Senja masih
membasah. Searas dengan beberapa gurat lelah. Ungkapan lelah yang secara jujur sebenarnya kami sembunyikan
rapat-rapat. Berusaha untuk tetap saling
tersenyum dan menguatkan. Meski ekspresi lelah tak bisa benar-benar tertutup
rapat. Tak bisa dibohongi bahwa aktivitas seharian itu di
Rumah Sakit Margono Soekardjo cukup
menguras sebagian energi kami.
Saat matahari naik sepenggalah,
kami sudah berada di sebuah rumah gubuk di grumbul Gewok, Sumbang. Enam jam
berikutnya, sebagian besar waktu kami tersita untuk menyimak antrian panjang
pengobatan di rumah sakit Margono Soekarjo, Purwokerto. Dari mulai antrian di loket jaminan kesehatan
hingga antrian di ruang bedah saraf.
Hari itu adalah jadwal kami – crew Lazis Mafaza Peduli Ummat—mendampingi salah seorang adik untuk berobat. Puji Slamet,
begitu ia diberi nama. Di surat kelahiran, nama yang tertera sebenarnya adalah
“Pujiatin”. Nama “Slamet” disisipkan sebagai sebuah ungkapan atas lahirnya si
jabang bayi dengan selamat. Bukan berlebihan, tapi memang saat si jabang bayi masih dalam rahim
ibundanya sudah membuat bidan angkat tangan.
Ketika akhirnya pada tangal 24 Agustus , delapan tahun yang lalu, janin
tersebut lahir dengan bantuan dukun bayi, diselipkanlah nama “slamet” untuk
julukannya.
Kemalangan belum usai. Dua bulan
setelah si jabang bayi lahir, ibundanya meninggal dunia. Pelak, sejak usia dua
bulan itulah ia tak lagi mengecap ASI. Masih belum usai kasih sayang Tuhan pada
bocah kecil ini, di usia 14 bulan tiba-tiba mulai nampak keanehan pada kondisi
fisik Puji, terutama di bagian kepala. Perlahan kepalanya membesar. Semakin
lama semakin besar. Bocah malang yang belum genap dua bulan itu telah tervonis
penyakit hydrocephallus. Kemalangan itu kemudian teraba
oleh sebuah yayasan sosial, yang selanjutnya membantu proses
operasi di sebuah rumah sakit swasta di
ibukota Provinsi.
Sedikit asa menciptakan satu ruang
kelegaan pada Sunarso, ayah sang bocah. Ruang kelegaan yang tidak begitu lega
dan luas...
Seusai menjalani operasi, semestinya banyak
sekali perlakuan dalam rangka perawatan
lanjut. Namun karena keterbatasan pak Sunarso dan keluarga, penyakit yang
diderita Puji seolah “selesai” setelah operasi. Alhasil, bukan harapan awal
yang didapat, namun hingga kini – disaat
usianya sudah menginjak 8tahun – penyakit Puji
belum kunjung sembuh. Cairan yang memenuhi ruang di kepalanya tak
kunjung berkurang. Perkembangan otak menjadi terhambat hingga berpengaruh pada
organ geraknya. Kedua kaki Puji tak tumbuh sebagaimana mestinya. Menjadi ironi
atas pertumbuhan kepalanya yang masih membesar, sepasang kaki Puji justru
mengecil dan tak dapat digerakan.
Hari-hari Puji dihabiskan
hanya dengan bisa berbaring dan berceloteh. Sehari-hari Puji tinggal di
gubuk berlantai tanah, bersama kakek dan neneknya yang sudah sangat lanjut . Sang nenek bahkan sudah
tak mampu lagi memfungsikan indra penlihatannya dengan baik. Sunarso, ayah
Puji, sehari-harinya beraktivitas sebagai pekerja serabutan, mencari serpihan
rezeki diantara tumpukan barang rongsok yang masih bisa bernilai rupiah.
Puji masih menyimpan satu cita-cita
mulia. Ia ingin menjadi seorang guru. Ia sangat ingin dapat beraktivitas
seperti kawan-kawan sebayanya. Ia ingin belajar, menjadi pintar, dan membantu
sang ayah.
Puji, dalam segala keterbatasannya,
ia masih memiliki persediaan celoteh
riang, tawa yang ceria, dan yang pasti ia masih terus menyimpan mimpi-mimpinya
dengan rapi. Sungguh tak bisa dijelaskan teorinya, bahwa seorang Puji yang
perkembangan otaknya terhambat karena penuhnya cairan yang ada di tempurung
kelapanya, masih dapat berceloteh cerdas dan ingatannya juga bagus. Ia menyerap
suara, aksara, kata, yang didengarnya sehari-hari. Ayah, nenek, dan kakeknya
tak pernah mengajarkan apa-apa, namun Puji dapat memiliki banyak kosakata yang
tersimpan dan tak ragu ia lontarkan.
Mendengar sapaan serta tawa
polosnya, kami yakin, mimpi Puji tak boleh terhenti. Segala ikhtiar akan coba
dijalani. Puji, adalah serpihan asa kami di Lazis mafaza Peduli Ummat. Kisah ini pastinya satu diantara kisah-kisah
yang menimpa saudara-saudara di sekitar kita. Maka, menjadi sebuah pertanyaan
bersama untuk dijawab oleh nurani kita masing-masing : “akankah doa dan ulur
tangan kita turut mengaminkan pinta puji untuk diizinkan berdiri menggapai
mimpi???”.
(nta)
(nta)
No comments:
Post a Comment