Pages

Friday, April 13, 2012

Kabar - Kabur

Tiap ada pelatihan atau penyampaian materi jurnalistik, pasti nama Bill Kovach sudah teramat akrab di telinga. Salah satu buku yang sering dijadikan “kitab suci” bagi para jurnalis adalah : “The Elements of Journalism : What Newspeole Should Know and the Public Should Expect  (Bill kovach and Tom Rosenstiel). Saya belum “khatam” mengkajinya, tapi dari beberapa diskusi dan pembacaan singkat, pemahaman saya yang dangkal megambil salah satu point bahwa ilmu jurnalistik itu dibutuhkan oleh semua orang, bukan hanya oleh para pekerja kuli tinta.

Tapi di tulisan ini saya bukan ingin mengurai panjang lebarnya teori dasar jurnalistik. Melainkan ingin mencoba merangkaikan pikiran-pikiran dangkal saya mengenai salah satu unsur dalam jurnalistik, yaitu informasi.

Suatu hari saya pernah ber-sms dengan seorang senior untuk bersama-sama menggagas sebuah kelas jurnalistik untuk remaja remaja di wilayah Banyumas. Ruang itu bukan fokus kepada keahlian teknis dalam jurnalistik, melankan saya ingin mengarahkan kepada melek media atau lebih tepatnya melek informasi. Ketika sedari dini kita mengetahui seperti apa sih sebenarnya “berita” itu. Bagaimana sebuah informasi itu dapat disebut sebagai “berita”, bagaimana sebuah kabar itu didapat, bagaimana proses konfirmasi sebuah informasi. Dengan mengetahui seperti itu, kita akan paham, berita-berita mana yang “sehat” untuk kita telan, apalagi ditengah maraknya media informasi baik cetak ataupun elektronik. Pilihan untuk mendapatkan berita sekarang sangat mudah, tinggal klik handphone dalam beberapa detik kita sudah bisa menyantap puluhan headline. Berita itu kini layaknya makanan yang diobral sepanjang jalan, tinggal kita pilih mana yang sehat dan mana yang tidak. Pelatihan jurnalistik sedari dini akan bisa membantu generasi muda untuk mengkonsumsi berita yang sehat. Minimal, ketika mendapatkan berita tidak bersikap reaktif. Lebih luas lagi adalah bagaimana budaya mengkroscek sebuah berita. Dengan berkembangnya teknologi informasi saat ini, kita mudah terjejali berita dari berbagai penjuru arah mata angin. Namun sayangnya selain kita tak terbiasa mengenali mana berita yang sehat atau sakit, kita juga tidak didukung oeh budaya kroscek yang bagus, atau dalam istilah agama, kita tak dibudayakan untuk bertabayyun. Kita lebih memilih menyebarkan berita yang menurut kita menarik dan bereaksi. Dalam Islam sebenarnya ini sudah diterangkan mengenai bahaya fitnah. Salah satu bentuk yang terjadi adalah mengenai informasi. Kalau di PJMI (Perhimpunan Jurnalis Muslim Indonesia) disebutkan bahwa salah satu misi jurnalis muslim adalah membawa kabar yang tidak mengandung ghibah. Begitu besar tanggung jawab seorang jurnalis, bukan? Bukan sebatas membuat berita dan menyetornya sebelum deadline, isn it?  (Itulah kenapa saya belum mau melepas status freelance journalist dan tidak mau terikat dalam sebuah profesi ini...hahaha... ß baca : apologi ).


Sebenarnya saya hanya merasa heran ketika orang gemar membicarakan orang lain. Berghibah, menggosip, atau apalah itu sejenisnya. Apalagi ketika hal-hal itu diarahkan kepada kaum hawa. Ngobrol itu memang aktivitas yang seru. Saya juga orang yang suka ngomong, beberapa orang bilang saya bawel, cerewet, dan lain-lain. Tapi, ngomong yang kayak apa dulu??? Beberapa orang biasanya dibelakang suka ngomongin orang tapi ketika suruh ngomong di depan jadi bisu seribu bahasa. Jadi, maunya apa sih? Ketika ngomongin orang di belakang semangat luar biasa, tapi ketika diminta konfirmasi secara langsung hanya terdiam. Orang-orang yang seperti itu yang kadang bikin saya eneg. Hehe.

Maka, belajar jurnalistik saya pikir diperlukan untuk semua. Memahami jurnalistik dengan benar adalah salah satu ikhtiar bagaimana kita mencoba melawan budaya bergosip. Memahami jurnalistik adalah bagaimana kita berikhitar untuk meminimalisir bahaya fitnah. Ketika ada berita yang terkait dengan orang dan seseorang atau juga sesuatu hal, kita akan terlatih untuk mencerna berita itu patut ditelan atau tidak, atau justru kita perlu meluruskan. Jika ada berita yang menyangkut seseorang, kita tahu bagaimana cara mengkonfirmasikannya. Bukankah dalam jurnalistik juga dipelajari untuk menentukan narasumber, tidak semua orang bisa dijadikan narsum.

Kabar kabur itu hanya akan membawa ketidaknyamanan. Contohnya beberapa sketsa nyata  seperti ini :

#Tadi malam saya chatt dengan seorang senior dan dia nanya : “Ta, kamu jadi ambil beasiswa xxxxxxx tahun ini? Katanya kemarin pengumumannya seperti itu”.  Yang bikin saya kaget ketika dia nanya : “Ta, katanya kamu udah dilamar orang ya?”. Alamakjang..saya kaget. Bisa mati pasaran kalau orang-orang taunya saya sudah engaged. Hehe. Untungnya senior saya itu orang mantan jurnalis kampus juga, jadi langsung konfirmasi kabar kabur itu.

# Kemarin waktu saya mampir ke kampus saat festival budaya, ngobrol sama salah satu dosen, beliau bilang seperti ini : “kamu sudah kerja di xxxxxx  ya??”.. Pokoknya ini menyangkut sebuah profesi dan lembaga. Kabarnya memang tidak negatif, tetapi tetap saja bahwa kabar itu salah. Semua itu berawal dari kata “katanya”.

#Beberapa bulan lalu saya juga terpaksa “terlibat” dalam kasus kabar-kabur yang menyangkut hubungan pribadi seorang teman. Saya tidak mau cerita, eneg kalau inget itu semua. Tapi yang pasti, semua itu terjadi berawal dari sebuah prasangka. Teman-teman d saya juga jadi terbawa, tapi itupun dengan bumbu-bumbu yang bikin saya istighfar semalaman. Terakhir saya sampaikan  : “kalau mau tanya info tentang saya, langsung saja tanya ke saya”.  Ditantang untuk tabayyun seperti itu malah diam, ya sudah, cukup tau saja seperti apa nyali dan kebenarannya.

Saya tidak habis pikir, kenapa kalau mau mencari info tentang saya harus nanya-nanya ke orang lain yang belum tentu tau tentang saya dan kemudian menambah-nambahkan dengan hal yang tidak penting. Ini khas wartawan gosip! Bukan masalah berita itu positif atau negatif
 

#kasus dua tahun lalu yang ada di masjid juga ada unsur seperti itu, tidak mau tabayyun. Tidak mau mengkroscek, semua beropini sesuai subyektifitas masing-masing.

Masih banyak contoh-contoh lain yang saya sudah banyak mengalaminya. Hal-hal tersebut yang kemudian saya semakin tertarik untuk beajar bagaimana membuah sistem informasi yang meminimalisasi adanya ghibah. Orang-orang yang bergerak di news tentunya punya tanggungjawab ini.

Beneran deh, positif atau negatif  kabar yang ada, rasanya sangat tidak nyaman ketika tahu bahwa kita diperbincangkan di balik punggung. Apalagi ketika berita itu tidak benar. Bukankah dalam Islam kita diajarkan bagaimana mencari informasi yang benar??? Bahkan ketika hendak memilih pasangan hidup, kita dianjurkan untuk mencari informasi , jika terasa kurang etis atau malu menanyakan secara langsung, maka kita bisa mencari infonya dari orang-orang yang dipercaya, misalnya keluarga atau sahabat.

Saya jadi ingat kisah sebuah legenda jawa Joko Muntung, ketika dia mengabarkan berita yang tidak benar saat ada rombongan pangeran yang akan melamar Damar Wulan sehinga mereka batal untuk meminang. Itu semua berawal dari sebuah dengki, prasangka buruk, dan penyakit-penyakit hati yang lain.

Entahlah apakah berita-berita yang banyak berlintasan saat ini juga punya tendensi-tendensi yang berawal dari sebuah prasangka buruk, dengki, atau yang lainnya??

Lepas dari itu semua, pesan untuk diri sendiri juga, mari kita biasakan mengkonsumsi kabar yang sehat, meski itu merupakan hal-hal sepele di sekitar kita.

Karena sudah larut malam, catatan ini saya sudahi sampai disini saja. Terimakasih.


11:25PM, ujung selatan madrani-purwokerto. Setelah didera flu tiga hari gara-gara musim semi di Indonesia tanpa sakura. (musim semi = semi hujan semi panas...).


#sesajen di kamar kos saya lagi lengkap, dari mulai wafer superman sampai lanting ada semua. Btw, saya suka sama indomie goreng yang vegan dan tadi borong beberapa.. bukaan apa-apa saya cuma suka warna hijaunya, match kalo ditaro di meja kamar kos saya..hehe.




Title: Kabar - Kabur; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: