Pages

Tuesday, August 28, 2012

Belajar Ber-Idul Fitri ("Reinkarnasi")


#catatan Idul Fitri

Belajar Ber-Idul Fitri
“Berhariraya itu gampang. Tapi beridulfitri susah bukan main!” (Emha Ainun Najib)


Mungkin tak habis kosakata yang bisa kita lontarkan ketika mendengar kata idul fitri atau "lebaran". Istilah terakhir tentunya hanya dikenal di Indonesia.  Orang Jawa beranggapan istilah “lebaran” berasal dari ungkapan bahasa Jawa “wis bar (sudah selesai)”, maksudnya sudah selesai menjalankan ibadah puasa. Kata “bar” sendiri adalah bentuk pendek dari kata “lebar” yang artinya “selesai”. Bahasa Jawa memang suka memberikan akhiran “an” untuk suatu kata kerja.Apa saja yang dapat diingat ketika hari raya satu syawal ini? Ketupat, opor ayam, keluarga, baju baru, pulang kampung, THR, arus mudik-balik, nyadran (silaturahmi), kue lebaran, kembang api, bedug, charity, dan banyak hal-hal lainnya. Tentu saja ada yang positif dan ada yang negatif, tingginya angka kecelakaan tentu saja tidak bisa dielakkan sebagai fakta yang juga turut hadir di moment hari raya umat Islam ini. Kalau kemudian di hari-hari lain kita punya banyak hari yang dijadikan moment, mungkin lebaran menjadi gabungan dari semua perayaan itu. Hari kasih sayang? hari ibu? hari keluarga? hari penuh cinta? dan momentum hari-hari berkesan lainnya , semua ternyata dapat kita temukan dalam satu tanggal di satu syawal. Satu syawal yang menjadi moment berkumpul, berkasih sayang, bermaaf-maafan, dan sebagainya.

Mengutip kata-kata cak nun, berhari raya itu mudah namun beridul fitri itu sulitnya minta ampun. Statement yang jadi sebuah refleksi bagi pribadi, sudah sejauh mana saya beridul fitri???!!

Tentang Episode Terakhir 

Maka entah kenapa ada sebentuk rasa aneh yang membuncah saat adzan maghrib pun bergema sebagai tanda akhir dari sebuah hari di 29Romadhon. Ada yang menelusup.., disini.., di satu sudut hati, yang tak terjangkau dengan frasa apapun. Sedikit haru menelusup, seberkas sesak menyusup saat dari balik studio kuputarkan beberapa track takbiran. Angin gunung yang menusuk tulang seperti bernotasi mengiringi tiap ungkap puji dan takbir pada Sang Pelukis Malam.


Teringat bilangan  tak genap tiga puluh hari kebelakang.  Ratusan rokaat tarawih yang terdirikan entah dengan keniatan penuh ataupun terkadang dengan sisa kelelahan dan bercampur kantuk. Tadarus yang sudah sangat random. Mungkin lebih banyak ayat  yang didiskusikan daripada  benar-benar dibaca hingga selesai. Ah, Tuhan, akal ini memang lebih banyak menghamburkan kesombongan. Sedekah  yang  tak seberapa besarnya. Serta aktivitas ibadah lain yang semestinya bisa lebih dimaksimalkan dengan fasilitas romadhon, tapi terkadang bertemu abai. Dan sekarang, harus rela bahwa peluit sudah ditiup, waktu sudah habis. Tak ada jaminan nafas ini bisa terpanjangkan hingga romadhon depan. 

Cita-cita kehidupan itu sebenarnya satu, khusnul khotimah. Sebuah  akhir yang baik.  Sebuah ending yang indah. Dan itu memang tidak dapat secara serta merta.

“  Khusnul khotimah itu adalah bagian sebuah proses, bukan semata hasil. Untuk mendapat akhir yang baik tentu saja itu bukan serta merta. Akhir itu tergantung awal dan proses. Dan jangan dianggap kita  dapat merekayasa akhir”  (nukilan diskusi dengan salah satu senior di satu senja terakhir di akhir romadhon).

...Puasa itu bukan untuk menunggu buka. Bukan seperti anak SMA yang berangkat sekolah hanya untuk menunggu bel pulang. Bukan seperti para karyawan yang berangkat untuk menunggu jam pulang. Puasa adalah melakoni peran dalam kondisi diri kita terkontrol. Puasa itu adalah hakikat hidup yang sebenarnya. Kalau kata seorang teman : "urip iku mampir poso, dudu mung mampir ngombe"...

Dan tahun ini sudah cukup diniatkan untuk bagaimana belajar ber-idul fitri. Agak berbeda karena pagi satu syawal kemarin aku tak di rumah. Aku tak di tempat dimana aku dilahirkan. Bahkan malam lebaran sendirian di kosan, batal untuk keliling takbiran karena tak kuat dengan dingin yang semakin menggigit. Selepas virus flu pergi, dengan daya tahan tubuh yang masih lemah, rinitis alergi ku akhirnya kumat lagi. Hampir dua pekan menjadi "anak ingusan". Maka demi bisa sholat idul fitri dengan khusyuk di keesokan harinya, aku putuskan untuk membatalkan feature takbiran dan memilih istirahat penuh. Takbiran di studio radio dan di kosan, sendirian! nggak pernah kebayang.

Tapi, idul fitri menurutku bukan pada bentuk perayaannya, tapi bagaimana kemudian kita memaknainya.

Fajar satu syawal selalu menjadi fajar yang syahdu. Dulu ayahku pernah bilang seperti ini : "nak, kau lihatlah pucuk pohon yang paling tinggi, dan lihatlah seperti apa khusyuknya angin pagi idul fitri menyentuhnya. Kalau ada syahdu disana, itulah idul fitri". Jadi, jarang sekali Idul Fitri malah mendung dan ada badai. Entah, sependek usia dan pengetahuan saya, belum pernah melihat badai idul fitri. Indah bukan? fitri, suci.

Kalau ada tempat paling diinginkan untuk kembali, mungkin saya memillih untuk bisa kembali berlindung didalam rahim ibunda. Suatu hal yang tidak mungkin terjadi. Namun, ada moment idul fitri dimana kita seperti dilahirkan suci kembali? bukankah romadhon itu bak sebuah rahim tempat kita untuk mengingat janji dan mempersiapkan diri masuk ke dalam gempitanya dunia? Itulah kenapa romadhon selalu dirindukan. Kehangatannya yang membuat jarak kita dengan Tuhan tak berjeda, mengingatkan kita pada masa dimana masih meringkuk hangat di sebuah tempat bernama rahim. Dilahirkan kembali, itulah idul fitri.

Kalau tahun-tahun sebelumnya dirumah, pagi satu syawal itu selalu menjadi pagi yang sibuk. Entah itu sekedar masalah antri kamar mandi (karena keluarga besar kumpul , jumlah orang dan jumlah kamar mandi tidak sepadan), setrika baju, sampe masalah tikar mana yang akan dibawa, hiruk pikuknya sangat terasa. *smile*.

Namun tahun ini saya berkesempatan untuk menikmati hiruk pikuk yang lain. Alun-alun Purwokerto agak berbeda suasananya di pagi satu syawal. Ribuan umat Islam dengan pakaian terindahnya berbondong-bondong berkumpul disana. Setelah mampir ke studio, saya melajukan motor dengan sangat santai menuju alun-alun. Berangkat sholat ied sendirian??ah.., saya selalu punya celah untuk merasakan keramaian makna di kesendirian. Sekedar menyapa dan berbincang dengan seorang ibu penjual koran bekas. Sekedar menyalami dan memeluk erat seorang ibu sebelahku yang cukup skeptis menyindir sambutan bupati sebelum sholat dimulai. Sekedar mengulum senyum saat bupati menyinggung-nyinggung tentang pilkada 2013 di sambutannya. Sekedar bertegur sapa dengan beberapa jurnalis yang masih sigap bertugas disaat liburan.

Ketupat dan opor ayam tahun ini pun so simple. Masakan racikan ibu kos, berkumpul bersama satu keluarga kecil di sebuah ruang makan dengan segala bentuk cerita.

Ibu bilang : "kalau nggak ada mbak shinta, mungkin makan ketupatnya nggak ngumpul seperti ini". Hemmhh.., entah saya tak tau apa maksudnya. Semoga bukan kesungkanan atas hadirnya saya sehingga mereka semua berlebaran di satu meja makan yang sama. Berbagai celoteh cerita pun meriak. Dari mulai masakan nenek yang entah dicampur apa sehingga bikin ketagihan sampai cerita si bungsu yang begitu peka dengan pintu depan semenjak kejadian penjambretan beberapa tahun silam. FYI, selama ini aku adalah anak kos yang "cuek". Aku jarang menyempatkan diri untuk sekedar berkumpul di ruang tengah dan menonton tv bersama keluarga ibu kos. Waktuku hampir habis diluar, di jalanan, di radio, di berbagai forum yang kadang hanya menyisakan gurat kelelahan ketika sampai kamar kos. Maka, menjadi bagian keluarga ini dengan sesungguhnya di idul fitri bagi saya menjadi moment tersendiri.

Idul Fitri itu memaknai berbagai bentuk kedekatan yang kerap kita abaikan dalam keseharian.

Jalanan yang cukup lengang di satu syawal tak berhasil memaksa saya menaikan kecepatan sepeda motor saat perjalanan ke Tegal, kota kelahiran. Menikmati jalur yang biasanya penuh sesak itu, melintasi beberapa desa dan kecamatan yang ada di perbatasan Banyumas dan Brebes. Menyaksikan usaha pemerintah untuk memperbaiki fasilitas jalan raya yang selalu menjadi tema akut. Terkadang beberapa riak ketidaksabaran terlihat dari bisingnya klakson saat sudah masuk area macet di Bumiayu.

Idul Fitri adalah merefleksi sebuah perjalanan yang sudah dan akan kita jalani.
 
Keluarga adalah harta paling berharga. Setuju tidak setuju, saya pasti setuju. Dengan segala cerita yang baik ataupun buruk tetap kita terima dengan segala rasa penerimaan yang berlimpah. Jika ada hierarkri, mungkin keluarga menempati posisi kedua sekaligus pertama dalam doa kita. Lindungilah aku dan keluargaku dari siksa api neraka. Aku--kita-- dan keluargaku--kita--, adalah satu ikatan yang tak pernah bisa terlepas. Pun ketika nafas ini sudah tak berhembus, salah satu tali yang masih menghubungkan sebuah amalan adalah doa seorang anak untuk kedua orang tuanya.

Belajar tentang satu kata "keluarga", aku memahami bahwa "tak ada yang benar-benar selesai di dunia ini, bahkan ketika ada jeda lini massa yang berjuta-juta tahun lamanya semua adalah koma dan konjungsi, titik adalah ketika Tuhan berkehendak untuk menyudahi segala kehidupan ini melalui pertanda tiupan sangkakala". Tak ada tali terputus dalam satu kata "keluarga", tentu saja bagi mereka yang benar-benar memahami arti pentingnya ikatan suci tersebut.

Seperti kita dilahirkan kembali dari rahim ibu, seperti kita mengingat kembali bahwa kehadiran kita di bumi ini juga dikarenakan ada orang-orang terdekat yang kita sebut dengan keluarga, dan itulah Idul Fitri. Kita lahir kembali, kita mengenal kata keluarga.

So, siapapun dan bagaimanapun mereka yang masih termasuk dalam lingkaran keluarga, sebutlah namanya selalu dalam doa. Entah itu masih ada ataupun sudah meninggal, saya rasa tetap semua masih punya porsi di tiap doa kita. Seperti ziarah kubur, bercengkerama dengan anggota keluarga, jalan-jalan bersama adik, keponakan, sharing session. Bukan sebuah hal yang "wajib" memang, tapi bagi saya tiap aktivitas pada moment yang berkaitan dengan keluarga pasti ada nilai pelajaran yang bisa diambil.

Karena tahun ini tak berencana mudik dalam waktu lama, maka sengaja tidak banyak membuat janji-janji untuk berkumpul. Dan memang saya termasuk orang yang tak pernah sempat datang di acara reunian semenjak enam tahun lalu lepas dari bangku SMA. Padahal letak sekolahanku itu hanya sepelemparan batu dari rumah.  Tapi saya punya cara lain untuk bisa memaknai masa-masa putih abu-abu. Tak pernah sempat datang reunian, tapi silaturahmi tetap coba dijalin. Termasuk dengan menjadi perawan di sarang buronan, berkumpul dengan beberapa teman sambil menikmati teh poci asli tegal dan mendoan hangat serta kelezatan lengko. Teman saya menyebutnya "KKN" (Kuliah Kapyuk Nyata) karena berlokasi di lesehan kapyuk. hahaha. Tema-tema sederhana hingga filosofis mewarnai obrolan-obrolan bermakna (walau sedikit gila) malam itu. Terimakasih teman-teman, rock you!! :D

Berbagi kisah dengan sahabat, menjadi moment yang juga tak dilewatkan. Tanpa perencanaan yang berarti. Hanya minta ditemani buka puasa di sebuah rumah makan taman, eh ternyata menjadi sharing session yang cukup bermakna. Itulah sahabat. Termasuk menyempatkan diri berkelana ke desa di daerah perbatasan Slawi-Brebes, bersilaturahmi ke seorang penulis cerita anak yang selalu keren, mas Ali Muakhir. Meski (sangat) telat, aku agak menikmati perjalanan menuju rumah pak Manten itu. Cukup surprise juga ketika tepat maghrib diajak ketemu oleh seorang penulis (lagi), kali ini cerpenis nasional, seorang bapak yang selalu muda, mas Kef a.k.a Kurnia Effendi. Tanpa perencanaan sebelumnya, hari Rabu kemarin dapat bersilaturahmi dengan beliau-beliau. Meski hanya sebentar (saya terjebak banyak kemacetan, belum menguasai jalanan di kabupaten Tegal), tapi lumayan berkesan. *salah mas Kef juga ngasih taunya ndadak..(kok jadi nyalahin orang yak??hehe)*.

Tak lama tapi juga tak bisa disebut sebentar, lebih dari tiga hari saya habiskan waktu di kota kelahiran. Bagi saya, berkumpul dengan keluarga itu tak bisa diukur dari banyak-sedikitnya waktu yang tersedia, tapi bagaimana waktu yang ada dapat berkualitas. Dari sudut pandang lain, kita tak bisa juga larut dalam euforia liburan yang kadang membuat otot dan saraf otak kita kaku untuk bisa kembali beraktivitas. Life must go on. Kembali mengedit dan menyusun rajutan mimpi yang ada. Bagian terindah dalam mimpi adalah saat kita menikmati masa-masa/proses untuk mewujudkannya, sehingga apapun hasilnya kita akan menghargainya.

Idul Fitri dapat menjadi starting point yang hebat untuk rangkaian titik hebat yang bertebaran dalam rentang waktu hidup kita. Terlahir kembali, dengan semangat yang luar biasa.

Lima syawal pagi hari, saat rembulan bergeser berganti tugas dengan sang mentari, tubuh ini sudah terguncang pelan diatas motor dalam perjalanan ke selatan. Melintasi retas jalan beraspal dengan aroma khas teh tegal diiringi simponi pagi para buruh pabrik. Melintasi kemerisik hutan-hutan di wilayah Balapulang.

Nampaknya para pemudik pun banyak yang berpikiran sama untuk memanfaatkan kelengangan pagi hari untuk melakukan perjalanan . Di suasana lebaran dimana mobilisasi masyarakat cukup tinggi seperti ini memang kehati-hatian dalam berkendaraan perlu ditingkatkan. Kuncinya itu sabar dan konsentrasi. Kadang jalanan memang membuat kita seolah terbang dan ingin meluncur secepat kilat. Beberapa adegan salip-menyalip tak terelakan. Adegan yang kadang berlanjut dengan sebuah kejadian tragis. Seperti kejadian yang saya jumpai di bilangan desa Jatilawang, Margasari. Belum genap satu jam perjalanan, saya terpaksa memelankan kendaraan demi melihat sebentuk tubuh yang sedang dikerubungi beberapa orang. Dari belakang saya hanya melihat bus Kurnia dan sebuah sepeda motor serta pengendara sepeda motor yang nampaknya terpental jatuh. Namun ketika sudah sampai bagian depan bus, saya terkaget-kaget ketika melihat sebuah mobil minibus yang ringsek bagian depannya. Kaca bus pun tampak retak. Kondisi penumpang mobil yang sekarat, membuat saya akhirnya memarkir kendaraan dan bergegas mendekat. Saat itu belum banyak orang. Polisi belum nampak, paramedis pun tak kunjung tiba. Saya mencoba membantu menghubungi pihak berwajib, sempat juga menghubungi beberapa teman jurnalis yang berwilayah tugas disitu. Seorang korban anak kecil berusia 9tahun nampak gemetar kebingungan dengan mulut penuh darah. Tak ada yang benar-benar tega melihat kondisi sopir mobil dalam nafas yang pendek-pendek. Tak banyak yang bisa saya lakukan, ketika kerumunan sudah ramai, saya mundur dan melanjutkan perjalanan. Malam harinya, saya melihat update berita kecelakaan tersebut, dua orang akhirnya meninggal dunia. Innalillah.

Tiap saya akan bepergian jauh saya berpikir mungkin saja saya akan menemui ajal di perjalanan ini, mungkin saja saya kecelakaan. Tapi, ajal itu kan takdir, itu urusan Tuhan, sedangkan manusia berkewajiban untuk menentukan pilihan serta mengoptimalkan usaha. Maka sholat sunnah safar pagi itu sebelum saya berangkat ke Purwokerto, saya bilang : "Tuhan, wilayah kerja saya adalah berhati-hati di jalan, sabar dan konsentrasi. Masalah kematian saya yakin Kau punya skenario terbaik bagi tiap hambaNya".

Apa yang terlintas dalam benak para korban kecelakaan. Adakah terbayangkan kegembiraan perayaan lebaran akan tiba-tiba berubah menjadi sakit dan tangis? Ah, apakah kita juga akan terbayangkan bahwa idul fitri tahun depan masih mendapatkan kesempatan untuk belajar memaknainya? Apakah silaturahmi yang coba disambung di tahun ini akan dapat diperbaiki di momentum idul fitri tahun depan? Sekali lagi, wilayah kerja kita adalah untuk memilih, berkehendak, dan berusaha. Takdir itu untuk diyakini, bukan untuk diamalkan.

Idul Fitri adalah "reinkarnasi" tanpa adanya kematian terlebih dahulu dan pada tubuh yang sama hanya berubah usia saja, kelahiran tanpa kematian. Kelahiran yang mungkin akan disambung dengan kelahiran baru berikutnya, terus hingga pada satu titik kematian. Syukur kepadaNya, bahwa kita diberi kesempatan beberapa kelahiran untuk memproses diri menuju sebuah akhir yang disebut dengan kematian.

Ketika ada pertanyaan : "jika dilahirkan kembali, kau ingin menjadi apa?", menjadi insan yang selalu meningkat kualitas ketaqwaannya, menjadi sosok yang berbeda dengan pembedanya adalah kondisi ketaqwaan. Manusia adalah wujud jasadiyahnya, namun manusia yang seperti apa itulah yang bisa kita maknai di setiap momentum kelahiran kembali pada Idul Fitri. Akhirnya, usia hanyalah soal angka dan persepsi dunia, sedangkan ketika kita mereinkarnasi diri menjadi pribadi yang lebih baik saat itulah kita akan selalu menjadi manusia baru. Selamat atas kelahiran manusia-manusia suci di idul fitri ini, selamat bereinkarnasi!

Terimakasih Tuhan yang telah memberikan saya kesempatan untuk belajar ber-Idul Fitri tahun ini, dan bukan hanya berhari raya.

The last but not the least, saya mengucapkan Selamat Idul Fitri 1433 H, taqabalallahu minna wa minkum, semoga tiap ruas aktivitas ibadah kita mendapat apresiasi luar biasa dari Yang Maha Kuasa. Adanya kesalahan selama kita berinteraksi, yang sudah maupun yang akan semoga bisa saling kita maafkan dan saling mengingatkan dalam kebaikan.



Purwokerto, 10 Syawal 1433.  Catatan sederhana ini sebenarnya sudah ditulis sejak masih mudik, menemani moment-moment dini hari, akhirnya selesai juga tadi pagi.. :D


 "Catatan tambahan : Beberapa pendapat memang mengatakan bahwa memaknai idul fitri sebagai moment kembali kesucian adalah sebuah hal yang salah kaprah, ini merujuk pada morfologi kata "fithr" yang berasal dari kata “fathara” yang dikembangkan sebagai kata kerja intransitif (kata kerja yang tidak membutuhkan objek). Huruf fa- dari fathara tersebut dikasrohkan. Hingga akhirnya, fitri ini terkenal dimaknai dengan padanan kata “berbuka”. Namun ada juga pandangan lain dari sudut semantik dan pragmatiknya bahwa kata dalam bahasa Arab memiliki definisi yg banyak tergantung pada konteksnya. فطرة (fitrah) bisa diartikan ghariizah (insting), bidaa ‘iyah (primitif), kholq (penciptaan), ibdaa’ (ciptaan), diin (agama), sunnah. Misalkan ayat “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada diin; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Diin yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”(30:30) Yang dimaksud fitrah disini menurut Ibnu Katsir adalah Diin (agama). Begitupun dengan فطريّ fitri bisa diartikan thobiy’iyy (natural), kholqiyy (alami), dan bisa bidaaiyy (kurang beradab). Pendapat ini juga dikaitkan dengan hadits “Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan ihtisab, niscaya diampuni baginya dosa yang terdahulu” . Jadi, tidak salah juga mengartikan fitri disini dengan fitrah/ suci, bersih, dsb.
Dan pada catatan sederhana ini, keterangan tentang analogi bahwa seperti bayi yang baru lahir tidak bermaksud memaknainya bahwa ketika idul fitri manusia bersih tanpa dosa. Analogi yang ada tidak bersifat penyamaan kondisi, tetapi lebih kepada perbandingan atau pengibaratan. Adapun pemaknaan-pemaknaan hari raya di satu syawal (yang tersarikan dalam setiap quote diatas) muncul sebagai refleksi beberapa moment-moment yang dialami pribadi oleh penulis. Penjelasan serupa juga pada penggunaan kata "reinkarnasi" yang tentu saja bukan bermaksud merujuk pemahaman yang dikenal pada ajaran agama lain. Lepas dari itu semua, sependek pemahaman saya tidak ada hal prinsipil terkait pemaknaan beberapa kata yang digunakan pada tulisan ini. Keterangan ini saya tambahkan sekedar sebagai penjelas. Wallahu a’lam .Terimakasih..:) (dari berbagai sumber) "


#lebaran-lebaran berat badan saya malah turun..hehe *InfoNggakPenting*.

#Makasih buat semua tokoh baik yang saya sebutkan maupun tak saya sebutkan di tulisan ini. Termasuk beberapa teman yang meng-advice saya buat mudik sehingga saya membatalkan janji nemenin teman-teman yang bertugas di satu syawal, termasuk para panitia romadhon yang tersisa hingga episode terakhir, termasuk yang malem-malem lebaran nelpon, termasuk yang saya kasih ucapan idul fitri tapi belum direply, entah nyampe apa nggak--ucapan yang sebenarnya special tapi tak tampak special karena saya jaim--hehe, temasuk semua-semua yang menyisipkan doa serta nasehat yang membuat idul fitri ini semakin bermakna.

#teruntuk seseorang yang saya tahu bahwa masa yang sedang dijalani sekarang adalah proses-proses mereinkarnasi diri menjadi pribadi yang lebih baik. God Bless u.






Title: Belajar Ber-Idul Fitri ("Reinkarnasi"); Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: