Pages

Friday, September 28, 2012

Menitip Asa Hingga Dusun Gandarusa

#CEK-Q (Catatan Ekspedisi Kampung Qurban)

"Jangan hanya mau masuk surga sendirian. Mari bangun kampung akhirat dengan banyak tetangga dan saudara yang mengelilingi kita di surga nanti. Maka bagaimana momentum-momentum ibadah yang ada bisa kita optimalkan kebermanfaatannya pada dimensi sosial kemanusiaan. Agar banyak yang tersentuh, agar banyak yang teringat padaNya, agar kita tak sendirian di surga"
 





Gema adzan Dhuhur sudah habis di kesekian menit saat kami mulai menyusuri sungai Serayu yang selalu syahdu. Tujuan perjalanan kali ini cukup jauh, meski masih dalam satu wilayah kabupaten Banyumas. Sebetulnya ada dua jalur alternatif yang bisa digunakan untuk menuju desa Cikakak, Wangon. Selain menyusuri Serayu bisa juga mengambil jalur alternatif via Ajibarang dan itu lebih ringkas. Hanya saja siang itu kami mengambil jalur untuk memutar via Serayu. Sekitar 1,25 jam akhirnya kami bertemu dengan penunjuk lokasi yang bertuliskan "Masjid Saka Tunggal; Taman Kera". Masjid dan area Saka Tunggal memang cukup dikenal sebagai tempat wisata. Entah apa sebutan yang tepat, wisata religi atau wisata budaya.

Sepelemparan batu dari Balai Desa Cikakak, kita akan menemui pertigaan dan masuk ke dalam jalan desa. Sekira sepuluh menit berkendara santai, kita akan sampai pada lokasi bangunan masjid yang merupakan salah satu masjid tertua di nusantara. Saka / tiang pancangnya konon masih satu kayu dengan masjid Demak, mungkin itu juga kenapa disebut Saka Tunggal.

Sebagai sebuah jejak sejarah dan hasil kebudayaan, Saka Tunggal patut mendapat sebuah apresiasi. Namun, agak canggung lisan ini berkata dengan menyebutnya sebagai sebuah masjid. Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada warga sekitar Saka Tunggal, ada banyak pertanyaan terbersit tentang hidupnya sebuah masjid, sebuah rumah ibadah, rumah Allah. Tak ada majelis-majelis ilmu disana, kyai ataupun ulama yang ada adalah para juru kunci yang itu dilakoni melalui garis keturunan. Bahkan tak genap lima waktu sholat jamaah yang dilaksanakan disana. Lalu, apa arti sebuah masjid? Jika memang pada zaman dahulu kala para sunan itu singgah di Cikakak, maka mungkin fenomena yang terjadi saat ini adalah sebuah stagnansi dakwah. Syiar yang terhenti pada pemuliaan bangunan-bangunan serta pelestarian ritual. Esensi dakwahnya sendiri tak diteruskan. Perjuangan dan kepiawaian walisongo dalam berdakwah toh harusnya tak berhenti hingga beliau-beliau wafat, namun perlu ada estafet esensial dari nilai-nilai keagamaan yang perlu diteruskan. Dengan stagnan pada pelestarian sahaja, sebenarnya secara tidak langsung kita sudah tak bisa menghargai perjuangan para wali. Sependek pemikiran saya yang bodoh ini,  hanya bisa membatin "somehow, menurutku bukan yang kayak gini  kok yang diinginkan para wali". Entahlah.


Lepas dari kerumitan itu, menjadi sebuah otokritik bagi kita semua bahwa mungkin selama ini kita abai pada mereka. Atau kita hanya bisa menyalahkan dan bahkan menghina. Selama ini kita teramat bangga dengan klaim-klaim iman yang dilekatkan di dahi kita masing-masing. Kita sudah larut dalam budaya judgement. Dalam bahasa sederhana : mungkin selama ini kita hanya ingin masuk surga sendiri, kita hanya ingin sendiri dengan kelompok kita ketika ada di surga nanti, kita terlalu arogant untuk mengajak orang lain bersama dalam kebadian surga itu sendiri. Lingkup masyarakat yang ada dalam stagnansi dakwah dan lebih larut pada pelestarian budaya tentu saja perlu kita sapa dan ajak belajar bersama. Mungkin ada hal-hal yang mereka lalai tentang Islam , atau sebaliknya mungkin ada nilai-nilai kearifan budaya yang perlu kita pelajari dari mereka. Bukankah indah ketika kita bisa berdampingan menjadi umat beragama yang berbudaya? Dan harapan itu sudah dimulai untuk diwujudkan, setidaknya ada dinamika yang menarik dari keberagamaan masyarakat Cikakak.

Cikakak merupakan desa yang kondisi masyarakatnya cukup majemuk, baik dari lokasi geografis hingga dalam urusan keagamaan. Di Cikakak terdapat 500 keluarga yang hidupnya tergantung dari petani gula dengan jumlah pohon sekitar 19.236 batang. Penduduk Desa Cikakak seluruhnya berjumlah 1.114 keluarga dengan 4.539 jiwa.Desa yang termasuk dalam wilayah kecamatan Wangon ini terdiri enam grumbul yakni : Winduraja Wetan, Winduraja Kulon, Boleran, Ketanggung, Cikakak, Planjan dan Gandarusa. Dari kondisi geografis, Winduraja Wetan dan Kulon adalah grumbul yang lokasinya masih tak jauh dari jalan raya dan disana masyarakatnya sudah beranjak moderat. Dari Winduraja lurus ke arah barat lurus kita akan menjumpai grumbul Cikakak lokasi masjid Saka Tunggal berada. Itu sudah mulai masuk wilayah pegunungan. Tak heran jika disana hidup sekumpulan kera. Tak jarang kera-kera itu turun ke pemukiman penduduk hingga sampai Winduraja karena kehabisan makanan. Oh..hutan kita, apa kabarnya ya??

Di areal masjid Saka Tunggal ada komplek pemakaman yang dianggap keramat dan sering dikunjungi para peziarah. Konon katanya jika sudah masuk area sana kita sudah tak bisa mengaktifkan kamera atau alat pengambbil gambar. Kebetulan saat kami kesana kemarin, kamera yang kami bawa juga kehabisan daya sehingga tak sempat mengabadikan gambar apapun termasuk komplek masjid saka tunggal dan pemukiman para juru kuncinya. Untuk diketahui juga bahwa masyarakat di area Saka Tunggal merupakan masyarakat dengan aliran aboge. Maka jangan heran kalau di Desa Cikakak, tiap tahunnya selalu ada dua kelompok masyarakat yang berbeda dalam menentukan hari raya-nya, baik Idul Ffitri maupun Idul Adha.

Sebelum jauh lurus ke arah Saka Tunggal, jika kita ke selatan akan menjumpai areal tanah lapang yang merupakan batas menuju grumbul Boleran dan Ketanggung. Ke arah sebaliknya, jika kita ke Utara ada jalanan curam yang merupakan satu-satunya akses menuju grumbul Planjan dan Gandarusa. Perjalanan menuju Planjan dan Gandarusa cukup membuat adrenalin kami terpacu. Dengan sudut ketinggian sekitar 160derajat, bisa dipastikan bahwa motor bebek harus siap dengan gigi satu untuk bisa menaklukan jalanan curam nan terjal tersebut. Itupun harus dengan keahlian riding yang mumpuni, karena salah-salah kalau oleng sedikit bisa berakibat fatal. Salah satu dari kami pun sempat bernasib naas, saat beberapa meter naik dari ring , motor yang dikendarai oleng dan salto ke arah kiri. Puing-puing reflektor lampu bagian depan motor pun akhirnya menjadi saksi betapa "kejam" area tanjakan menuju Planjan.

Namun tak ada rasa sakit mendera saat kami akhirnya bersalaman dan berbincang dengan pak Sikin, kayim dusun Planjan. Kami sangat antusias untuk bisa mendengar cerita tentang Planjan dan Gandarusa. Kami cukup memberikan standing applaus pada aktivitas pendakwah di Planjan yang meramaikan mushola dan TPQ. Tentunya dengan segala keterbatasan mereka. Begitu pula ketika bercerita tentang Gandarusa, yang meski jauh dari Saka Tunggal tapi ternyata disana masih ada masyarakat aboge yang setia dengan keyakinannya. Jika masyarakat dusun Planjan sudah tak berbeda tentang penentuan hari raya, maka di Gandarusa justru masih berlangsung adanya dua hari raya itu. Namun, mereka tetap hidup berdampingan , menghormati satu sama lain.

Konsekuensi dari sebuah keyakinan adalah melakukan upaya mempertahankannya bukan? Tak heran jika di daerah-daerah yang abu-abu justru tiap orang akan semakin kuat keyakinannya, atau ketika seseorang menjadi bagian dari minoritas akan semakin kokoh pertahanannya. Kalaupun ada konsekuensi untuk mengajak kepada kebaikan atau nahi munkar, itupun dilakukan dengan upaya-upaya yang tanpa menyakiti orang lain. Teringat di Romadhon dua tahun yang lalu saat pak Syarief Bassyir (ketum takmir mafaza) berkata : "nahi munkar itu penting, tapi lebih penting lagi bagaimana memberantas kemunkaran tanpa menimbulkan kemunkaran"Good point. Semoga bukan karena noda pada lembar keikhlasan sehingga arah nahi munkar kita justru terkadang menimbulkan efek domino pada kemunkaran yang lain, seperti kisah seorang pemuda yang ingin menebang pohon berhala yang diiming-imingi uang oleh iblis.

Maka, momentum idul adha menjadi tepat untuk melancarkan misi-misi dakwah kita kepada saudara-saudara yang luar biasa loyal kepada tradisi leluhunyar. Sekali lagi, idul qurban bukan memposisikan kita untuk sekedar memberi, dengan menaikkan tangan diatas tadahan tangan orang lain. Idul Qurban ini sudah lebih dari sekedar charity. Moment ini adalah sebuah refleksi kita atas sebuah keikhlasan untuk menjadi seorang hamba. Hamba yang hanya mengakui Allah sebagai Sang Pemilik Kebenaran. Bukan untuk meninggikan ego dan merasa menjadi pribadi paling benar. Merangkul mereka yang kuat dengan tradisi lokallitasnya adalah sebuah upaya untuk menghargai, untuk "nguwongke", memanusiakan manusia. Bahwa iman adalah sebuah proses, bukan klaim.

Selain kemajemukan tersebut, dusun Gandarusa juga merupakan daerah padat penduduk. Ada sekitar 300 KK yang hidup disana, dengan rata-rata kondisi ekonomi menengah kebawah. Perlu diingat juga bahwa dusun Planjan dan Gandarusa merupakan daerah yang mengalami kesusahan akses air bersih. Untuk aktivitas sehari-hari , mereka harus turun ke Cikakak untuk bisa mendapatkan air bersih. Bisa dibayangkan betapa susahnya kami menelan toya bening  suguhan dari pak Kayim. Tak tega rasanya kami mengaliri kerongkongan dengan banyak air minum sedangkan untuk keseharian mereka harus rela menghemat air.

Senja semakin meninggi, mentari pun siap bertukar peran dengan rembulan. Meski hasrat kami untuk singgah di Gandarusa sangat besar, namun detak jarum jam terus mengingatkan bahwa masih ada rangkaian tugas yang lain. Selain itu, melalui jalanan curam di kondisi petang tentunya memiliki resiko bahaya yang perlu diwaspadai.

Gandarusa. Ada asa kami tertinggal disana. Asa untuk dapat sejenak bercengkerama, sekedar meyakinkan bahwa kita--umat Islam ini sangatlah kuat. Bahwa kita--umat Islam-- adalah satu ikatan saudara meski mungkin dalam proses untuk menjalani keIslaman masing-masing ada jalan yang berbeda-beda. Tak boleh ada umat Islam yang merasa sendiri atau berbeda, karena bahkan manusia itu diciptakan dalam kondisi yang sama--yaitu dalam kondisi sebaik-baiknya bentuk--.

Gandarusa, adalah salah satu titik yang coba kami rangkul dalam hangatnya persaudaraan dakwah yang dimulai di Idul Adha tahun ini. Kampung Qurban ingin mengajak kita semua untuk benar-benar memaknai makna ibadah vertikal dan horisontal dari ibadah Qurban. Sekali lagi, bukan hanya menyembelih kambing dan berbagi daging, tapi bagaimana kita bisa dapat berjalan beriring untuk berbagi dengan yang kering. Bukan sekedar menyembelih lembu tapi bagaimana proses ini melunakkan hati yang kerap sekeras batu. Mari berqurban, mari bergabung bersama KAMPUNG QURBAN lazis mafaza, lebih mendekat-lebih manfaat. Wallahu'alam bishawab.



PS : mohon maaf karena adanya kelalaian teknis, kami tak sempat untuk mengabadikan perjalanan survey ke CIkakak kemarin. Insya Allah gambar-gambar tentang desa CIkakak akan kami publish dari kunjungan berikutnya. Nuwun. 
Title: Menitip Asa Hingga Dusun Gandarusa; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: