Dari sekian desa yang
pernah aku sambangi di Banyumas, Kracak ternyata merupakan salahsatu desa yang
terlewat. Tentu saja terlewat karena selain memang aku belum banyak menguasai
wilayah Banyumas, penjelajahan desa yang selama ini dilewati lebih berfokus
pada lokasi-lokasi yang minim dan ekstrem. Menurutku, Kracak termasuk desa yang
cukup maju. Kalau kata mas Dayat, keberadaan Ajibarang sebagai jantung
kecamatan cukup membuat desa-desa di lokasi itu cukup dinamis. Meski namanya
“desa” belum tentu berada dalam kondisi kekurangan, bahkan ada desa-desa yang
memilliki tingkat kemakmuran tinggi. Yeah.., enam tahun di Banyumas cukup
membuatku belajar bahwa pedesaan bukanlah sesuatu yang identik dengan
hal-hal rendah.
Maka, saya langsung
sepakat ketika melihat sebuah kalimat yang terpampang jelas di Balai Desa
Kracak : “Dari Desa Memandang Indonesia”. Desa adalah salah satu investaris
kekayaan Indonesia. Bukan hanya landscape-nya saja yang mempesona, tapi kultur
masyarakatnya mengandung berbagai nilai luhur yang kerap dilupakan oleh
generasi saat ini.
Sebuah release informasi
tentang diskusi nasional yang mampir ke ponsel-ku menjadi awal dari cerita
kenapa saya malam itu ada di desa Kracak. Bukan hanya acara diskusinya saja
yang menarik, tapi sebuah nama cukup membuatku antusias untuk menghadirinya.
Pak Anies Baswedan, dikabarkan hadir untuk berdiskusi dengan masyarakat Kracak.
Sudah menjadi “insting jurnalis” saya ketika ada info tokoh nasional datang ke
Purwokerto, saya akan melacak info tersebut dan melihat kemungkinan apakah bisa
diundang juga ke mafaza. Sukur-sukur bisa ngisi diskusi atau talkshow di radio.hehe.
Tapi ternyata saya
luput tak menyimpan nomor kontak pak Anies. Hape saya yang rusak beberapa waktu
lalu membuat phonebook re-set. Untuk memintanya lagi ke teman-teman
senior, saya agak sungkan. Bukan apa-apa, saya merasa tak enak saja jika selama
ini jarang sowan tiba-tiba minta tolong untuk dikasih nomor kontak seorang
tokoh. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi pak Geisz Chalifah
(dengan sedikit basa-basi tentunya.hehe). Akhirnya didapat juga lah nomor
kontak pribadi pak Anies. Entah saya yang terlalu pede atau apa, tanpa tedeng
aling-aling saya sms pak Anies menanyakan agenda beliau di Ajibarang serta niat
untuk mengundang beliau ke mafaza jika berkenan. Saya juga mengaktifkan search
engine di jejaring sosial untuk mencari informasi tentang agenda pak Anies.
Ternyata pak Anies sedang “roadshow” di Pantura.
Singkat cerita,
seusai maghrib kami bertiga sudah meluncur di jalanan Purwokerto untuk menuju
desa Kracak, Ajibarang. Entah kenapa malam itu nampaknya semua motor yang ada
sedang mengalami gangguan pada lampu. Selain motor mas Dayat yang lampu
depannya mati, motor yang digunakan Teguh dan mas Dayat malam itu lampu
belakangnya juga mati. Itu cukup mengganggu bagi saya karena tak dapat dengan
mudah untuk mengikuti mereka dalam perjalanan. Kondisi itu diperparah dengan
penglihatan saya yang memang agak terganggu jika dalam gelap dan bersirobok
dengan lampu kendaraan yang menyilaukan.
Lepas dari Pom Bensin
Cilongok, saya mulai kewalahan. Beberapa bus malam berkali-kali mengklakson saya
karena laju motornya agak oleng. Saya oleng setiap mendapat sorotan lampu mobil
dari jauh, apalagi kondisi jalanan disana gelap. Kanan kiri hanya hutan. Kalau
siang hari, kondisi itu tak bermasalah. Tapi ternyata kondisi malam hari cukup
membuatku KO. Tapi, alhamdulillah, kami
bertiga selamat sampai di rumah Kracak
Ajibarang.
Pukul 7.30pm ternyata
pak Anies hendak makan malam, acara
diskusi belum dimulai. Jangan dibayangkan bahwa kondisi rumah pak Mantan itu
dijaga ketat. Meski tokoh nasional yang datang, beliau ini luar biasa low-profile
. Lha, saya malah sempat ngrecoki makan malamnya dengan mengambil
foto beliau *tidaksopan.com*.
Acara malam itu
adalah temu kangen pak Anies dengan warga Kracak, Ajibarang. Sekitar delapan
belas tahun yang lalu, tepatnya tahun 1994 Pak Anies Baswedan melakukan KKN
(Kuliah Kerja Nyata) di desa ini.
Mungkin bagi kita
yang pernah melakukan KKN, tak banyak
yang memiliki ikatan kedekatan dengan lokasi KKN tersebut. Paling banter, hal-hal
yang berkesan di KKN adalah group yang kompak dan hal-hal yang bersifat
romantika, kebersamaan, dan lain-lain. Namun , jarang yang punya kedekatan
dengan masyarakat setempat. Saya katakan “jarang”, karena bukan berarti tidak
ada dan tentu saja pak Anies bukan satu-satunya orang yang begitu berkesan pada masyarakat desa
Kracak.
Tapi, saya sepakat
dengan quote dari pak Anies bahwa “semua orang bisa menjalani tapi tak semua
orang bisa mengalami, dan pengalaman itu didapat dengan sering melakukan
refleksi”. Ya, yang KKN di Kracak bukan
cuma pak Anies, dan yang pernah KKN bukan cuma pak Anies. Tapi,apakah semua
orang punya kesan sedalam pak Anies terhadap desa Kracak? Saya katakan sekali
lagi : itu jarang terjadi. Semua orang pernah ke rumah sakit, bukan suatu hal
yang aneh, tapi ternyata tidak semua orang punya “pengalaman” dengan rumah
sakit. Tak semua orang bisa melakukan refleksi dari setiap perjalanannya. Kita
semua pernah bertemu pengamen, itu bukan hal yang spesial, tapi ada berapa
orang dari kita yang mampu merefleksikan pertemuan dengan pengamen dan
menjadikan itu pelajaran hidup. Itu pelajaran mahal.
Saya sepakat sekali
ketika Gerakan Indonesia Muda menugaskan para pengajar muda untuk menuliskan
refleksi-refleksinya dalam tulisan. Karena, semangat itu memang bersifat
menular. Saya pernah membaca salah satu tulisan pengajar muda (kayaknya
angkatan pertama) tentang kondisi masyarakat desa yang miskin. Pengajar muda itu menuliskan seperti ini :
“kalau kita selama ini bisa dengan mudah menghabiskan uang 150ribu rupiah untuk
makan dalam satu hari, maka lihatlah teman-teman kita disini yang
kekurangan......(dst)”. Saya waktu itu membatin, kalau untuk melihat orang yang
kekurangan rasanya kita tidak perlu pergi jauh-jauh ke pelosok, temanku uang
sakunya hanya 150ribu sebulan, makan dengan
program PMDK (program makan dua kali) sehari. Kondisi-kondisi itu ada di sekitar kita tapi kadang
kita terlalu buta untuk bisa melihatnya. Atau mungkin kita yang tak pandai
merefleksikan setiap kondisi yang ada di sekitar kita. Menurutku, manusia yang tak melakukan
refleksi itu seperti mayat hidup. Mereka hidup, makan, kerja, sekolah,
beraktivitas..., tapi otak dan hatinya mati, tak peka. Dengan kata lain : sisi
empatinya kurang terasah.
Maka saya fikir,
gerakan-gerakan seperti Indonesia Mengajar yang diinisiasi oleh pak Anies ,
goal-nya bukan masalah pengajar muda itu turun ke pelosok, tapi bagaimana
semangat mengajar itu kemudian menular dan tumbuh secara masif di masyarakat.
Kesuksesan pak Anies bukan sekedar bagaimana GIM itu menjadi popular, tapi efek
domino dari semangat pengabdian itu, muncul berbagai gerakan serupa, kesadaran
akan pentingnya pendidikan. GIM telah mencoba menularkan semangat mengajar, menginspirasi
setiap orang untuk menjadi pendidik. Setiap profesi adalah guru, bukan?
Jadi kalau di setiap
angkatannya, ada sekitar tujuh ribu pendaftar untuk menjadi Pengajar Muda, dan
hanya 52 pengajar yang diberangkatkan, setidaknya kita sudah cukup optimis
bahwa Indonesia memiliki enam ribu anak muda yang bersemangat dan sadar akan
pentingnya pendidikan. Toh, untuk berkontribusi sebagai pengajar kita tak harus
bergabung dengan Indonesia Mengajar. Banyak sekali ruang yang sering luput kita
tengok. Pengabdian tak melihat apa wadahnya tapi apa yang telah dilakukan.
Kalau pak Anies punya
GIM, kenapa kita tak bisa melakukan semangat yang sama dengan kemasan berbeda
untuk yang ada di sekitar kita. Kalau pak Anies bisa menginspirasi warga Kracak
dengan KKN 3bulan, kenapa aku yang tinggal di Banyumas tak bisa melakukan banyak
hal untuk dapat berkontribusi. Kuncinya,
jangan berhenti pada program, tapi lakukan sebagai sebuah gerakan. Saya kerja
di Lazis dan Radio, pekerjaan-pekerjaan saya bukanlah sebatas program, tapi
bisa menjadi gerakan. Gerakan media literacy lewat radio atau gerakan
orang tua asuh di Lazis juga tidak sekedar menjadi program, kita melakukan
edukasi/pemahaman bahwa menjadi orang tua asuh adalah berkontribusi, melakukan
keterlibatan bukan sekedar “sumbangan”.
Ya sekilas, itu
beberapa point yang cukup mengena dari forum duajam di balai desa Kracak. Saya
akhirnya tidak melihat “SIAPA ITU pak Anies” tapi saya belajar dari APA yang
dilakukan pak Anies. Saya jadi tak mengelu-elukan pak Anies. Beliau tak cukup
sekedar untuk di-elu2kan dan saya yakin beliau tak butuh pengidolaan, yang
beliau butuhkan adalah bagaimana kita bisa tertular semangatnya dan mulai
bergerak saat ini juga. Fokus kita bukan pada ketokohan pak Anies, tapi pada
gerakan yang membuat kita menjadi owner segala permasalahan yang terjadi saat ini.
Kita ini aktor bukan sekedar dekorasi panggung.
Saat lewat tengah
malam, kita bertiga berhenti di rumah makan padang di bilangan kebon dalem. Tak
terasa lapar mulai merambati lambung kita masing-masing. Entah itu makan malam
atau sahur. Tapi yang pasti aku cukup puas dengan diskusi yang sebentar tadi di
Kracak. Hingga tak sabar kukirimkan pesan pendek ke pak Anies malam itu juga.
Isi pesan itu adalah : “diskusi yang sebentar tadi membuatkan tak mau melihat
SIAPA itu pak anies, tapi membuat saya mencoba belajar dari APA yang telah
dilakukan pak Anies. Aku tak ingin menjadi seperti pak Anies, tapi aku ingin
pesan2nya menjadi partner pengurai inspirasi disaat aku hampir berteriak dalam
kegelapan. Terima kasih pak ;) “.
10november2012,
4pm ditengah mendung dan gemuruh senja...
saya sore ini
harus ke Tegal dan besok kembali lagi ke Pwt. Jadi tulisan ini harus diberi
jeda. Akan sangat panjang tulisan yang bisa muncul dari perjalanan kemarin baik
di Ajibarang maupun Purwokerto.
No comments:
Post a Comment