Secara subyektif, terkadang saya
memiliki penilaian terhadap suatu lembaga dari pengelolaan media yang
dimiliki. Dalam setiap komunitas atau lembaga, ada fungsi kehumasan dimana hal
itu tertuang ke dalam satu wujud media. Bisa berupa papan informasi, majalah
dinding, bulletin, brosur, atau hingga majalah, jurnal, dan lain-lain. Maka
secara subyektif pula, saya menilai aktivitas literasi di sebuah lembaga dapat
mencerminkan dinamika keilmuan yang berjalan disana. Beberapa hari yang lalu
saya memberikan kalimat kritik yang agak
keras kepada salah satu takmir masjid : “ini masjid besar, tapi tidak ada aktivitas literasi sama sekali,
mading hanya satu-dua kali terbit kemudian bubar, ini kompleks pesantren dan
kampus harusnya banyak yang membaca, menulis, dan berdiskusi, tapi bulletin
saja bubar, benar-benar masjid megah tanpa peradaban!” . Kalimat seterusnya
agak kasar jadi tidak saya tuangkan disini. J .
Sebagai orang yang pernah memegang
tanggungjawab sebagai marketing komunikasi di sebuah lembaga, biasanya kalau ada
acara bersama lembaga lain, kami akan membawa marketing tools dari lembaga
masing-masing. Ada yang brosur, bulletin, majalah, jurnal, sampai buku. Tentu saja dari
media-media ini kita akan bisa melihat, mana media yang hanya jadi ajang eksistensi
saja atau media yang benar-benar menjadi wadah belajar, beraktualisasi. Bahwa
“marketing” adalah sebuah aktivitas pemasaran ide, pemikiran, bukan sekedar
jualan produk. Itulah yang membedakan orang-orang pekerja yang punya idealis
atau sekedar kejar target. Meski marketing tools nya berkemasan keren, tapi
kalau isinya biasa saja, ya terasa garing. Perlu ada peningkatan konten yang
disampaikan kepada “pasar”.
Salah satu contoh, ada satu teman saya yang
bekerja di sebuah lembaga pemerintahan, sebut saja namanya mas Febrie.Beliau
bekerja di Bappeda kabupaten. Menjadi
sorotan masyarakat ketika itu karena aktvitas di Bappeda kabupaten lebih
dinamis daripada di kota. Saat itu, teman saya membuat sebuah komunitas diskusi
dan merintis terbitnya sebuah jurnal. Sempat juga saya diundang menulis disana.
Apa yang menjadi istimewa dari jurnal tersebut? Bukan sekedar lambang
eksistensi , namun disana ada aktivitas penyampaian ide-ide tentang pembangunan
daerah, idealisme-idealisme para pegawai pemerintahan yang terkadang
tertututupi oleh opini publik tentang PNS.
Ada juga rekan-rekan saya yang aktif di
komunitas sastra. Membuat bulletin sastra “wedang kendhi”, bukan untuk sekedar
menunjukkan keberadaan komunitas tersebut, tapi memang dijadikan sebagai wadah
ekspresi dan apresiasi sastra lokal.
Berbicara “lokal”, saya juga memiliki rasa salut tersendiri pada
beberapa media lokal yang muncul bukan sebatas ekspresi primodialisme belaka.
Namun dijadikan media interaksi yang lebih memiliki kedekatan dengan masyarakat
lokal. Sebut saja seperti majalah Ancas, Banyumas. Keberadaanya cukup memberi
warna pada khasanah media lokal di wilayah Banyumas.
Salah satu media yang saya suka adalah
bulletin Jumat. Sejak kecil, ketika setiap Jumat ayah saya pulang dari masjid,
pasti membawa “oleh-oleh” bulletin Jumat. Biasanya yang paling rajin dan sering
muncul adalah bulletin dari yayasan-yayasan kelompok salafi. Tentu saja saat saya kecil tak mengerti
kelompok-kelompok itu, yang saya tau saya suka menikmati oleh-oleh makan siang
dari Sang Ayah sambil membaca bulletin yang banyak memuat ayat-ayat Quran dan
hadits itu. Biasanya ayah saya tidak hanya mengambil satu jenis bulletin saja,
tapi beliau meng-oleh oleh kan banyak rupa. Kebanyakan dari bulletin jumat,
biasanya kontennya normatif saja. Dalam bahasa kasar-nya : hanya jualan ayat!.
Tema-tema yang terpampang dalam tulisan disana sudah bisa ditebak. Padahal,
saya termasuk orang yang suka membaca media-media seperti itu sampai titik
terakhir. Menurut saya, ceramah-ceramah yang disampaikan oleh para ustadz
dengan berbusa-busa itu akan berbeda “sense”nya ketika kita nikmati melalui
bahasa tulisan. Maka, menjadi menarik (bagi saya) ketika acara-acara peringatan
hari besar Islam atau hari raya, ceramahnya itu juga tertuang dalam sebuah
makalah singkat atau bulletin / brosur. Tentu saja lebih menarik lagi, ketika
media-media dakwah itu tidak berisi tema-tema normatif belaka. Kebanyakan dari
bulletin atau majalah islam, materi-materi yang disampaikan hanya copy paste
dari internet dan bahasanya sangat menggurui. Saya suka pada jenis tulisan-tulisan
refleksi yang membuat kita terbuka wawasannya, tercerahkan, atau pada
tulisan-tulisan ekspresif dan original. Kenapa bulletin Jumat hanya berisi tema
yang itu-itu saja? Kalau dibilang itu menjadi “style”, saya pikir itu sebuah
apologi atas kematian kreatifitas mengelola media dakwah.
Salah satu bulletin jumat yang cukup
membuat saya terkesan adalah milik Masjid Jenderal Soedirman, Jogjakarta. Secara
fisik, rupanya sangat biasa. Cetakannya saja bisa gonta-ganti warna tergantung
percetakan-- katanya. Hehe. Tapi, berdasarkan keterangan dari pengasuhnya, antusiasme
jamaah sangat tinggi untuk mengisi
bulletin tersebut. Pengurus cukup proaktif untuk membuka kesempatan
seluas-luasnya pada jamaah untuk berkontribusi mengirimkan ide-idenya. Tadinya
saya berpikir, di Jogja yang konon katanya adalah kota pendidikan, tentu saja budaya seperti itu sudah biasa,
atmosfir baca-tulis disana cukup tinggi.
Namun, tidak juga ternyata. Saya pernah berkunjung ke beberapa masjid lain di
wilayah yang sama. Tak banyak bulletin Jumat yang “berkarakter”. Dalam artian,
ya itu tadi, hanya mengangkat tema-tema umum keagamaan, bersifat sebagai reminder
. Saya tak sengaja juga menemukan sebuah pembahasan tentang bulletin Jumat dan
mengambil bulletin “Jenderal Soedirman” sebagai sample, bisa dicek di link
berikut : http://immanyogyakarta.wordpress.com/2012/03/04/makna-selebaran-jumatan-peran-al-quran-dan-al-hadist-dalam-berargumen/
. Oya, salah satu contoh isi bulletin
masjid jendsud ini juga saya posting di blog.
Ternyata tak banyak orang bisa “tekun”
mengurusi sebuah media , bahkan seperti bulletin yang simple. Atau karena
terlalu simple itulah, orang justru malas mengurusnya ya? Hehe. Kalau mungkin bulletin agak malas untuk
mengurus, ya minimal majalah dinding atau papan informasi. Sama halnya dengan
bulletin, saya juga orang yang termasuk senang mengamati majalah dinding.
Pada beberapa training menulis yang pernah
saya isi, biasanya saya selalu mengadakan follow-up untuk menuangkan ide-ide
peserta melalui bulletin atau media berkala. Bagi trainer, itu akan membantu
untuk dapat melihat perkembangan kemampuan peserta dalam menuangkan idenya. Ada
satu peserta training, anak SMA, yang selalu rajin mengirimkan puisi-puisi dan
cerpennya kepada saya melalui inbox FB. Kami belajar menulis , tanpa pretense
apapun. Hanya ingin menuangkan pemikiran, berdiskusi, dan menjadi pembelajaran
yang berarti dan berharap dapat diimplementasikan pada kehidupan sehari-hari.
Secara singkat, saya hanya ingin
menyampaikan bahwa keberadaan media-media komunikasi/publikasi seperti majalah,
bulletin, brosur, itu bukan hanya eksistensi saja, tapi ada penuangan gagasan
disana. Menjadi penting bagi kita untuk
kembali menyumbangkan ketelatenan pada media-media tersebut. Termasuk juga
disini adalah portal / website atau media lain yang digunakan oleh tiap lembaga. Khusus untuk bulletin / lembar
jumat, akan lebih menarik ketika pengelolaannya tidak sekedar / asal terbit
saja. Semoga semakin ramai para pengelola berkreasi melalui lembar Jumat,
supaya souvenir Jumatan itu lebih bermanfaat dan berlimpah berkah. Aamiin.
*10maret2013, lewat jam
sepuluh malam. Sekedar ngebunuh jenuh, dua hari pulang pagi mulu...:D
No comments:
Post a Comment