Tiap ada pelatihan atau penyampaian materi
jurnalistik, pasti nama Bill Kovach sudah teramat akrab di telinga. Salah satu
buku yang sering dijadikan “kitab suci” bagi para jurnalis adalah : “The
Elements of Journalism : What Newspeole Should Know and the Public Should
Expect (Bill kovach and Tom Rosenstiel).
Saya belum “khatam” mengkajinya, tapi dari beberapa diskusi dan pembacaan
singkat, pemahaman saya yang dangkal megambil salah satu point bahwa ilmu
jurnalistik itu dibutuhkan oleh semua orang, bukan hanya oleh para pekerja kuli
tinta.
Tapi di tulisan ini saya bukan ingin mengurai
panjang lebarnya teori dasar jurnalistik. Melainkan ingin mencoba merangkaikan
pikiran-pikiran dangkal saya mengenai salah satu unsur dalam jurnalistik, yaitu
informasi.
Suatu hari saya pernah ber-sms dengan seorang
senior untuk bersama-sama menggagas sebuah kelas jurnalistik untuk remaja
remaja di wilayah Banyumas. Ruang itu bukan fokus kepada keahlian teknis dalam
jurnalistik, melankan saya ingin mengarahkan kepada melek media atau lebih
tepatnya melek informasi. Ketika sedari dini kita mengetahui seperti apa sih
sebenarnya “berita” itu. Bagaimana sebuah informasi itu dapat disebut sebagai
“berita”, bagaimana sebuah kabar itu didapat, bagaimana proses konfirmasi
sebuah informasi. Dengan mengetahui seperti itu, kita akan paham, berita-berita
mana yang “sehat” untuk kita telan, apalagi ditengah maraknya media informasi
baik cetak ataupun elektronik. Pilihan untuk mendapatkan berita sekarang sangat
mudah, tinggal klik handphone dalam
beberapa detik kita sudah bisa menyantap puluhan headline. Berita itu kini
layaknya makanan yang diobral sepanjang jalan, tinggal kita pilih mana yang
sehat dan mana yang tidak. Pelatihan jurnalistik sedari dini akan bisa membantu
generasi muda untuk mengkonsumsi berita yang sehat. Minimal, ketika mendapatkan
berita tidak bersikap reaktif. Lebih luas lagi adalah bagaimana budaya
mengkroscek sebuah berita. Dengan berkembangnya teknologi informasi saat ini,
kita mudah terjejali berita dari berbagai penjuru arah mata angin. Namun
sayangnya selain kita tak terbiasa mengenali mana berita yang sehat atau sakit,
kita juga tidak didukung oeh budaya kroscek yang bagus, atau dalam istilah
agama, kita tak dibudayakan untuk bertabayyun. Kita lebih memilih menyebarkan
berita yang menurut kita menarik dan bereaksi. Dalam Islam sebenarnya ini sudah
diterangkan mengenai bahaya fitnah. Salah satu bentuk yang terjadi adalah
mengenai informasi. Kalau di PJMI (Perhimpunan Jurnalis Muslim Indonesia)
disebutkan bahwa salah satu misi jurnalis muslim adalah membawa kabar yang
tidak mengandung ghibah. Begitu besar tanggung jawab seorang jurnalis, bukan?
Bukan sebatas membuat berita dan menyetornya sebelum deadline, isn it?
(Itulah kenapa saya belum mau melepas status freelance journalist dan
tidak mau terikat dalam sebuah profesi ini...hahaha... ß baca :
apologi ).
Sebenarnya saya hanya merasa heran ketika
orang gemar membicarakan orang lain. Berghibah, menggosip, atau apalah itu
sejenisnya. Apalagi ketika hal-hal itu diarahkan kepada kaum hawa. Ngobrol itu
memang aktivitas yang seru. Saya juga orang yang suka ngomong, beberapa orang
bilang saya bawel, cerewet, dan lain-lain. Tapi, ngomong yang kayak apa dulu???
Beberapa orang biasanya dibelakang suka ngomongin orang tapi ketika suruh
ngomong di depan jadi bisu seribu bahasa. Jadi, maunya apa sih? Ketika
ngomongin orang di belakang semangat luar biasa, tapi ketika diminta konfirmasi
secara langsung hanya terdiam. Orang-orang yang seperti itu yang kadang bikin
saya eneg. Hehe.
Maka, belajar jurnalistik saya pikir
diperlukan untuk semua. Memahami jurnalistik dengan benar adalah salah satu
ikhtiar bagaimana kita mencoba melawan budaya bergosip. Memahami jurnalistik
adalah bagaimana kita berikhitar untuk meminimalisir bahaya fitnah. Ketika ada
berita yang terkait dengan orang dan seseorang atau juga sesuatu hal, kita akan
terlatih untuk mencerna berita itu patut ditelan atau tidak, atau justru kita
perlu meluruskan. Jika ada berita yang menyangkut seseorang, kita tahu
bagaimana cara mengkonfirmasikannya. Bukankah dalam jurnalistik juga dipelajari
untuk menentukan narasumber, tidak semua orang bisa dijadikan narsum.
Kabar kabur itu hanya akan membawa
ketidaknyamanan. Contohnya beberapa sketsa nyata seperti ini :
#Tadi malam saya chatt dengan seorang senior
dan dia nanya : “Ta, kamu jadi ambil beasiswa xxxxxxx tahun ini? Katanya
kemarin pengumumannya seperti itu”. Yang
bikin saya kaget ketika dia nanya : “Ta, katanya kamu udah dilamar orang ya?”.
Alamakjang..saya kaget. Bisa mati pasaran kalau orang-orang taunya saya sudah
engaged. Hehe. Untungnya senior saya itu orang mantan jurnalis kampus juga,
jadi langsung konfirmasi kabar kabur itu.
# Kemarin waktu saya mampir ke kampus saat
festival budaya, ngobrol sama salah satu dosen, beliau bilang seperti ini : “kamu
sudah kerja di xxxxxx ya??”.. Pokoknya
ini menyangkut sebuah profesi dan lembaga. Kabarnya memang tidak negatif,
tetapi tetap saja bahwa kabar itu salah. Semua itu berawal dari kata “katanya”.
#Beberapa bulan lalu saya juga terpaksa
“terlibat” dalam kasus kabar-kabur yang menyangkut hubungan pribadi seorang
teman. Saya tidak mau cerita, eneg kalau inget itu semua. Tapi yang pasti,
semua itu terjadi berawal dari sebuah prasangka. Teman-teman d saya juga jadi
terbawa, tapi itupun dengan bumbu-bumbu yang bikin saya istighfar semalaman.
Terakhir saya sampaikan : “kalau mau
tanya info tentang saya, langsung saja tanya ke saya”. Ditantang untuk tabayyun seperti itu malah
diam, ya sudah, cukup tau saja seperti apa nyali dan kebenarannya.
Saya tidak habis pikir, kenapa kalau mau
mencari info tentang saya harus nanya-nanya ke orang lain yang belum tentu tau
tentang saya dan kemudian menambah-nambahkan dengan hal yang tidak penting. Ini
khas wartawan gosip! Bukan masalah berita itu positif atau negatif
#kasus dua tahun lalu yang ada di masjid juga
ada unsur seperti itu, tidak mau tabayyun. Tidak mau mengkroscek, semua
beropini sesuai subyektifitas masing-masing.
Masih banyak contoh-contoh lain yang saya
sudah banyak mengalaminya. Hal-hal tersebut yang kemudian saya semakin tertarik
untuk beajar bagaimana membuah sistem informasi yang meminimalisasi adanya
ghibah. Orang-orang yang bergerak di news tentunya punya tanggungjawab ini.
Beneran deh, positif atau negatif kabar yang ada, rasanya sangat tidak nyaman
ketika tahu bahwa kita diperbincangkan di balik punggung. Apalagi ketika berita
itu tidak benar. Bukankah dalam Islam kita diajarkan bagaimana mencari
informasi yang benar??? Bahkan ketika hendak memilih pasangan hidup, kita
dianjurkan untuk mencari informasi , jika terasa kurang etis atau malu
menanyakan secara langsung, maka kita bisa mencari infonya dari orang-orang
yang dipercaya, misalnya keluarga atau sahabat.
Saya jadi ingat kisah sebuah legenda jawa Joko
Muntung, ketika dia mengabarkan berita yang tidak benar saat ada rombongan
pangeran yang akan melamar Damar Wulan sehinga mereka batal untuk meminang. Itu
semua berawal dari sebuah dengki, prasangka buruk, dan penyakit-penyakit hati
yang lain.
Entahlah apakah berita-berita yang banyak
berlintasan saat ini juga punya tendensi-tendensi yang berawal dari sebuah
prasangka buruk, dengki, atau yang lainnya??
Lepas dari itu semua, pesan untuk diri sendiri
juga, mari kita biasakan mengkonsumsi kabar yang sehat, meski itu merupakan
hal-hal sepele di sekitar kita.
Karena sudah larut malam, catatan ini saya
sudahi sampai disini saja. Terimakasih.
11:25PM, ujung selatan madrani-purwokerto.
Setelah didera flu tiga hari gara-gara musim semi di Indonesia tanpa sakura. (musim
semi = semi hujan semi panas...).
#sesajen di kamar kos saya lagi lengkap, dari
mulai wafer superman sampai lanting ada semua. Btw, saya suka sama indomie
goreng yang vegan dan tadi borong beberapa.. bukaan apa-apa saya cuma suka
warna hijaunya, match kalo ditaro di meja kamar kos saya..hehe.
No comments:
Post a Comment