Pages

Tuesday, January 08, 2013

Izinkan Puji Berdiri


Senja  masih  membasah. Searas dengan beberapa gurat lelah.  Ungkapan lelah yang  secara jujur sebenarnya kami sembunyikan rapat-rapat. Berusaha untuk  tetap saling tersenyum  dan menguatkan. Meski  ekspresi lelah tak bisa benar-benar tertutup rapat.  Tak bisa  dibohongi bahwa aktivitas seharian itu di Rumah Sakit  Margono Soekardjo cukup menguras sebagian energi kami.

Saat matahari naik sepenggalah, kami sudah berada di sebuah rumah gubuk di grumbul Gewok, Sumbang. Enam jam berikutnya, sebagian besar waktu kami tersita untuk menyimak antrian panjang pengobatan di rumah sakit Margono Soekarjo, Purwokerto.  Dari mulai antrian di loket jaminan kesehatan hingga antrian di ruang bedah saraf.

Hari  itu adalah jadwal  kami – crew Lazis Mafaza  Peduli Ummat—mendampingi  salah seorang adik untuk berobat. Puji Slamet, begitu ia diberi nama. Di surat kelahiran,  nama yang tertera sebenarnya adalah “Pujiatin”. Nama “Slamet” disisipkan sebagai sebuah ungkapan atas lahirnya si jabang bayi dengan selamat. Bukan berlebihan, tapi memang  saat si jabang bayi masih dalam rahim ibundanya sudah membuat bidan angkat tangan.  Ketika akhirnya pada tangal 24 Agustus , delapan tahun yang lalu, janin tersebut lahir dengan bantuan dukun bayi, diselipkanlah nama “slamet” untuk julukannya.

Kemalangan belum usai. Dua bulan setelah si jabang bayi lahir, ibundanya meninggal dunia. Pelak, sejak usia dua bulan itulah ia tak lagi mengecap ASI. Masih belum usai kasih sayang Tuhan pada bocah kecil ini, di usia 14 bulan tiba-tiba mulai nampak keanehan pada kondisi fisik Puji, terutama di bagian kepala. Perlahan kepalanya membesar. Semakin lama semakin besar. Bocah malang yang belum genap dua bulan itu telah tervonis penyakit hydrocephallus. Kemalangan itu kemudian  teraba  oleh sebuah yayasan sosial, yang selanjutnya membantu proses operasi  di sebuah rumah sakit swasta di ibukota Provinsi. 


Sedikit asa menciptakan satu ruang kelegaan pada Sunarso, ayah sang bocah. Ruang kelegaan yang tidak begitu lega dan luas...

Seusai  menjalani operasi, semestinya banyak sekali  perlakuan dalam rangka perawatan lanjut. Namun karena keterbatasan pak Sunarso dan keluarga, penyakit yang diderita Puji seolah “selesai” setelah operasi. Alhasil, bukan harapan awal yang didapat, namun hingga  kini – disaat usianya sudah menginjak 8tahun – penyakit Puji  belum kunjung sembuh. Cairan yang memenuhi ruang di kepalanya tak kunjung berkurang. Perkembangan otak menjadi terhambat hingga berpengaruh pada organ geraknya. Kedua kaki Puji tak tumbuh sebagaimana mestinya. Menjadi ironi atas pertumbuhan kepalanya yang masih membesar, sepasang kaki Puji justru mengecil dan tak dapat digerakan.

Hari-hari Puji  dihabiskan  hanya dengan bisa berbaring dan berceloteh. Sehari-hari Puji tinggal di gubuk berlantai tanah, bersama kakek dan neneknya yang  sudah sangat lanjut . Sang nenek bahkan sudah tak mampu lagi memfungsikan indra penlihatannya dengan baik. Sunarso, ayah Puji, sehari-harinya beraktivitas sebagai pekerja serabutan, mencari serpihan rezeki diantara tumpukan barang rongsok yang masih bisa bernilai rupiah.  

Puji masih menyimpan satu cita-cita mulia. Ia ingin menjadi seorang guru. Ia sangat ingin dapat beraktivitas seperti kawan-kawan sebayanya. Ia ingin belajar, menjadi pintar, dan membantu sang ayah.

Puji, dalam segala keterbatasannya, ia masih memiliki  persediaan celoteh riang, tawa yang ceria, dan yang pasti ia masih terus menyimpan mimpi-mimpinya dengan rapi. Sungguh tak bisa dijelaskan teorinya, bahwa seorang Puji yang perkembangan otaknya terhambat karena penuhnya cairan yang ada di tempurung kelapanya, masih dapat berceloteh cerdas dan ingatannya juga bagus. Ia menyerap suara, aksara, kata, yang didengarnya sehari-hari. Ayah, nenek, dan kakeknya tak pernah mengajarkan apa-apa, namun Puji dapat memiliki banyak kosakata yang tersimpan dan tak ragu ia lontarkan.

Mendengar sapaan serta tawa polosnya, kami yakin, mimpi Puji tak boleh terhenti. Segala ikhtiar akan coba dijalani. Puji, adalah serpihan asa kami di Lazis mafaza Peduli Ummat.  Kisah ini pastinya satu diantara kisah-kisah yang menimpa saudara-saudara di sekitar kita. Maka, menjadi sebuah pertanyaan bersama untuk dijawab oleh nurani kita masing-masing : “akankah doa dan ulur tangan kita turut mengaminkan pinta puji untuk diizinkan berdiri menggapai mimpi???”.
(nta)  
Title: Izinkan Puji Berdiri ; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: