Dengung bahwa Tegal
adalah Jepang-nya Indonesia mungkin bukan sebuah hal yang asing di telinga
kita. Beberapa ungkapan kecintaan yang kadang berbaur primordialisme sempit tak
ragu pula menyebut Tegal sebagai kota metropolitan. Tegal semakin ramai, memang.
Apalagi semenjak kemunculan pusat-pusat perbelanjaan modern, Tegal memang
terasa semakin padat dan hedon.
Namun kalau diamati
dengan seksama, rasanya terlalu berlebihan ketika kita mau menyebut Tegal
sebagai Jepang-nya Indonesia. Apalagi kalau menilik budaya literasi. Terlalu
jauh panggang dari api ketika kita hendak membandingkan. Di sepuluh tahun yang
lalu saja, berdasarkan data dari Association For the Educational Achievement
(IAEA), Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di
dunia. Indonesia saat itu masuk pada peringkat dua dari bawah.
Bagaimana dengan
Tegal? Di kondisi terkini saja, beberapa indikasi menggambarkan betapa masih
perlunya budaya literasi ditingkatkan di kota bahari ini. Peningkatan budaya
baca-tulis ini sebenarnya sangat penting sebagai pendongkrak prestasi-prestasi
Tegal yang telah ada. Tegal boleh merasa bangga menjadi kota industri, kota
transit, kota bisnis dan lain-lain. Namun dalam menjawab tantangan global,
transfer IPTEK dapat berhasil jika masyarakat menguasai kemampuan membaca dan
menulis. Diperlukan kemampuan yang profesional untuk mengasah daya kritis serta
mengadopsi nilai-nilai positif dari bangsa maju. Sejarah mencatat bahwa
menggiatkan budaya literasi dapat mendorong inovasi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Pada masa socrates , misalnya, para siswa di Yunani diperkenalkan
dengan budaya membaca, bukan budaya mendengar. Begitu juga di zaman peradaban
Islam, budaya literasi semakin berkembang ketika Khalifah al-Ma'mun membangun
akademi terbesar di dunia bernama Bayt al-Hikmah, yaitu pusat penerjemahan yang
berfungsi sebagai pusat studi, perpustakaan yang lengkap dengan kegiatan
keilmuan lainnya. Begitu juga dengan Jepang, budaya literasi telah terbukti
mempengaruhi produktivitas serta kreativitas masyarakatnya.
Indikasi sederhana
untuk mengukur tingkat literasi masyarakat misalnya ketersediaan unit bisnis
atau sosial yang berkenaan dengan budaya literasi, kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah daerah. Kasus sederhana : di Tegal ternyata cukup suit
untuk mencari toko buku yang lumayan lengkap dan update. Kita tak mudah
untuk mengetahui perkembangan/ update buku-buku yang terbit apalagi membacanya.
Beberapa waktu terakhir kita pernah dimudahkan dengan salah satu kehadiran toko
buku yang lumayan lengkap dan cukup update.Tapi, itu tak lama, toko buku yang
terkenal dengan diskonnya tersebut tutup tanpa ada berita jelas. Penulis sempat
iseng menanyakan info tutupnya toko buku Toga Mas (TM) tersebut. Ternyata ada
tiga unit toko buku TM yang ditutup yaitu Tegal, Pekalongan dan Cilacap. Toko
buku yang berpusat di Malang tersebut memiliki management yang berotonomi pada
masing-masing unit. Alasan detail kenapa ditutupnya tiga unit tersebut belum
bisa dilacak secara jelas. Tapi hal ini lebih karena keterbatasan penulis untuk
mendapatkan informasi yang memadai.
Kenapa persoalan toko
buku menjadi penting? Tentu saja bukan sekedar permasalahan ada atau tidak toko
buku lengkap di kota kita ini, namun muncul pertanyaan dibelakang itu semua..,
kenapa pengusaha toko buku tidak berminat untuk berbisnis di Tegal? Lebih jauh
mengenai itu adalah seperti apa arah kebijakan ketika Tegal menyediakan lahan
seluas-luasnya untuk berinvestasi. Hal ini juga nantinya bisa bersayap kepada
permasalahan seperti apa arah kebijakan pemerintah terhadap misi-misi Tegal
Cerdas-Tegal Bisnis? Cerdas berbisnis dan bisnis yang mencerdaskan, adakah
konten tersebut teraplikasi pada turunan teknis regulasi yang ada? Jika memang
visi-misi tersebut bukanlah sebatas barisan jargon tanpa makna.
Cerdas, Bisnis,
Sehat, dan lain-lain tentunya diharapkan sebagai clue yang saling
berkonjungsi dan tidak berdiri sendiri-sendiri, atau bahkan masing-masing rampung
sebagai sebuah proyek tahunan.
Dengan pertanyaan
sederhana : sejauh mana Tegal memberikan kesempatan investasi pada
bidang-bidang bisnis yang memiliki korelasi pada pencerdasan masyarakat? dan toko
buku adalah salah satu contoh kecilnya. Bisa jadi, toko buku - toko buku besar
enggan untuk membuka unitnya di Tegal karena iklim bisnisnya tidak memiliki
perhatian besar pada bidang-bidang seperti itu. Lepas juga dari masalah bahwa
kultur membaca masyarakat kota Tegal masih peru ditingkatkan, kalau tidak boleh
dibilang rendah. Kemana para pelajar dan mahasiswa Tegal harus mencari
referensi terbaru atau lengkap jika disekitar mereka lebih banyak mall dan
restoran fastfood dibandingkan toko buku dan perpustakaan. Secara tidak
langsung, masyarakat kita dipaksa untuk menikmati budaya konsumtif dengan
hadirnya berbagai pusat perbelanjaan dan kemudian pemerintah dengan bangga
mengatakan : "ini lho Tegal
Bisnis 2012".
Selain minimnya toko
buku yang memadai di kota ini, keberadaan taman bacaan serta perpustakaan juga
menjadi isu yang tak kalah pentingnya. Beberapa kendala yang biasanya terjadi
di beberapa perpustakaan di daerah adalah koleksi buku dan SDM. Maka, yang
terjadi di beberapa taman bacaan adalah jalan di tempat. Mungkin sekali-kali
perlu dibuat sebuah jejaring taman bacaan dan perpustakaan yang berada di Tegal
untuk kemudian bisa saling sharing kondisi dan koleksi. Inisiasi perpustakaan
yang ada di setiap kelurahan jangan sekedar menjadi proyek yang habis
"masa heboh"nya ketika tutup buku. Tegal Cerdas pada akhirnya akan
menjadi jargon tahunan yang cukup bombastis. Begitu juga dengan misi yang
lainnya.
Kalau memang mau
menjadi Jepang-nya Indonesia, jangan sekedar menjadi ungkapan yang lebih terasa
galgil. Bukan sebatas bahwa kita memiliki banyak unit industri dan lebih
merupakan pembahasaan sebuah fakta tentang ketersediaan tenaga buruh di kota
ini. Kualitas SDM serta etos kerja yang tentunya juga harus berusaha dijadikan
seperti Jepang-nya Indonesia.
The last but not the
least, mari
jadikan semangat hari jadi kota Tegal ke-432 tahun ini untuk bersama-sama
membadaikan budaya literasi. Yuh pada seneng maca-nulis, ben tambah
keminclong, moncer tur pinter !! Dirgahayu!. (nta)
No comments:
Post a Comment