Pages

Wednesday, December 11, 2013

Orang Kaya Juga Jangan Sakit



Panggil saja beliau dengan nama Bu Sitem. Gurat wajahnya mampu memberikan informasi pada kita tentang sepuhnya usia Bu Sitem. Langkah kakinya tentu sudah tak segesit dulu saat muda. Bu Sitem adalah pemuji sunyi. Hidupnya yang sebatang kara, tanpa sanak saudara, tinggal menumpang di sebuah bangunan pos kamling milik warga. Pagi ini dengan tertatih, ia menghulurkan senyum yang lebar kepadaku. Sedikit obrolan mengabarkan bahwa ia sedang menuju ke klinik untuk berobat. Usia tua membuatn beberapa organ tubuhnya tak sesehat dulu. Terkadang bulan ini ia merasa sesak nafas. Kadang di bulan lain, merasa pusing berkepanjangan. Kadang juga berkeluh tentang kaki atau bagian tubuh yang lain.

Lain lagi dengan kisah Kiki (bukan nama sebenarnya). Gadis berusia belasan tahun yang sudah beberapa hari tak mampu menggerakan jemari tangannya. Hampir kesepuluh jarinya itu seolah menempel satu sama lain. Hal itu terjadi setelah berminggu-minggu ia mengalami penyakit kulit, gatal-gatal yang sangat menyiksa. Bukan hanya jari tangannya yang terluka tapi juga beberapa bagian tubuh lain. Sanitasi yang buruk serta kebiasaan yang kurang sehat membuatnya terjangkit penyakit kulit tersebut. Bukan hanya Kiki, bahkan beberapa anggota keluarganya juga terserang hal yang sama meski beda tingkat keparahannya.

Bu Sitem, Kiki, adalah salah dua diantara sekian ratus dari pasien klinik kami. Bu Sitem mewakili beberapa orang lain yang juga “pasien tetap”. Biasanya pasien kategori ini termasuk mereka yang sudah berusia lanjut. Kiki mewakili para pasien dengan beberapa penyakit khusus. Tak jarang juga kami harus merujuk pasien ke rumah sakit daerah. Diantara sekian banyak pasien yang datang setiap harinya, ada satu kesamaan yang membuat mereka mempercayakan upaya pengobatan disini, yakni karena tidak dipungut biaya alias gratis.

Sekira dua tahun silam, saat klinik ini resmi menghilangkan aturan tarif berobat, berduyun-duyun masyarakat datang. Grafik tingkat kunjungan pasien pun beranjak naik. Ketika dibilang : “maksudnya kau senang jika orang sakit itu bertambah banyak jumlahnya ya?” . Oh, bukan. Tentu saja kita semua menginginkan tak ada orang sakit. Tapi sakit adalah sebuah siklus dari sebuah kondisi fisik. Lagipula, layanan pengobatan itu bukan untuk menyembuhkan tetapi untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Jadi, ketika jumlah pasien bertambah, kami hanya berpikir bahwa itu berarti tingkat kebermanfaatan dari klinik ini bertambah. Jika dulu orang sakit harus berpikir untuk merogoh dompet lebih dalam, kini yang perlu dipikirkan pertama kali adalah yang penting bagaimana mereka mau sehat. Tubuh yang sehat tentu akan menjadi faktor pendukung tiap orang untuk berkarya, bekerja.

Maka, sebuah fakta pun datang kepada benak ini. Bahwa banyak sekali orang tak bisa mendapatkan akses kesehatan dengan baik. Pun ada jamkesmas. Kesehatan adalah barang mahal. Tak terjangkau.

Klinik dengan layanan berobat gratis. Tentu saja kata gratis ini hanya untuk pasien. Adapun hal selain itu tetap membutuhkan biaya. Jasa dokter tak boleh gratis. Obat tak bisa ada yang gratis. Setiap dokter jaga mendapat haknya dengan diberikan apresiasi seperti rata-rata klinik di kota ini meski tak begitu besar.

Maka, ketika suatu pagi ada sebuah pesan pendek dari seorang dokter yang menanyakan status libur karena ada agenda “solidaritas”, sepertinya itu sudah diluar kepatutan. Sebuah pertanyaan besar, ketika profesi dokter kok malah mogok.

Tapi coretan ini tak ingin mengulas masalah mogok. Terlalu sakit rasanya ketika dokter harus dibentur-benturkan dengan pasien. Tak elok polemik seperti itu terjadi. Tak ada orang yang ingin sakit, jadi tak  perlu  ada kata-kata : “tak butuh dokter”.

Ini hanya klinik kecil di sebuah kecamatan, Purwokerto Utara. Kunjungan pasiennya sekitar 400an pasien tiap bulannya. Membuka jasa pelayanan dari pagi jam 7 pagi hingga jam 9 petang. Dalam perjalanannya, memberikan layanan  akses  kesehatan  gratis itu memang tak mudah. Tidak semua tenaga kesehatan siap untuk terjun melayani kesehatan masyarakat, tak  banyak perawat yang “bertahan lama”. Tiap beberapa bulan kami perlu merekrut tenaga perawat baru. Hal yang tak jauh berbeda juga terjadi pada dokter. Saat ini, klinik ini didukung oleh dua orang perawat dan sebelas orang dokter. Formasi itu tidak semuanya tetap. Di beberapa bulan sekali, selalu ada perawat atau dokter  yang resign dari klinik dengan berbagai macam faktor.

Kalau mengingat tentang  betapa rumitnya pengelolaan sebuah lembaga layanan kesehatan, saya menjadi mafhum persoalan kesehatan secara umum di negara ini. Terlalu banyak hal yang membuat kening berkerut.  Selain permasalahan tenaga kesehatan, juga terkait dengan obat-obatan. Belum lagi kalau ada kasus serius yang harus dirujuk. Baru beberapa bulan ini kami dapat mengusahakan sebuah ambulance, gratis untuk masyarakat.

Terkait persediaan obat-obatan, pernah juga suatu hari saya tak habis piker dengan permasalahan “relasi” pada sebuah perusahaan farmasi. Karena hubungan dekat sang mantan pengelola klinik, kami diharuskan meneruskan kerjasama dengan sebuah perusahaan farmasi yang itu lokasinya di luar kota. Ada kendala jarak dan waktu padahal obat-obatan termasuk kebutuhan yang urgent. Akhirnya diambil keputusan untuk mengalihkan kerjasama pengadaan obat-obatan. Tentu saja dengan resiko yang tak kecil, seperti cercaan, makian, dan lain-lain. Tapi, sekali lagi ketika program layanan kesehatan ini dimunculkan, hal pertama yang harus selalu jadi pertimbangan adalah masyarakat yang membutuhkan akses pelayanan kesehatan. Kesejahteraan tenaga kesehatan itu penting, networking dengan penyedia kebutuhan obat dan alat-alat kesehatan itu juga penting, pendanaan operasional program juga penting, tapi diatas semua itu yang terpenting adalah : pelayanan kepada masyarakat.

Jadi, sedangkal pemahaman saya, segala permasalahan di dunia kesehatan kita akan selalu ada dan itu perlu proses yang panjang. Hanya saja ketika semua unsur sama-sama mendahulukan kepentingan masyarakat/kepentingan pasien, saya rasa semua bisa dijalani dengan baik. Dokter dan tenaga kesehatan ingin sejahtera, ingin terjamin, ingin nyaman itu wajar, manusiawi. Perusahaan farmasi ingin mendapatkan untung, itu memang terjadi dan “logis” dalam sudut pandang bisnis. Maka  memang butuh orang-orang yang masih memelihara empati dan akal sehat untuk melakukan pengelolaan itu. Seperti misalnya, jika di ibukota belasan rumah sakit mundur dari program sehat gratis yang dicanangkan pak Jokowi, itu memang terjadi karena  tidak semua orang  benar-benar mendahulukan kepentingan kesehatan rakyat.

Meski tak terlalu simpati dengan pemilik jargon “turun tangan”, saya rasa dalam konteks ini kita memang benar-benar perlu turun tangan dan bukan untuk saling tunjuk siapa  yang  salah. Bahwa sistem kita masih bobrok, iya. Bahwa semua butuh dana, itu jelas. Tapi lagi-lagi yang penting bagaimana kita dapat memposisikan kebutuhan rakyat atas akses kesehatan sebagai prioritas pertama. Persoalan lain-lain bisa diusahakan. Sehingga nantinya, kalimat “orang  miskin jangan sakit” itu bukan karena susahnya akses  pelayanan kesehatan, tetapi  lebih karena kesadaran atas pentingnya menjaga kesehatan. Maka, bukan hanya orang miskin saja yang tak boleh sakit, orang kaya pun jangan sakit karena pelayanan kesehatan sebenarnya tidak boleh membedakan seperti itu. Ya, setidaknya orang kaya tak boleh sakit karena uang mereka harusnya bisa buat bantu banyak orang sakit yang tak punya uang. Seperti kalimat “bujukan” kami kepada para donator : “Daripada uang habis untuk berobat ketika sakit, lebih baik cegah sakit anda dengan menghabiskan uang anda untuk bersedekah, insya Allah barokah” .. :D

Purwokerto, 11 Desember 2013
Entah tulisan ini sangat tidak sistematis, sekadar berbagi saja dengan yang lain. Semoga bermanfaat.


Note : Klinik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Klinik Mafaza Peduli Ummat, yang merupakan salah satu sub program dari divisi kesehatan Lazis Mafaza Peduli Ummat. Program layanan berobat gratis ini sudah hampir dua tahun terlaksana. Sebelumnya kami masih memberikan tarif  berobat. Selain layanan tetap yang buka setiap hari, juga ada program-program yang turun langsung ke masyarakat.  Nuwun. 

Tulisan ini selain untuk postingan pribadi juga diikutertakan pada lomba blog dengan tema yang diselenggarakan oleh Forum Peduli Kesehatan Rakyat 

Title: Orang Kaya Juga Jangan Sakit; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: