#catatanRingan
# bagian prolog bisa di-skip aja.. :D
Prolog : Dilematis. Itu yang dirasa jika hendak ke bioskop di Purwokerto. Satu sisi, mungkin sebuah prestasi ketika akhir-akhir ini ada pembenahan management dan bioskop tua itu kemudian ramai dipenuhi para penikmat film. Namun di sisi lain, keriuhan yang terjadi itu adalah keriuhan sebagai pusat hiburan belaka. Tau kan maksudnya? Keramaian yang terjadi ketika bioskop dipenuhi oleh orang-orang yang sekedar untuk pacaran, mencari hiburan, dan sejenisnya? Dalam kondisi bioskop dipenuhi orang-orang seperti ini, saya tak pernah merasa nyaman. Masalahnya, orang-orang yang berorientasi mencari hiburan kerap kali tidak memiliki etika menonton. Maka, bisa dibayangkan bagaimana kesalnya saya selama menikmati film kemudian mendengar banyak hal norak seperti bunyi ringtone blackberry yang tak disilent, telepon genggam yang tak dinonaktifkan, atau sekedar mereka ngrumpi dengan rekan-rekannya sepanjang film diputar. Oh my..oh my... Jadi, untuk konteks kota kecil seperti Purwokerto ini, saya tak ingin mengutuk para pembajak. Justru melalui mereka lah , kemudian saya bisa punya kesempatan mengapresiasi film-film baru tanpa harus menunggu di bioskop dan berjejalan dengan para ABG labil disana. Kalau saya bertemu dengan Ang Lee, saya akan bilang bahwa saya sudah membeli novel dan menonton filmnya di bioskop. Tapi, karena ketidakpuasan saya terhadap kondisi bioskop yang ada, maka maafkan saya yang mengcopy hasil bajakan dan menonton ulang serta menyimpannya sebagai koleksi film di laptop saya. Dan inilah itu, sebuah catatan sederhana hasil menonton dan pembacaan terhadap sebuah kisah, Kisah Pi : Life of Pi. Insya Allah tidak mengandung spoiler... :)
Menurut asumsiku yang lumayan sok tau, ketika Ang Lee memilih menghadirkan tokoh Yann Martell dalam film-nya ini, adalah semata-mata untuk menyiasati kisah yang tak banyak memiliki dialog. Dialog yang dimaksud adalah dialog antar tokoh manusia, terutama pada adegan saat di laut lepas . Berbeda ketika kita menyimak novelnya. Menurutku, kisah ini justru padat karakter dan dialog. Karena film lebih bersifat visualisasi, maka mungkin tak mudah menghadirkan kisah-kisah dalam paragraf panjang tanpa tanda kutip alias tanpa dialog dalam tayangan-tayangan adegannya. Namun, sebenarnya selain Pi , kita perlu tahu bahwa Richard Parker (seekor macan tutul), Orange Juice (orang utan), Zebra dan Hyena adalah tokoh-tokoh yang punya peran lebih besar bahkan dibandingkan dengan tokoh Ravi (kakak Pi), Mamaji, dan keluarga Pi yang lain. Bahwa keberadaan Yann Martell di kisah ini adalah benar-benar outsider yang sebetulnya tak akan pernah kita temukan dalam novelnya kecuali di bagian pengantar, tentu saja.
Maka, sisi menarik dari film dan novel ini adalah kita dapat menemukan dialog yang begitu ramai antara Pi dan partner-partnernya yang bukan manusia itu. Bukan, ini bukan fabel dimana ada macan animasi yang dapat berbicara. Tapi, dalam novel, Pi ingin mengajak berdialog dengan pembaca tentang bagaimana ia berkomunikasi dengan para binatang. Kita akan menemukan barisan-barisan pikiran yang berkecamuk dalam otak Pi. Seperti monolog. Namun justru itu yang menghidupkan hubungan antara pembaca dan tokoh utama dalam kisah ini. Dalam bahasa teorinya : pada novel Life of Pi, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang kedua (aku), sedangkan dalam film penonton dijadikan sebagai orang ketiga yang mendengarkan penceritaan sebuah kisah dari Pi kepada Yann Martell (penulis novel). Meski dalam buku, kita juga akan menemukan beberapa bab singkat yang tercetak miring yang menceritakan dari sudut pandang menulis. Tapi itu hanya ada di bagian I saja.