Pages

Thursday, February 16, 2012

Kutipan Hujan Senja Ini

Mentari masih lumayan terik. Namun kehangatannya tak merusak  sensasi segelas jahe susu yang disuguhkan untukku siang tadi.  Entah apa yang ada di pikiran ibu Rosidah (40) saat melihatku cukup bersemangat menyeruput jahe susu. Ia mungkin tak tahu bahwa antusiasku pada jahe susu bukan karena haus melainkan sebuah resonansi  dari semangat  obrolan siang itu.

Ibu Rosidah  adalah sepupu dari  ibu Nasem (55). Saat siang tadi  kami sampai ke kediaman ibu Nasem, kami justru bertandang ke rumah ibu Rosidah —yang lokasi rumahnya berhadap-hadapan--  karena memang beliau yang menyambut. Bu Nasem dan suaminya – pak Mustajab (58)— tak mampu menyambut kami. Jangankan untuk menyambut, berdiri saja sudah tak sanggup . Ya, Pak Mus dan Bu Nasem adalah pasangan suami istri yang kini sedang diberikan cobaan dengan mengalami lumpuh  pada sebagian organ tubuh. Pak Mus tak mampu menggerakan bagian tubuh sebelah kiri dan bu Nasem juga hanya bisa duduk berselonjor karena kedua kakinya tak mampu digerakan.

Sekitar tiga bulan lalu,  sosok pak Mus adalah laki-laki  gagah yang melakoni pekerjaan sebagai penderes nira. Setidaknya tiga tahun terakhir, pak Mus masih menjadi kepala keluarga yang menunaikan  tanggungjawabnya. Hingga suatu pagi  ketika bangun tidur,  tubuhnya tiba-tiba tak mampu digerakan. Ia mencoba berdiri namun malah jatuh terjerembab ke sisi kiri.  Sejak hari itulah ia absen sebagai penderes nira. Beberapa pekan sesudahnya, sang istri turut merasakan chemistrypenderitaan suami hingga akhirnya ia pun tak mampu menggerakan kedua kakinya.


Upaya pengobatan sudah dilakukan, tapi mentok pada urusan khas negeri ini : tak ada uang untuk berobat!. Entah kalau boleh memilih, orang  miskin khususnya di negara ini mungkin memang tak mau sakit. Bukan karena masalah tak ada uang saja, tapi terkadang birokrasi yang tergerogoti mental korupsi serta empati yang tak mudah untuk diundang dari manusia-manusia apatis yang semakin merajai bumi.

Kami bertiga (saya, Yunus, dan Febrie) tadi siang berkesempatan  menyambangi rumah Bu Nasem di Rt  1 Rw 4 Desa Sambirata, kec.Cilongok, Banyumas.  Sementara dua rekan saya menangani pemberian bantuan asbes pada korban angin puting beliung, saya mendapat amanah untuk menengok pasutri pak Mus dan bu Nasem tersebut. Masalah yang ada sebenarnya  tidak terlalu ribet. Saya kesana untuk mengadvokasi warga yang belum dapat mengakses program jaminan kesehatan dari pemerintah.  Kalaupun itu nanti mengalami kendala, paling hanya persoalan birokratis yang khas di negara ini. Tapi yang pasti, tadi saya sudah mencoba memformulasikan apa saja yang perlu dilakukan dan besok mulai bergerak.

Satu hal yang selama ini mungkin masih dianggap sebagai masalah bagi mereka untuk bergerak adalah, mereka merasa sebagai  pasangan sebatang kara. Kalau sekedar untuk mengurus makan dan keseharian, mereka masih bersyukur bahwa ada  paman dan sepupu mereka tinggal didekat mereka. Namun, dari air mata bu Nasem yang tadi sempat terkucur saya melihat gurat kerinduan pada anak-anak mereka.

Pak Mus dan Bu Nasem saat ini memiliki dua orang anak. Anak perempuannya tinggal bersama ibu angkat. Tadinya bu Nasem memiliki beberapa orang anak tapi selalu meninggal dunia. Menurut tradisi orang Jawa, kalau ada pasutri yang anak-anaknya selalu meninggal, maka salah satu anaknya harusdipupu (dipisahkan dari orang tuanya) sehingga anak lainnya selamat. Oke, kita tidak akan membahas masalah itu. Tapi yang pasti, kedua anak yang masih ada kini sudah berkeluarga dan tidak tinggal bersama orang tuanya.

Saya sebenarnya juga bingung sekarang  mau nulis apa.  Sepanjang obrolan tadi , bu Nasem juga lebih  banyak menangis dan tersenyum getir. Dari obrolan  kami (saya, bu Nasem, pak Mus), menurut saya sakit mereka lebih banyak dikarenakan pikiran. Mungkin tak bisa disalahkan ketika mereka tertekan karena selama ini pak Mus yang mencari penghidupan kini hanya bisa duduk lemah tak berdaya. Minimal mereka mikir, besok mau makan apa? Mengharapkan belas kasihan dari tetangga tentu saja menjadi alternatif yang konyol.

Saya tidak akan cerita detail obrolan macam apa yang kami lalui tadi.  Satu hal yang menurut saya perlu diberikan kepada mereka adalah supporthealing, minimal untuk yakin bahwa Tuhan tidak akan menelantarkan hambaNya. Itu saja dulu. Bisa dibayangkan seperti apa orang sakit lumpuh, tak bisa melakukan apa-apa, masih berpikir harus makan apa. Fisik yang lumpuh akan menjadi sempurna kelumpuhannya dengan pikiran-pikiran seperti itu.

Satu hal yang  jadi pelajaran penting hari ini, kalau kita masih punya orang tua, jangan pernah sekali-kali menganggap sudah cukup merawatnya dengan uang atau materi. Apa kau kira dengan memberi makan kepada ortu itu sudah bisa mengimbangi  apa yang sudah ortu lakukan kepada kalian??! Tidak sama sekali!Untuk kasus pak Mus,  menurut saya banyak sekali  alternatif yang bisa digunakan, tapi mereka berdua tak bisa bergerak dan tak ada yang bisa dimintai bergerak  sehingga jadi  pesimis.  

Siang tadi, uang bantuan yang saya bawa untuk pak Mus memang tidaklah seberapa. Menurut saya setelah melihat langsung, yang mereka butuhkan bukan hanya bantuan materi tapi yang penting lagi adalah support dan perhatian. Sejujurnya, tadi  saya tak larut pada keharuan. Saya justru  ingin mengajak mereka untuk optimis. Canda tawa beberapa kali saya lontarkan. Walaupun  di beberapa menit sebelum kepulangan, pak Mus akhirnya tak kuat menahan tangis. Sepertinya justru pak Mus yang terharu saat saya bilang  bahwa  :  urusan rezeki itu sudah diatur sama yang kuasa, siapa yang menyangka bahwa saya akan kesini, nengokin bapak-ibu, saya juga bukan siapa-siapa, sebelumnya tidak kenal. Tapi bagi saya, orang tua adalah orang yang harus dihormati, walaupun kini saya juga sudah tak dapat  bertemu kedua orang tua sendiri. *Saya rada bersalah juga sih , malah membuat pak Must menangis.*

Lepas dari masalah pengobatan dan kesehatan mereka, yang saya yakini adalah  bahwa saat ini yang tersirat dari sorot mata mereka adalah kerinduan  yang teramat sangat.   Saya bisa merasakan sorot rindu itu. Fisik mereka sudah terbebani beban pikiran dan kerinduan yang mungkin sudah menggunung. Saya yakin, orang tua selalu tulus menyayangi anak-anaknya,  tapi mereka juga tak salah  jika punya bayangan akan dirawat oleh para buah hatinya di masa tua.
Seandainya saya juga tak punya tanggungjawab lain saat ini , mungkin saya akan rela untuk tiap hari berkunjung ke Bu Nasem, sekedar membawakan makanan, menyuapi  atau memapahnya berlatih jalan. Optimis  dan yakin bahwa hidup ini indah, itu yang terpenting saat ini bagi mereka. Yeaah, untuk saat ini mungkin saya hanya mencoba membantu untuk memotivasi dan mendampingi pak Must menjalani pengobatan dan segala urusan yang bisa diurus.

Kawan, pada akhirnya, hidup adalah melayani. Sepanjang kita masih bisa mencintai, memberi, melayani, memahami.. lakukanlah semua tanpa pretensi, minimal sebelum kita mati. Masalah kita juga butuh dicintai, dilayani, dipahami, ..memang apa sih yang belum Dia berikan kepada kita? Nikmat Allah mana lagi yang mau didustakan?

Maka kepulangan saya senja tadi dari Cilongok dikawal oleh rintik hujan. Enggan menyarungkan mantel, kutepikan motor dan mengisi perut yang sedari siang belum terisi. Seolah bicara, rintik hujan mengimbangi dialog alam pikirku senja ini. Maka kukutipkan pesan hujan dalam rangkai kata yang (lagi-lagi) terlalu bertele-tele ini untuk kalian yang mungkin membacanya saja sudah membuat bosan.

Sudahlah, sekian saja coretan senja dalam kali ini. Sekedar melepas  gelisah dan mengungkapkan ingatanku atas kalian semua, teman-teman dan saudara  yang kukasihi.  Semoga saya masih bisa diberi usia untuk selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian semua, minimal dalam doa.  Maaf apabila ada salah dan keluh kesah. God bless u.

Purwokerto Satria, 1 februari 2012, 6:00pm,  sekedar mengutip  pesan yang dibawa rintik hujan di penghujung senja, yang  membasah dalam gelisah! 

#kisah ini saya tulis dalam beberapa versi, ada feature, hardnews, dan curcol..hehe. Yang curcol edisi lengkap plus foto dan video nanti ada di mytumblr (blog #SSM). ^_^
Title: Kutipan Hujan Senja Ini; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: