. Brad Cohen memiliki resume yang sangat bagus. Setiap lamaran pekerjaan yang dimasukan, ia selalu mendapat panggilan wawancara. Namun, berulang kali pula ia gagal dalam wawancara. Dengan satu alasan yang sama , para pengelola sekolah itu tidak percaya bagaimana seorang penderita Tourette Syndrom dapat mengajar di depan kelas.

Sebuah hal yang cukup mengganggu memang ketika dalam sebuah kondisi yang membutuhkan konsentrasi, tiba-tiba ada seorang yang menimbulkan suara aneh seperti gonggongan anjing. Penderita Tourette memang khas dengan gerakan-gerakan dan suara-suara yang aneh. Syndrom ini adalah sebuah gangguan neurologis dimana sang penderita akan menimbulkan gerakan dan atau suara aneh sebagai sebuah ekspresi emosi. Suara-suara itu tak bisa dikendalikan. Itu semua muncul diluar kuasa sang pengidap Tourette Syndrom. Bagi orang normal, itu menjadi terasa aneh dan kerap kali memang mengganggu. Itulah yang dialami seorang Brad Cohen sedari kecil.


Langsung ke pointnya saja, bahwa menurutku film ini memiliki pesan pendidikan yang kuat. Ada satu moment dimana Brad merasakan telah terbuka pintu dunia baru baginya. Yaitu, ketika kepala sekolah-nya, Mr.Myer , memberikan kesempatan kepada dia untuk bicara depan khalayak apa yang diinginkannya, dan Brad menjawab : saya ingin diperlakukan sama seperti orang lain.

Tercenung mengingat bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita mungkin terlalu banyak memarginalkan orang lain yang berbeda. Kita susah untuk menerima bahwa tiap orang memiliki keunikan masing-masing. Saya pribadi pun tidak mudah mempraktekkan hal tersebut. Saya pernah punya murid les yang berkebutuhan khusus. Awalnya, saya tidak tahu. Sebuah kebiasaan, kalau punya kelas belajar, saya akan membebaskan mereka untuk belajar dan bertanya kapanpun juga, tidak terbatas pada jam belajar. Prinsip saya, ketika kita sudah mendedikasikan diri sebagai "pelayan" maka tak ada namanya batasan jam kerja. Its oke, ini prinsip sebagai seorang yang masih single.hehe. Nah, kembali ke cerita, karena murid saya yang berkeutuhan khusus itu lumayan agresif maka bisa diduga dia menghubungi saya untuk sekedar bertanya PR di waktu-waktu yang "unik", bisa pagi-pagi banget atau malam-malam. Meski di depannya saya staycool,  tapi sungguh di hati saya nggak munafik kadang terasa terganggu. Jahat sekali ya saya?? :( . *dan ketika saya menulis hingga bagian ini, mendadak saya ingat belum merespons sms dari Mega dan Desi yang bertanya PR, yang satu eks anak les dan satu lagi adik di Oemah Sinau...:(

Mungkin tak perlu jauh-jauh ke anak special. Terkadang dalam sekolah pun ada budaya untuk mengelompokan anak-anak yang "pintar" atau "tidak pintar". Kita susah sekali untuk bisa "adil" dan bersikap sama istimewanya ke semua orang. Dulu, saat saya masih SD pernah berpikiran kenapa teman-teman saya ada yang belum bisa berhitung dengan baik, padahal sudah kelas enam. Saya hanya mikir simple, kita semua sama-sama makan nasi, berangkat sekolah sama dari jam tujuh sampai jam satu siang, kenapa berbeda? Akhirnya saya melihat adalah kesempatan untuk semangat belajar yang berbeda. Maka, saat itu saya bikin kelompok belajar beranggotakan sepuluh anak, dan mereka adalah anak-anak yang pernah tinggal kelas, anak-anak yang berada dalam "kasta sudra" dalam urusan prestasi akademis. Sebuah kegembiraan kolektif bagi kami ketika sepuluh anak ini bisa lulus dengan niai yang baik dan semua bisa masuk ke SMP negeri impiannya masing-masing. Menarik sekali, ketika tidak ada yang merasa lebih pintar atau lebih hebat.

Biasanya stratifikasi anak ini juga datang dari orang tua. Saya masih ingat, saat di kelompok belajar itu, suatu saat di giliran rumah salah seorang anak, ada seorang ibu  yang bilang : "anakku kalau duduk nggak boleh sama x atau y, dia kan raportnya banyak merah-nya, kalau duduk sama anak-anak pintar saja biar ketularan pintar". Mungkin maksudnya bagus, supaya anaknya menjadi lebih baik, tapi caranya salah dengan membeda-bedakan orang. Bahwa semua anak sebenarnya pintar, semua anak itu istimewa. Tak ada yang berbeda.

Itulah yang kemudian menjadi semangat saya untuk berjibaku dalam "Oemah Sinau". OS ini dibuat bukan sekedar untuk anak-anak punya ranking satu di kelasnya. Tak penting itu ranking atau juara, tapi bahwa teman-teman OS punya semangat belajar kapanpun dan dimanapun. Punya rasa ingin tahu dan kepercayaan diri yang tinggi. Bahwa meski (maaf) mereka berasal dari kalangan dhuafa, tapi mereka harus yakin bahwa mereka punya kesempatan yang sama dengan semua anak lain di seluruh dunia. Mereka berhak punya cita-cita dan impian yang tinggi, tanpa harus memikirkan orang tua yang tak punya uang untuk bayar SPP. Itu bukan kendala. Bebaskanlah diri dan pikiranmu untuk belajar dan terus belajar. Seperti kata Mr.Myer kepada Brad Cohen : "kau tau arti pendidikan? untuk menambah pengetahuan dan menghilangkan kebodohan?". Ya, dan membeda-bedakan orang lain adalah salah satu bentuk kedunguan yang kadang tak sadar berada pada diri kita.

Kembali kepada kisah Brad Cohen, dia juga akhirnya menemukan belahan jiwa nya. Seorang gadis manis, yang tidak mempedulikan Tourette Syndrom yang ada pada diri Brad. Menurutku, dia adalah wanita cerdas dan juga beruntung. Nancy, namanya. Dalam dunia nyata, Nancy dan Brad akhirnya menikah. Ah, Tuhan memang tak pernah ingkar janji, ia akan memberikan wanita hebat kepada pria hebat juga. Satu hal yang disebutkan Nancy adalah bahwa cukup bagi dia untuk bahagia memilih Brad, karena Brad membuat dia tertaw membuat dunianya menjadi indah. Ya, pesa yang menarik bahwa cintailah orang yang selalu dapat membuatmu tertawa lepas dan menikmati hidup ini dengan penuh rasa syukur. ^_^.

Mengenai sikap terhadap orang yang berbeda berkaitan juga dengan stigma. Tempo hari ada yang bertanya kepada saya : "ada temanku mantan gay, dia kayaknya lagi pdkt sama aku. Bagaimana ya". Jawabku : "ya nggak ada masalah". Tiap orang punya masa lalu-nya masing-masing, tiap orang punya jalan hidup masing-masing. Apa yang buruk di mata kita adalah semata-mata karena kita belum bisa menggali pelajaran yang terkandung didalamnya. Orang-orang yang hidup dengan "resiko" adalah orang-orang yang dipilih Tuhan untuk menanggung semua itu. Kita terlalu takut dengan resiko dan berpikir banyak tentang masa depan. Padahal masa depan hakiki yaitu "akhirat" tidak mensyaratkan orang harus lurus seratus persen. Berpikir tentang mati adalah berpikir tentang hidup, bagaimana kita bisa manusiawi , memanusikan diri sendiri dan manusia lain..itulah hidup! Bagaimana kalau tiba-tiba kita ternyata dapat kecelakaan yang itu punya efek besar di masa depan, apakah kita akan senang dimarginalkan oleh orang lain? tidak kan? Sekali lagi, orang-orang yang yang punya hidup "beresiko" adalah orang-orang terpilih, mereka yang dipercaya Tuhan untuk bisa menanggungnya dimana semua itu kemudian menjadi pelajaran bagi orang lain. Nikmat apalagi yang kita dustakan?

Mengakhiri catatan sederhana dan tak penting ini, mungkin ini hanya sebuah film yang bagi orang lain mungkin sekedar hiburan (tapi tidak bagi saya). Bahwa dari kisah Brad Cohen ini, ada banyak nilai humanis yang bisa kita ambil. Hidup ini hanya perpaduan syukur dan sabar. Dengan apapun bahasa yang coba kita ungkapkan. Berapa serpih hati yang kita iris hanya karena kita bersikap tak adil kepada orang lain. Berapa kali kita toreh luka di hati orang-orang yang sebenarnya sudah dipilih Tuhan untuk bisa jadi marrtir?! Semoga Allah SWT mengampuni dosa kita. aamiin.

Maka, tulisan ini menjadi sebuah refleksi bagi saya pribadi. Pagi ini kutorehkan janji, akan menyapa semua orang yang kutemui dengan riang dan menanyakan kabarnya. Akan melupakan segala kemarahan dan kekesalan kepada orang lain. Mungkin mereka bukan sengaja bersalah, tapi mereka hanya belum tahu. Kenapa aku harus marah-marah dan bersikap berbeda atas kelemahan dan kekurangan mereka? Ah, lupakanlah saja. Kata "Class" dalam film ini menurutku bukan sekedar merujuk pada kelas di sekolah, tapi juga "class" yang lebih besar, bagaimana kita menghadipi kehidupan ini dengan lebih bersikan manis dan humanis kepada orang lain. Semoga. 


Purwokerto, 14 Maret 2013, 7.00am. Sambil nunggru antrian kamar mandi, makan roti dan susu strawberry. Multitasking banget. Selamat hari Kamis Humanis, untukmu selalu kuiringkan doa manis , semoga selalu ada peluk sayang Allah di setiap jeda tawa dan tangis.. :) 
Title: Front of The Class ; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: