Pages

Saturday, November 12, 2011

Untitled

Terkadang, aku berfikir bahwa manusia bisa lebih bodoh daripada sebuah kacamata. Ya, kacamata, alat bantu melihat yang salah satu produknya sedang aku gunakan saat ini. Sepasang lensa yang terekat oleh nylon dan kontruksi bingkai setengah. Belum lama kukenakan kacamata ini, sekitar 1,5 tahun yang lalu. Alat bantu yang awalnya sering membuat mata terasa pegal. Kalau tak ingat peristiwa kecelakaan motor di akhir tahun 2009 lalu, mungkin aku masih enggan untuk membiarkan sepasang lensa ini nangkring menyamarkan garis kelopak mataku yang konon katanya mirip dengan almarhum ayah. Selain karena masih merasa sayang membuang uang untuk contact lens, gangguan pada retina membuat aku terpaksa memasrahkan diri untuk berbagi fungsi penglihatan dengan kacamata ini.

Dengan perkembangan kreatifitas yang luar biasa di dunia industri kacamata, kini keberadaannya juga bukan sekedar berfungsi sebagai alat bantu penglihatan saja tetapi juga bagian dari trend fashion. Modelnya sekarang beraneka ragam, ada yang bingkai penuh,bingkai setengah dari yang model nylon cord frame dengan pengunci sampai ballgri mounting yang dengan baut. Ada pula yang konstruksi tanpa bingkai dengan variasi rimless mounting  yang lensanya ditahan dengan baut di bagian nasal dan temporal, dan ada juga phantom yang rangkaiannya merupakan satu unit yang tidak terpisah.

Sama halnya dengan kacamata, walaupun bukan sebuah alat, manusia juga memiliki fungsi. Saya teringat sebuah obrolan ringan dengan seorang teman beberapa hari yang lalu. Kita saling menukar kata dan frasa mengurai beberapa kesah pekerjaan masing-masing. Tanpa canggung ia berkisah beberapa partner kerjanya lebih cenderung untuk melakukan tugas daripada fungsinya. Mereka bertugas dengan baik tetapi ternyata belum berfungsi dengan optimal. Misalnya beberapa petugas yang bekerja setiap ada komando saja, jadi seperti robot yang didikte untuk melakukan tugas A,B,C, dan seterusnya. Ketika tugas A selesai maka ia menunggu diberi tugas B.

Sebagai sebuah bentuk empati ,maka saya turut pula berbagi kisah.  Sebagai orang yang salah satu pekerjaannya bertanggungjawab atas pengelolaan sebuah radio atau dalam bahasa kerennya as station manager , tentunya setting lapak yang saya ceritakan berbeda dengannya. Tanggung jawab saya bukan hanya sekedar membuat radio on tapi bagaimana kemudian radio tersebut memiliki kebermanfaatan pada masyarakat sekitarnya. Saya merasa perlu bekerja keras dalam pembenahan program yang saat ini sedang gencar-gencarnya digarap. Terkadang saya rela untuk lembur untuk benar-benar mengerjakan editan sebuah audio project  yang kadang gelombang keritingnya itu juga nular bikin otak saya ikut-ikutan keriting. Dan itu semua tanpa komando.

Kalau dipikir-pikir, orang-orang dengan tipe seperti partner kerja teman saya itu jumlahnya cukup banyak. Tipe seperti ini biasanya ada pada pegawai, yang ruang kerjanya hanya sebatas melakukan pekerjaan sesuai komando. Boro-boro kita bicara passion, orang-orang yang bekerja seperti itu kebanyakan hanya berfikir sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja dan profesi dicari sekedar untuk mengumpulkan lembar demi lembar rupiah.


Sedikit mengembangkan topik obrolan, kasus bekerja tanpa berfungsi ini mungkin juga yang terjadi pada para tuan dan puan , the honourable yang duduk di kursi pemerintahan atau anggota dewan. Status pekerjaan mereka melekat gagah, tapi fungsi dari profesi mereka masih banyak mendapatkan tanda tanya. Jika ditarik sebuah garis , sikap seperti ini dipengaruhi faktor habit yang dibangun oleh dunia pendidikan. Contoh mudah, peserta pendidikan tinggi alias mahasiswa, mereka di kampusnya dilatih untuk mengerjakan tugas, mengumpulkan laporan, dan mendapat nilai. Mereka lupa akan fungsi dari seorang pelajar di sebuah jenjang pendidikan tinggi. Tak sedikit dilayangkan kabar mengenai rendahnya budaya penelitian di Indonesia, terutama di universitas-universitas yang seharusnya menjadi tulang punggung penelitian di Indonesia. Fungsi untuk turut serta dalam pencerdasan masyarakat belum bisa dijalankan oleh perguruan tinggi. Mereka baru dapat mengerjakan tugas-tugas penyelenggaraan pendidikan. Sama halnya dengan para pejabat pemerintah, mereka melakukan tugas secara rutin  tiap hari, tapi sekedar untuk menggugurkan kewajiban. Fungsi yang dibebankan pada peran jabatan mereka belum dapat terlihat.

Setiap kita mengawali sebuah pekerjaan biasanya kita diminta memahami tupoksi alias tugas pokok dan fungsi. Begitu pula dengan hidup. Dengan perannya masing-masing, manusia memiliki tugas dan fungsi yang perlu dipahami.


*TulisanBelumSelesai.. :D
     
Title: Untitled; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: