#CEK-Q (Catatan Ekspedisi Kampung Qurban)
"Jangan hanya mau masuk surga sendirian. Mari bangun kampung akhirat dengan banyak tetangga dan saudara yang mengelilingi kita di surga nanti. Maka bagaimana momentum-momentum ibadah yang ada bisa kita optimalkan kebermanfaatannya pada dimensi sosial kemanusiaan. Agar banyak yang tersentuh, agar banyak yang teringat padaNya, agar kita tak sendirian di surga"
Gema adzan Dhuhur sudah habis di kesekian menit saat kami mulai menyusuri sungai Serayu yang selalu syahdu. Tujuan perjalanan kali ini cukup jauh, meski masih dalam satu wilayah kabupaten Banyumas. Sebetulnya ada dua jalur alternatif yang bisa digunakan untuk menuju desa Cikakak, Wangon. Selain menyusuri Serayu bisa juga mengambil jalur alternatif via Ajibarang dan itu lebih ringkas. Hanya saja siang itu kami mengambil jalur untuk memutar via Serayu. Sekitar 1,25 jam akhirnya kami bertemu dengan penunjuk lokasi yang bertuliskan "Masjid Saka Tunggal; Taman Kera". Masjid dan area Saka Tunggal memang cukup dikenal sebagai tempat wisata. Entah apa sebutan yang tepat, wisata religi atau wisata budaya.
Sepelemparan batu dari Balai Desa Cikakak, kita akan menemui pertigaan dan masuk ke dalam jalan desa. Sekira sepuluh menit berkendara santai, kita akan sampai pada lokasi bangunan masjid yang merupakan salah satu masjid tertua di nusantara. Saka / tiang pancangnya konon masih satu kayu dengan masjid Demak, mungkin itu juga kenapa disebut Saka Tunggal.
Sebagai sebuah jejak sejarah dan hasil kebudayaan, Saka Tunggal patut mendapat sebuah apresiasi. Namun, agak canggung lisan ini berkata dengan menyebutnya sebagai sebuah masjid. Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada warga sekitar Saka Tunggal, ada banyak pertanyaan terbersit tentang hidupnya sebuah masjid, sebuah rumah ibadah, rumah Allah. Tak ada majelis-majelis ilmu disana, kyai ataupun ulama yang ada adalah para juru kunci yang itu dilakoni melalui garis keturunan. Bahkan tak genap lima waktu sholat jamaah yang dilaksanakan disana. Lalu, apa arti sebuah masjid? Jika memang pada zaman dahulu kala para sunan itu singgah di Cikakak, maka mungkin fenomena yang terjadi saat ini adalah sebuah stagnansi dakwah. Syiar yang terhenti pada pemuliaan bangunan-bangunan serta pelestarian ritual. Esensi dakwahnya sendiri tak diteruskan. Perjuangan dan kepiawaian walisongo dalam berdakwah toh harusnya tak berhenti hingga beliau-beliau wafat, namun perlu ada estafet esensial dari nilai-nilai keagamaan yang perlu diteruskan. Dengan stagnan pada pelestarian sahaja, sebenarnya secara tidak langsung kita sudah tak bisa menghargai perjuangan para wali. Sependek pemikiran saya yang bodoh ini, hanya bisa membatin "somehow, menurutku bukan yang kayak gini kok yang diinginkan para wali". Entahlah.