Pages

Saturday, November 12, 2011

Bupati Vs DPRD : Praktek Pola Komunikasi Politik Childist


 Komunikasi pimpinan daerah (eksekutif) dan legislatif yang menyisakan konflik memang bukan sebuah hal yang baru di negara kita. Hal ini telah berlangsung lama, dan mungkin tak salah pula ketika dalam salah satu pengamatannya, Ali Moertopo pernah menyimpulkan bahwa : “..dikebanyakan lembaga sosio-politik, orang-orang yang bertanggungjawab mempunyai tugas untuk berkomunikasi dengan pemerintah dalam mentransfer kehendak rakyat, lambat laun lebih banyak mengidentifikasikan dirinya dengan pemerintah dan akhirnya menjadi kelompok marginal yang hanya mementingkan dirinya sendiri”.

Mungkin seperti itu pula gambaran yang sedang terjadi di Kabupaten Banyumas dengan drama yang sedang diputar beberapa waktu belakangan. Beberapa konflik dramatik yang sedang hangat yaitu mengenai dana banpol serta penangguhan pencairan dana representasi (gaji). Entah kenapa, konfliknya seputar masalah “uang”. Para pemegang aspirasi rakyat itu terlihat kekeuh untuk meributkan masalah dana. Banpol PDIP yang tak bisa dianggarkan membuat para kader partai berlambang moncong putih itu geram. Sementara itu keributan lain juga terjadi karena adanya penangguhan gaji DPRD bulan September. Keributan-keributan itu hingga mengundang pemprov untuk mengadakan mediasi, meredamkan api konflik diantara bupati sebagai lembaga eksekutif dan pimpinan dewan sebagai lembaga legislatif.

Ada yang menarik untuk diamati dalam drama politik ini. Ibarat anak kecil yang bertikai kemudian harus menunggu ada mediator untuk kemudian kembali bersalaman dan berbaikan. Drama ini pasti berakibat pada kinerja pemerintahan. Tercatat bahwa ada beberapa agenda tertunda seperti pengesahan RAPBDP 2011 yang tentu saja berimbas pada beberapa program kerja yang sudah tersusun. Konflik-konflik politik yang tidak produktif seperti itu tentu saja membuat tanda tanya pada pola komunikasi politik yang dibangun antara kedua lembaga ini.

Galnoor (1980) mengungkapkan definisi komunikasi politik sebagai suatu kombinasi dari berbagai interaksi sosial dimana informasi yang berkaitan dengan usaha bersama dan hubungan kekuasaan dalam peredarannya.  Komunikasi politik tentu saja bukan sebatas pada bagaimana pimpinan pemerintahan menyampaikan pesan dihadapan publik. Namun perlu juga membangun pola komunikasi antara unsur pemerintahan supaya aspirasi masyarakat yang terwakilkan pada pundak mereka menjadi sebuah sistem yang berjalan dengan baik.

Pola komunikasi yang buruk antar lembaga pemerintahan hanya akan memunculkan konflik tak produktif . Untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance) , ada bebrapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan, beberapa diantaranya yaitu prinsip kepastian hukum dan profesionalitas. Prinsip kepastian hukum menghendaki agar penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan pada hukum dan peraturan perundang-undangan, asas kepatuhan dan keadilan. Sedangkan prinsip profesionalitas dalam konteks ini adalah mengutamakan keahlian berlandaskan kompetensi, kode etik dan peraturan perundang-undangan.

Sikap kekeuh FPDIP yang menyatakan bahwa Bupati melakukan deparpolisasi dengan keputusan tidak bisa dianggarkannya Banpol merupakan salah satu contoh hal yang tidak menyiratkan adanya kepastian hukum dan profesionalitas. Begitu pula dengan tindakan Bupati atas “penyanderaan” gaji anggota dewan bulan September. Entah apakah, saling ngototnya mereka tentang tata aturan Banpol karena ketidaktahuan pada peraturan perundang-undangan, atau memang sebuah sikap yang tidak menunjukan sebuah kedewasaan. Begitu pula dengan penangguhan pemberian dana insentif (gaji) DPRD bulan september. Ketika itu menjadi sebuah ekspresi kemarahan Bupati, itu tidak dapat dibenarkan, jauh dari kode etik yang kemudian melacurkan prinsip profesionalitas untuk mencapai good governance. Atau kalaupun memang itu adalah sebuah permasalahan teknis  -karena DPRD bukan PNS dan beberapa kendala teknis sehingga terlambat dicairkan- maka ada sebuah kerancuan komunikasi, ketidakpedulian seorang pimpinan daerah akan pentingnya komunikasi untuk menjelaskan dengan lebih jelas baik kepada anggota dewan ataupun masyarakat. Justru akhirnya didahului oleh opini-opini yang tidak jelas. Dalam bahasa anak-anak ABG, sikap mereka adalah sikap yang geje  (gak jelas). Pemerintahan yang baik tentu saja bukan pemerintahan yang geje. Perkara-perkara sepele yang hanya menguatkan otot ego membuat para penyelenggara pemerintahan nampak childist dihadapan masyarakat.
Pendewasaan sikap serta perbaikan pola komunikasi antar lembaga penyelenggara pemerintahan merupakan sebuah PR besar yang tidak sepele bagi Bupati Banyumas dan DPRD Kabupaten Banyumas pada khususnya, serta para penyelenggara pimpinan daerah pada umumnya. Hanya dengan sebuah kedewasaan politik, pola komunikasi yang baik, sehingga penerapan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat terlaksana dan mampu mewujudkan good governance.


Shinta arDjahrie
Manager Radio Mafaza Purwokerto, mantan aktivis HMI Purwokerto..
Domisili Purwokerto, Banyumas. 
Title: Bupati Vs DPRD : Praktek Pola Komunikasi Politik Childist; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: