Adzan Isya sudah mulai bersahutan saat kami memasuki salah
satu tempat makan yang berlokasi di daerah Gor Satria. Kupilih tempat ini
karena tersedia menu alternatif untuk tidak makan nasi. Kemudian sembari
menunggu menu kami diantar, perbincangan pun terus mengalir. Tiba-tiba, adikku
yang paling bungsu itu, mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tas. Nampaknya
ia sudah ingin sekali menunjukan bungkusan tersebut. Ternyata isinya adalah
sebuah “jas karung goni” alias jas almamater salah satu universitas negeri di
Jogjakarta. Ecieeee…yang sudah resmi jadi mahasiswa, begitu ledekku.
Pssst…, jas almamaternya lebih bagus dari kampusku dulu, unsoed..hahaha.
Dalam ruang benakku, kehadiran jas almamater itu seolah menyeret
sebuah lintasan peristiwa di beberapa bulan terakhir ini. Sembari menemaniku
adikku berbuka puasa, dan mendengar segala celotehnya, alam pikiranku
bermain-main dengan beberapa kenangan.
Sudah menjadi komitmenku sepeninggal almarhum ayah, untuk
mengawal bagaimana proses tumbuh kembang kedua adikku yang saat itu masih
sangat remaja. Sebuah sayatan hati yang tak akan pernah hilang memori malam itu
di rumah sakit. Peluk tangis dari adik-adik yang membasahi bahuku, sampai detik
ini masih terasa basah. Kuyup hingga ke hati. Semua pesan tentang mereka yang
disampaikan kepadaku di enam bulan jelang kepergiannya, malam itu seolah
menggema hingga saat ini. Persis keesokan harinya adalah pengumuman kelulusan
si adik dari sekolah menengah pertama.
Mulai saat itulah, saya berusaha memposisikan diri untuk menjadi
pengawal mereka dalam bertumbuh kembang termasuk dalam pendidikan mereka.
Agenda-agenda seperti masuk sekolah baru, terima raport, ujian akhir, dan
sejenisnya, saya sempatkan hadir. Bahkan untuk pementasan teater dimana si
bungsu jadi pemeran utama, saya sempatkan pulang untuk memberikan apresiasi.
Ketika adik perempuanku lepas SMA, kucoba semaksimal mungkin
untuk mendampingi berbagai ikhtiar masuk perguruan tinggi. Kini ia menjadi
salah satu mahasiswi di sebuah perguruan tinggi swasta di kota kelahiran. Ambil
jurusan yang disenanginya, pendidikan matematika. Semoga berkah.
Ya, doaku hanya ingin ikhtiar kami ini diberkahi. Bukan
untuk mencapai hal-hal yang muluk. Bukan untuk mendapat prestise bersekolah
di PTN terkenal. Kami memohonkan keberkahan saja, itu sudah sangat menenangkan.
Dan kini juga tanpa terasa si bungsu yang baru genap 17
tahun sudah berstatus menjadi mahasiswa (baru). Seperti ada rasa plong yang tak
terkira. Seperti mimpi saja bahwa si bungsu yang dulunya saya jemput saat
pulang TK, kemarin saya antar ke UGM.
FYI, adik-adik saya ini sangat berbeda dengan kakak
perempuannya ini. Mereka termasuk “anak rumahan” yang jarang pergi jauh. Maka
ketika harus pergi keluar kota, bisa terbayang kan bagaimana “nervous”nya. Ibu
juga merasa khawatir karena anak bungsunya itu memang tak pernah pergi jauh. Untuk adik perempuan,
mungkin saya bela-belain jemput di Tegal kemudian saya antar lagi ke purwokerto
dan diantar pulang lagi ke Tegal. Tapi untuk si bungsu laki-laki, saya agak
melepas. Sekedar untuk melatih mental-nya.
Sampai akhirnya test masuk ia memilih UGM. Itu sebenarnya
sepenuhnya saranku. Tapi aku tidak memaksakan dengan pilihan jurusan yang akan
diambil. Toh kami juga sudah sepakat bahwa UGM lebih bagus daripada
Unsoed.hahaha. Maksudnya begini, saya memilihkan tempat belajar untuk adik saya
bukan karena unsur favorit atau prestise segala macam. Saya mencarikan tempat
yang lingkungannya punya budaya belajar, bukan budaya mencari nilai, bukan
budaya bersaing. Unsoed juga bagus, tapi budaya belajarnya kurang, tradisi
riset dan keilmuannya masih sangat kering. Kalaupun banyak penelitian yang
dapat dana hibah, maaf saya masih melihat motivasinya masih sekedar motivasi
proyek. Jadi, bukan urusan kampus ini lebih keren daripada yang lain. Bukan itu.
Tapi lingkungan kota Yogyakarta secara umum memiliki atmosfer yang menyenangkan
untuk belajar banyak hal. Saya rasa, semua sepakat atas hal ini. Kalau ada yang
bilang saya modus biar bisa sering ke jogja, waah..itu pitnah!hehe. Dari dulu
saya juga sudah pingkopangkaping sering ke jogja, meski sekedar untuk mencari
buku atau nonton pameran.
Sebenarnya adik saya sangat berkeinginan untuk masuk jurusan
akuntansi. Tapi belum rejekinya. Daftar di Simak UI juga pilih akuntansi dan sosiologi, tapi
belum lolos. Rejekinya memang di sosiologi UGM. Karena pengalaman mengawal adik
perempuan saya di tahun sebelumnya, saya berusaha mengambil semua peluang test
supaya kesempatan masuk PTN jadi lebih luas. Selain ikut SBMPTN dan SIMAK, adik
saya juga ikut test STAN dan juga saya berniat mengikutsertakan dia di test UM
UGM. Pokoknya semua cara biar bisa masuk UGM deh. Etapi, ndilalahnya,
pas batas akhir pendaftaran UM, dompet saya seret, ATM juga lupa belum ngurus (udah
lama banget lupa pin dan keblokir), pas hari sabtu pula dan lagi di luar kota. Padahal
itu baru beberapa hari gajian, tapi karena pengeluaran lagi banyak banyaknya,
langsung bokek sebokek-bokeknya. Dengan manyampaikan maaf ke adik saya bilang :
“ que sera-sera aja yak, gak perlu ikut utul ugm dulu..,”. Eh, ternyata
SBMPTNnya malah lolos. Alhamdulillah banget.
Waktu nerima pengumuman lolos itu, kebetulan juga lagi di
jogja, trus lagi di transjogja. Entah kenapa, adhe’ku yang lolos tapi aku yang
terharu. Hehehe. Mungkin gitu ya perasaan para orang tua atau keluarga yang
anak-anaknya masuk PTN.
Selepas pengumuman, masih agak deg-degan, karena belum tahu
berapa nih biaya kuliah di UGM. Kebayang berapa penghasilanku yang masih kecil,
harus mikir dibagi-bagi lagi. Pas hari pengumuman UKT, ternyata mendapat nol
rupiah alias gratis. Alhamdulillah. Kabarnya lagi, malah nanti dapat uang saku
perbulan. Ah, nikmat mana lagi yang sanggup ku dustakan.
Kini tinggal ikhtiar mencari lingkungan tempat tinggal yang
kondusif. Sebenarnya kalau masalah ngekos, bisa-bisa saja. Tapi, saya pribadi memang menginginkan dia untuk bisa
tinggal di asrama atau pondok yang punya
sistem pendidikan informal, jadi ke jogja tidak Cuma dapat ilmu kuliahan.
Beberapa kenalan sudah saya kontak, baik masjid, ormas, atau pondpes. Belum final,
akan tinggal dimana. Saya kepengennya minimal tahun pertama ia belajar “ngabdi”,
belajar melayani masyarakat. Kalau lepas setahun dia tidak betah atau ingin pindah, silakan.
Tapi, setidaknya saya sudah melakukan bentuk ikhtiar mencarikan lingkungan pendidikan yang
kondusif. Itulah janji saya pada
almarhum ayah, yang tentunya saya jalani bukan hanya sekedar untuk pelunasan,
tapi benar-benar sepenuhnya untuk kebaikan sang adik.
Tulisan ini mungkin agak melo. Tapi memang inilah yang
menjadi semangat dibelakang segala yang sedang coba diusahakan.
Kangen papa. Sangat.
Kamis, 16ramadhan 1434 H
Ditulis dari kemarin sore, tapi baru kelar sekarang.hehe.
Pagi-pagi sudah on , persiapan untuk mengisi materi
character building di acara sanlat sebuah SMP di Purwokerto. Tapi masih bingung
, ini mo ngasih materi apa.hehe.
No comments:
Post a Comment