Pages

Thursday, July 25, 2013

Ikhtiar Melunasi Janji



Adzan Isya sudah mulai bersahutan saat kami memasuki salah satu tempat makan yang berlokasi di daerah Gor Satria. Kupilih tempat ini karena tersedia menu alternatif untuk tidak makan nasi. Kemudian sembari menunggu menu kami diantar, perbincangan pun terus mengalir. Tiba-tiba, adikku yang paling bungsu itu, mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tas. Nampaknya ia sudah ingin sekali menunjukan bungkusan tersebut. Ternyata isinya adalah sebuah “jas karung goni” alias jas almamater salah satu universitas negeri di Jogjakarta. Ecieeee…yang sudah resmi jadi mahasiswa, begitu ledekku. Pssst…, jas almamaternya lebih bagus dari kampusku dulu, unsoed..hahaha.

Dalam ruang benakku, kehadiran jas almamater itu seolah menyeret sebuah lintasan peristiwa di beberapa bulan terakhir ini. Sembari menemaniku adikku berbuka puasa, dan mendengar segala celotehnya, alam pikiranku bermain-main dengan beberapa kenangan.

Sudah menjadi komitmenku sepeninggal almarhum ayah, untuk mengawal bagaimana proses tumbuh kembang kedua adikku yang saat itu masih sangat remaja. Sebuah sayatan hati yang tak akan pernah hilang memori malam itu di rumah sakit. Peluk tangis dari adik-adik yang membasahi bahuku, sampai detik ini masih terasa basah. Kuyup hingga ke hati. Semua pesan tentang mereka yang disampaikan kepadaku di enam bulan jelang kepergiannya, malam itu seolah menggema hingga saat ini. Persis keesokan harinya adalah pengumuman kelulusan si adik dari sekolah menengah pertama.

Mulai saat itulah, saya berusaha memposisikan diri untuk menjadi pengawal mereka dalam bertumbuh kembang termasuk dalam pendidikan mereka. Agenda-agenda seperti masuk sekolah baru, terima raport, ujian akhir, dan sejenisnya, saya sempatkan hadir. Bahkan untuk pementasan teater dimana si bungsu jadi pemeran utama, saya sempatkan pulang untuk memberikan apresiasi.

Ketika adik perempuanku lepas SMA, kucoba semaksimal mungkin untuk mendampingi berbagai ikhtiar masuk perguruan tinggi. Kini ia menjadi salah satu mahasiswi di sebuah perguruan tinggi swasta di kota kelahiran. Ambil jurusan yang disenanginya, pendidikan matematika. Semoga berkah.

Ya, doaku hanya ingin ikhtiar kami ini diberkahi. Bukan untuk mencapai hal-hal yang muluk. Bukan untuk mendapat prestise bersekolah di PTN terkenal. Kami memohonkan keberkahan saja, itu sudah sangat menenangkan.

Dan kini juga tanpa terasa si bungsu yang baru genap 17 tahun sudah berstatus menjadi mahasiswa (baru). Seperti ada rasa plong yang tak terkira. Seperti mimpi saja bahwa si bungsu yang dulunya saya jemput saat pulang TK, kemarin saya antar ke UGM.

FYI, adik-adik saya ini sangat berbeda dengan kakak perempuannya ini. Mereka termasuk “anak rumahan” yang jarang pergi jauh. Maka ketika harus pergi keluar kota, bisa terbayang kan bagaimana “nervous”nya. Ibu juga merasa khawatir karena anak bungsunya itu memang  tak pernah pergi jauh. Untuk adik perempuan, mungkin saya bela-belain jemput di Tegal kemudian saya antar lagi ke purwokerto dan diantar pulang lagi ke Tegal. Tapi untuk si bungsu laki-laki, saya agak melepas. Sekedar untuk melatih mental-nya.

Sampai akhirnya test masuk ia memilih UGM. Itu sebenarnya sepenuhnya saranku. Tapi aku tidak memaksakan dengan pilihan jurusan yang akan diambil. Toh kami juga sudah sepakat bahwa UGM lebih bagus daripada Unsoed.hahaha. Maksudnya begini, saya memilihkan tempat belajar untuk adik saya bukan karena unsur favorit atau prestise segala macam. Saya mencarikan tempat yang lingkungannya punya budaya belajar, bukan budaya mencari nilai, bukan budaya bersaing. Unsoed juga bagus, tapi budaya belajarnya kurang, tradisi riset dan keilmuannya masih sangat kering. Kalaupun banyak penelitian yang dapat dana hibah, maaf saya masih melihat motivasinya masih sekedar motivasi proyek. Jadi, bukan urusan kampus ini lebih keren daripada yang lain. Bukan itu. Tapi lingkungan kota Yogyakarta secara umum memiliki atmosfer yang menyenangkan untuk belajar banyak hal. Saya rasa, semua sepakat atas hal ini. Kalau ada yang bilang saya modus biar bisa sering ke jogja, waah..itu pitnah!hehe. Dari dulu saya juga sudah pingkopangkaping sering ke jogja, meski sekedar untuk mencari buku atau nonton pameran.

Sebenarnya adik saya sangat berkeinginan untuk masuk jurusan akuntansi. Tapi belum rejekinya. Daftar di Simak UI  juga pilih akuntansi dan sosiologi, tapi belum lolos. Rejekinya memang di sosiologi UGM. Karena pengalaman mengawal adik perempuan saya di tahun sebelumnya, saya berusaha mengambil semua peluang test supaya kesempatan masuk PTN jadi lebih luas. Selain ikut SBMPTN dan SIMAK, adik saya juga ikut test STAN dan juga saya berniat mengikutsertakan dia di test UM UGM. Pokoknya semua cara biar bisa masuk UGM deh. Etapi, ndilalahnya, pas batas akhir pendaftaran UM, dompet saya seret, ATM juga lupa belum ngurus (udah lama banget lupa pin dan keblokir), pas hari sabtu pula dan lagi di luar kota. Padahal itu baru beberapa hari gajian, tapi karena pengeluaran lagi banyak banyaknya, langsung bokek sebokek-bokeknya. Dengan manyampaikan maaf ke adik saya bilang : “ que sera-sera aja yak, gak perlu ikut utul ugm dulu..,”. Eh, ternyata SBMPTNnya malah lolos. Alhamdulillah banget.

Waktu nerima pengumuman lolos itu, kebetulan juga lagi di jogja, trus lagi di transjogja. Entah kenapa, adhe’ku yang lolos tapi aku yang terharu. Hehehe. Mungkin gitu ya perasaan para orang tua atau keluarga yang anak-anaknya masuk PTN.

Selepas pengumuman, masih agak deg-degan, karena belum tahu berapa nih biaya kuliah di UGM. Kebayang berapa penghasilanku yang masih kecil, harus mikir dibagi-bagi lagi. Pas hari pengumuman UKT, ternyata mendapat nol rupiah alias gratis. Alhamdulillah. Kabarnya lagi, malah nanti dapat uang saku perbulan. Ah, nikmat mana lagi yang sanggup ku dustakan.

Kini tinggal ikhtiar mencari lingkungan tempat tinggal yang kondusif. Sebenarnya kalau masalah ngekos, bisa-bisa saja. Tapi, saya  pribadi memang menginginkan dia untuk bisa tinggal di asrama atau pondok  yang punya sistem pendidikan informal, jadi ke jogja tidak Cuma dapat ilmu kuliahan. Beberapa kenalan sudah saya kontak, baik masjid, ormas, atau pondpes. Belum final, akan tinggal dimana. Saya kepengennya minimal tahun pertama ia belajar “ngabdi”, belajar melayani masyarakat. Kalau lepas setahun dia tidak betah atau ingin pindah, silakan. Tapi, setidaknya saya sudah melakukan bentuk ikhtiar  mencarikan lingkungan pendidikan yang kondusif.  Itulah janji saya pada almarhum ayah, yang tentunya saya jalani bukan hanya sekedar untuk pelunasan, tapi benar-benar sepenuhnya untuk kebaikan sang adik.

Tulisan ini mungkin agak melo. Tapi memang inilah yang menjadi semangat dibelakang segala yang sedang coba diusahakan. 


Kangen papa. Sangat.

Kamis, 16ramadhan 1434 H
Ditulis dari kemarin sore, tapi baru kelar sekarang.hehe.
Pagi-pagi sudah on , persiapan untuk mengisi materi character building di acara sanlat sebuah SMP di Purwokerto. Tapi masih bingung , ini mo ngasih materi apa.hehe. 
Title: Ikhtiar Melunasi Janji; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: