Pages

Wednesday, January 26, 2011

SIDEKICK

Pada olahraga beladiri karate, dikenal adanya gerakan tendangan samping, tapi istilahnya bukan sidekick. Dalam karate kita menyebut sidekick sebagai yoko geri. Tapi, sidekick yang dibicarakan disini bukan mengenai olahraga. Tetapi mengenai “partner” yang kadang kita ambigĂș juga untuk memaknainya, apakah sebagai partner atau sebagai “batu loncatan”.

Dalam film-film superhero, kita mengenal banyak tokoh sidekick, kayak Batman and Robin, Sam dan Frodo Baggins, Gabrielle dan Xena (warrior princess). Kenapa sih sang jagoan harus punya partner? Apakah memang untuk membantu atau seperti kisah persahabatan yang tulus dan Kadang membuat termehek-mehek?

Ternyata tidak sekedar seperti itu, seorang tokoh ternyata membutuhkan “partner” untuk menguatkan karakter ”super”nya. Ternyata kadang kita membutuhkan pembanding untuk menguatkan karakter kekuatan kita. Orang yang kaya berteman dengan yang miskin, bukan sekedar untuk saling berbagi, tetapi untuk menguatkan bahwa ini lho yang kaya, soalnya ada pembanding miskin-nya. Anak yang pintar berduet dengan yang bodoh untuk mempertahankan identifikasi pintar-nya itu. Kalau berteman pada yang sama-sama pintar, nanti keduanya akan kompetitif, dan yang satu pasti akan terlihat lebih pintar dibanding yang lain. Karena ketika ada dua hal, maka kita akan cenderung untuk membandingkan. Dalam bahasa sederhana-nya, identifikasi seseorang itu tergantung pembandingnya, dan pembanding itu jelas yang se-tipe. Maka terkadang ada orang yang butuh partner untuk menguatkan karakter-nya. Ini yang kemudian disebut ”sidekick”.


So, apa yang ingin diungkapkan disini. Keriuhan di salah satu group di jejaring sosial facebook, cukup membawa saya untuk mengasosiasikan tema ini kesana. Ya, tak terbantah jika muncul sebuah praduga bahwa antara HMI MPO dan Dipo adalah hubungan seorang superhero dan sidekick-nya. Posisi itu bisa dibolak-balik, tentunya. Walaupun saya kebetulan kader dari kategori MPO, tidak bisa juga mengklaim bahwa adanya Dipo itu adalah side-kick kita. Posisi peran itu terserah dikembalikan kepada teman-teman saja.

Kenapa saya mengasosiasikan sidekick pada dualisme HMI ini? Ya, alasan simple-nya , karena ternyata mereka sampai detik ini juga masih ngotot untuk sama-sama menjadi HMI. Dengan kata lain, sebenarnya dualisme ini juga dimanfaatkan oleh kepentingan masing-masing kelompok. Kalau kemudian orang yang mengusung ide rekonsiliasi dianggap memiliki ”kepentingan tertentu”, gak salah donk kalau ada tanggapan yang serupa bahwa orang yang kekeuh dengan dualisme ini juga punya ”kepentingan”. Toh, sebenarnya masalah motif ini bisa berbeda-beda masing-masing personal.

Back to ”sidekick”. Keberadaan MPO bagi Dipo, dan juga sebaliknya, memang terkadang dijadikan untuk memperkuat karakter masing-masing yanng secara tidak langsung juga untuk semakin menguatkan karakter minus-nya sang sidekick. MPO akan selalu ”bahagia” jika tetap ada Dipo, karena itu akan memperkuat karakter MPO sebagai ”penyelamat organisasi” dengan latar historis mengenai kasus asas tunggal. Sebaliknya juga bisa, Dipo akan selalu ”bahagia” jika tetap ada ”MPO” karena itu akan memperkuat karakter Dipo sebagai organisasi yang original dari awal berdirinya HMI di tahun 1947. Sejarah tidak akan berpihak kepada siapa-siapa, semua akan tergantung pada penafsiran subyektif masing-masing penafsir. Menyalahkan sejarah atau bahkan menjadikan sejarah sebagai kambing hitam? Itu tindakan yang teramat bodoh. Keinginan bersatu atau tetap berpecah saya fikir tidak bijak dengan menjadikan ”menghargai sejarah” sebagai alasan. Itu hanya penutup ego bahwa masing-masing ingin mempertahankan sidekick-nya. Alasan ””menghargai sejarah” mengingatkan saya kepada satu kisah tentang sekelompok anak muda yang menginginkan terbentuknya negara kelima, mengembalikan kejayaan nusantara ,dengan menjadikan mereka sebagai para pembuka (Novel Negara Kelima). Atau juga seperti dalam novel ”Rahasia Meede”, masih sama milik-nya E.S Ito, tentang harta karun VOC. Semua tokoh-tokoh itu memiliki niat suci untuk menghargai sejarah, namun tetap ada pihak ketiga yang memanfaatkan niat suci itu, akhirnya semua menjadi semu. Mungkin sama dengan teman-teman yang menganggap bahwa ide bersatunya HMI adalah sebuah ”pengkhianatan sejarah”, yang menjadi pertanyaan besar adalah ”di bagian mana hal itu terjadi?”. Kalau mau ngomong ”pengkhianatan perjuangan”, kenapa tidak melihat kepada perkembangan perkaderan yang semakin kesini semakin menurun? Itu pengkhianatan besar-besaran lho, ketika kita ternyata masih ”melek” melihat bahwa kader-kader HMI itu ternyata tidak jauh berbeda gaya pergaulannya dengan anak-anak muda yang bukan kader. Lalu, kenapa ”sejarah” hanya disempitkan pada simbol perpecahan HMI saat adanya konflik mengenai astung? Toh, semua ini adalah fase-fase dinamika HMI yang harus dilewati. Saya fikir HMI telah melewati banyak fase, yang kemudian menjadikan organiasai ini fleksibel dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan bangsa dan negara. Tentunya berbeda kan HMI pada masa-masa pasca kemerdekaan, masa orde lama, orde baru, dan sekarang kita memiliki ”masa yang baru dan berbeda lagi”. Package-nya yang berbeda, esensi-nya sma sebagai ”Himpunan Mahasiswa Islam”. Jadi, ketika kita mengatakan ”bersatunya HMI adalah sebuah kebutuhan”, kenapa harus dibilang tidak menghargai sejarah seolah-olah kita melakukan semacam ”bid’ah” yang sudah melenceng dari esensi HMI itu sendiri, lama-lama HMI jadi agama baru dan Lafran Pane jadi Nabi-nya donk???? Ups, maaf-maaf, jadi melantur kemana-mana.

Back to sidekick. Ya, sampai kapan kita akan mempertahankan pola hubungan sidekick, toh ketika ada seusatu yang negatif, maka yang mengalami kerugian adalah keduanya. Pola hubungan sidekick ini hanya akan menjadikan masing-masing pihak kehilangan karakternya, memanfaatkan jurang perbedaan untuk masing-masing kepentingan ego-nya.

Kalau kata seorang teman baik saya, hikmah dari uraian sidekick pada contoh-contoh yang terjadi pada superhero, kita nggak perlu kok mencari sidekick hanya untuk mendongkrak karakter kita. Be your self saja. Kalau memang kita ”beda”, tegaskan perbedaan itu dengan menjadi diri sendiri, tidak dengan mempertahankan perbedaan yang semu dengan menjadikan pihak lain sebagai ”sidekick”. Kalau memang tidak bisa bersatu, maka tegaskan perbedaan itu, jadilah hal yang beda, bukan HMI. Kalau memang masing-masing adalah HMI, jangan jadikan pihak lain sebagai sidekick, dan sudahi dualisme ini. Masyarakat Indonesia butuh dikembalikan kepercayaannya pada teman-teman aktivis gerakan mahasiswa, khususnya mahasiswa Islam. Bagaimana masyarakat mau percaya bahwa kita bisa membawa kemajuan umat, kalau masalah dualisme ini tak pernah kunjung diselesaikan. Ketika ada demo yang salah satu-nya rusuh, kemudian pihak lain merasa ”gak fair” dan dijatuhkan nama-nya sebagai sama-sama HMI. Karena masyarakat gak pernah tahu, kenapa harus ada MPO dan Dipo. Sejarah dipelajari untuk menjadikan kita bijak, bukan menjadi egois, mungkin itu cukup menjadi kalimat yang menyudahi tulisan ini karena saya haru menyelesaikan agenda yang lain...hohoho.



*thanx to kak Irvan Setya, udah menginspirasi dengan kisah sidekick masa muda-nya.
* ditulis saat menjelang senja, Tegal, 2011.
Title: SIDEKICK; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: