Prologue : Gerbang perbatasan terlewati saat matahari lewat dari sudut tegak lurus dengan bumi. Perjalanan kali ini agak kesiangan. Ditengah menangani padatnya aktivitas lain, kabar dari saudara tetanga mengelitik kaki kami untuk beranjak kesana. Gelitikan itu sudah tak tertahan, hingga seselesai bakti sosial di salah satu desa di Ajibarang, malam harinya kami mengambil keputusan untuk berangkat. Ajakan tak terduga jua dari lembaga lain untuk melakukan sinergis gerakan. Kebetulan, batin kami, meski percaya bahwa tiada yang kebetulan di dunia ini.
Tujuan kali ini adalah kecamatan Sidareja-Cilacap. Jika kita sering menyebut akronim “barlingmascakeb”, maka Cilacap sudah pasti tercakup didalamnya. Atau kadang kita menyebut wilayah “Banyumas raya” itu memaksudkan area dimana Cilacap juga menjadi satu bagian teritori yang tak berbeda.
“...sejak tahun 2005, banjir tahun ini terbilang yang cukup parah...”
Begitu salah satu petikan kalimat yang diungkapkan oleh pak Agus, dari BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Cilacap, saat kami wawancarai , Senin (26/11) kemarin. Ditengah kesibukannya menangani para pengungsi, pak Agus masih menyambut hangat kami dengan beberapa diskusi yang menarik tentang perkembangan kondisi di lokasi banjir Sidareja, Cilacap.
Gurat lelah jelas terlihat dari garis wajah pak Agus. Suara yang serak dan hampir hilang seolah menginformasikan bagaimana perjuangan untuk melakukan koordinasi penanganan bencana yang sudah beliau jalani dari sekitar hari Jumat (23/11) yang lalu.
Titik posko terpadu menjadi pijakan sebelum kemudian kami beranjak mengunjungi area lain yang hingga hari keempat masih banyak yang tergenang banjir. Hari keempat genanan banjir memang tidak semencekam seperti hari-hari sebelumnya. Tawa canda anak-anak dan beberapa warga sudah mulai terlihat di sela-sela gerlak riak air keruh kecoklatan.