Pages

Saturday, November 12, 2011

Belum Bisa Berpuisi (lagi)

“maafkan aku yang belum pernah mampu meneladani nilai kepatuhan seorang Ismail a.s kepada ayahandanya Ibrahim a.s”


Antara aku dan puisi, pernah ada sebuah simpul yang coba kurekat. Sependek kalimat, aku (pernah) jatuh cinta pada puisi.

Berpuisi membuatku meluapkan segala ekspresi namun tetap terbungkus dengan rahasia rajutan  kata.  Semua lepas tapi tak terhempas. Semua keluar namun tak bingar.

Namun aku memang bukanlah orang yang puitis. Justru itu. Justru ketika aku kadang ada di titik jenuh atas segala rasionalisasi bahasa aktualisasi. Aku ingin bersembunyi dalam puisi-puisi ku yang sangat sederhana. Disaat aku kesepian dimasa kecil dulu, kupaksa meninabobokan diri dengan beberapa rangkaian kata. Setiap aksara seolah membelai dan menyimpan setiap gumaman rahasiaku. Aku nyaman dalam pelukannya.

Namun, menyukai dunia teater dan puisi ternyata adalah sebuah “episode sulit” antara aku dan ayah, lelakiku yang hebat itu. 


Tak pernah ada restu tulus terlayang di setiap aktivitas yang berkaitan dengan teater dan puisi. Namun, hebatnya ayah, tetap menghargai bahwa itu adalah salah satu hakku untuk mengembangkan diri. Maka asyik masyuk lah aku mencari jati diri dengan segala kenikmatan di dunia teater, meneruskan jatuh cintaku pada puisi. Belajar membacanya dengan lebih teratur dan berirama. *Dalam kesempatan ini, kulayangkan sejuta terimakasih pada beberapa oranng “guru” yang membuatku belajar banyak hal mengenai lautan diksi dalam puisi. Termasuk pada keponakanku, Meli, yang dulu sempat “ngeksis” di dunia tarik suara puisi..hehe ^_^. Seandainya kita bisa bersinergi dengan permainan keyboard-mu, mungkin asyik tuh mel. Next time, jika aku mau (kembali) berpuisi.

Hingga pada April tahun lalu. Entah perjalanan yang bagaimana kemudian aku mendapat sebuah “panggung” untuk berpuisi di ajang peksimida jateng (pekan seni mahasiswa-i daerah jawa tengah) tahun 2010. Setelah sebelumnya mencoba berekspresi di event Porsenaf (seleksi menuju peksimida), tiket peksimida ternyata bisa kudapatkan *tentunya dengan “support” pak Dodit dan pak Edon.hehe*.

Akhir april 2010, 24 April 2010.  Tiket peksimida yang kupegang ternyata diselenggarakan di kota kelahiranku, Tegal. Tiket itu membuatku pulang. Kota kelahiranku yang sebenarnya dekat itu, namun jarang kusinggahi dengan segala alasan kesibukan.

Padatnya aktivitas membuat kepulanganku saat itu mengiming-imingi untuk beristirahat. Hiyaaaa.., peksimida itu berdekatan dengan agenda-agenda penting sebelum dan sesudahnya, ada konferca, raker, FIM, dll. So, menjelang menit perlombaan, aku masih sukses tertidur karena kecapean. Padahal paginya sudah berlatih di tepi pantai, tapi justru setelah itu capek dan tidur..hehe.

Ayah yang membangunkanku, dan bertanya “jadi ikut lomba??”. Dengan gaya panik yang rada alay ku terbangun *sempet2nya lho!*. Shock melihat deretan sms dari pak Dodit yang menanyakan kehadiranku di audit UPS –tempat perlombaan-. Dengan mandi seadanya *biasanya jg gitu..:p* , ku bersiap diri. Saat berangkat, tak seperti biasanya, ayah memandangiku dengan wajah sendu *aku masih mengingatnya*.


Seperti yang telah kuduga, hasil lomba itu memang tak pernah menjadi sesuatu yang berarti buat aku. Sekian lama bersepakterjang di dunia puisi, hanya satu kali pernah menggondol juara 2 di tngkat jateng, itupun waktu SMA. Selain itu, hanya beberapa kali saja di tingkat kampus. Saya tak pernah memikirkan juara. Bagi saya mengenal penyair-penyair hebat di kota Bahari ini adalah sebuah hal yang luar biasa. Hei, betapa aku sungguh menikmati  bagaimana misalnya seorang apito laire mampu memukau denngan pembacaan puisinya.

Sepulang dari lomba, merebahkan tubuh di pangkuan ayah menjadi pilihanku senja itu. Disaat itulah ayah banyak meninggalkan pesan . Diantara pesan-pesan itu ada kalimat “ kalau bisa, nggak usah berpuisi-puisi lagi, cukup menikmati saja, tak perlu tampil, tak perlu ikut lomba, begitu juga dengan teater....bla..bla..bla..”..

Aku hanya mengiyakan saja hingga ku terhenyak di dua pekan kemudian, di 7 Mei 2010, saat ayahku menghadap Tuhan tanpa dapat kutemani di detik-detik terakhirnya. Aku seolah kehilangan segala diksi.Lidahku kelu. Segala puisi tak mampu menghentikan henyakku pada fenomena kehilangan yang sebenarnya sudah menjadi dinamika kehidupan manusia. Pesan-pesan senja itu ternyata menjadi belaian terakhir ayah di kepalaku.

Aku kehilangan banyak diksi saat menatap sebuah kepergian ayah. Aku sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Pun melalui tangisan. Sudah tak ada lagi. Lebih tepatnya, aku sudah tak mampu lagi.

Tak terelak aku teringat akan berbagai fragmen “pertentangan”ku dengan ayah. Banyak sekali keinginan ayah yang kutolak.., yang itu selalu diterima ayah dengan kesabaran dan senyum bijak. Bagaimana aku dulu pernah berkeras tak mau masuk SMA 1 (karena bosen!), aku dulu berkeras ikut ekskul karate,teater,tari,dalam satu waktu, aku dulu berkeras tak mau masuk IPA *emang gak bisa jg sih.hehe*, aku dulu sering berkeras untuk ikut event-event organisasi diluar kota, aku yang dulu berkeras tidak mau ikut ujian masuk STAN walaupun sudah didaftarkan, dan lain-lain. Berbagai pertengkaranku dengan ayah, yang kadang “kumenangkan” atau ku harus menerima keputusan.

Ah, aku dengan segala keras kepalaku..dan ayah dengan segala sikap komprominya.

Ya, ayah yang pada akhirnya merestui, pada akhirnya ada senyuman dan tepukan semangat di pundakku.


Betapa keras kepalanya anak perempuanmu ini, ayah. Betapa nakalnya anak perempuanmu yang sok berani dan sok kuat ini, ayah.

Kadang kusisipkan di dalam doaku “Tuhan, kalau Kau ingin meminta pertanggungjawaban papa atasku, jangan salahkan dia Tuhan. Saya saja yang memang terlalu keras kepala, Tuhan. Jangan siksa papaku atas tanggungjawabnya yang mungkin gagal membuatku menjadi anak yang baik, karena itu bukan kesalahannya. Bagiku, ayah sudah cukup melakukan segala tugasnya dengan baik dan dengan segala keterbatasannya, dan aku ridho atas itu. Saat ini, aku hanya ingin papa bahagia di surga. Cukup. ”


Ah Ayah, aku tak pernah mampu belajar sebuah nilai kepatuhan seorang anak seperti dicontohkan oleh Ismail saat Ibrahim akan menyembelihnya.

Entah pertengkaran hebat seperti apa jika Ismail sekeras kepala aku.

Ismail..putra Ibrahim. Dengan segala ketaatannya pada Allah SWT, ia mampu membaca perintah yang tersampaikan lewat mimpi ayahandanya. Ia dengan segala kedewasaannya berkata mantap menyanggupi perintah itu. “Maka ketika sampai (pada usia sanggup atau cukup) berusaha, Ibrahim berkata: Hai anakku aku melihat (bermimpi) dalam tidur bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah bagaimana pendapatmu” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Ash-Shaffat : 102)

*bayangin aja kalo kite2 yang tiba dipanggil ayah trus bilang mau disembelih.., makjang.., udah kabur mungkin kita entah kemana* :D

Papa, aku tau kau masih menyimpan puisiku saat idul adha tahun 2008 lalu. Kau tahu betapa inginnya aku menjadi seorang anak perempuan yang patuh padamu.
Yang ada justru kau pernah menangis di hadapanku dan berkata maaf karena tak banyak yang bisa kau berikan dan membiarkanku pada kemandirian.
Dan itu cukup mengiris ujung hatiku.

Untuk itu, sebagai penawar diri atas kerinduan dan permohonan maaf, aku mencoba tak berpuisi dulu.., semenjak membaca puisi april 2010 lalu, aku belum berani menyentuh rangkaian kata yang pernah kucintai itu. Beberapa kali diajak dan atau diminta membacakan puisi, aku hanya memberikan jawaban berkelu lidah, tak mampu berjanji. Aku belum sanggup memafkan diriku atas segala keras kepalaku pada ayahanda. Maka, pesan terakhirnya tentang puisi dan teater coba kulakukan.

Aku belum berani berpuisi (lagi). Setidaknya hingga aku merasa sudah bisa memaafkan diri ini pada ayah.

Toh aku bukan siapa-siapa, hanya (mantan) pecinta puisi yang coba menjaga jarak, seperti seorang gadis yang memutuskan kekasihnya. Sakit, memang, tapi bukankah itu salah satu proses indah sebuah pengorbanan???

Malem Jumat, 8 Dzulhijjah 1432
*teringat sebuah cita-cita untuk memberangkatkan ayahanda ke tanah suci. Kini yang tersisa hanyalah doa dan rindu yang membatu.*

*penyakit lama, kamar baru bikin insomnia ^_^*
Title: Belum Bisa Berpuisi (lagi); Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: