Pages

Tuesday, April 05, 2011

JOMBLO DALAM SEBUAH REPORTASE MERAH MUDA




Dunia kampus selalu menjadi dunia yang penuh cerita, bagi mereka yang berkuliah tentunya. Tanpa menafikan bahwa tingkat akses pendidikan tinggi di Negara kita masih terbilang rendah, kampus selalu menjadi ruang-ruang yang penuh kisah indah bagi para penghuninya. Bagi sebagian orang, kampus menjadi tembok tinggi yang membuat jarak dan penghalang bagi masyarakat di sekitarnya. Anak kuliahan dianggap anak-anak yang memiliki “kode bahasa” tertentu yang cenderung njelimet bin ribet untuk dipahami oleh masyarakat awam. Belum lagi dengan visualisasi demonstrasi yang kerap mewarnai layar kaca di rumah kita. Banyak sekali gelar yang akan disandingkan kepada para mahasiswa itu, sebagai intelektual, cendekiawan, hingga demonstran. Tak sedikit pula menyandang gelar borjuis, karena kuliah bagi beberapa kelompok mahasiswa adalah prestise, ke kampus gonta-ganti mobil, ajang mejeng fashion, belum lagi event-event yang mengatasnakaman kebersamaan dari mulai nongkrong di kantin sampai bermalam di villa, itu sudah menjadi adat tak tertulis.

Fakta itu tidak salah, walaupun juga tidak seratus persen benar. Menjadi mahasiswa adalah ”tiket masuk” untuk menggembleng potensi diri. Saat itulah seorang anak manusia tidak dianggap anak-anak lagi namun belum juga bisa dipandang sebagai orang tua. Posisi tawar seorang pemuda banyak dibangun di masa-masa mereka menjadi mahasiswa. Maka tak heran jika kita mendapati banyak jenis organisasi mahasiswa, dari yang bersifat hobi, kerohanian, hingga politik. Nah, beberapa persen dari sekian banyak jumlah mahasiswa memilih ini, lazimnya mereka disebut sebagai aktivis. Entah itu dari BEM, UKM, atau bahkan ormas ekstra kampus. Dan mereka punya dunia yang menarik hingga tak salah jika seorang Zakky Ramadhani mencoba mengangkat satu dari ribuan kisah yang ada di dunia aktivis mahasiswa.


Cinta kembali menjadi pilihan tema yang diangkat oleh Zakky dalam novel ”Semester Disaster (Cerita Mahasiswa Konyol)” ini. Kenapa dibilang ”kembali”? Entah sudah berapa juta bahkan milyar novel yang mengangkat cinta sebagai tema utamanya. Tidak salah memang, karena cinta selalu menjadi bahan yang sedap untuk dibicarakan dan menjadi komoditas paling laris untuk dipasarkan. Bahasa cinta yang universal membuat tema ini mudah diterima oleh siapa saja.

Egi memulai kisahnya dengan menceritakan awal perkenalannya dengan seorang kawan yang kemudian menjadi sahabatnya. Permulaan yang menarik dari sebuah novel bergenre komedí ini. Tak banyak novel yang memulai kisahnya dengan memperkenalkan orang lain yang bukan menjadi tokoh utama dalam novel ini (walaupun ada, tapi tak banyak).  Kita akan terbius dengan sosok “anda” ini, walaupun pada pertengahan kisah , tetap Egi yang memegang kendali alur cerita. Berbicara tentang alur, kisah dalam novel ini menggunakan alur maju yang membuat pembaca mudah untuk mengikuti cerita yang disuguhkan.

Egi adalah salah satu contoh aktivis kampus yang memilih untuk mengaktualisasikan dirinya di unit kegiatan Pers Mahasiswa. Bakat menulisnya yang terpendam membuatnya menjadi sosok yang cukup diperhitungkan sebagai seorang aktivis pers. Mungkin hanya satu yang kemudian menjadi momok bagi seorang Egi, yaitu kenyataan bahwa ia masih  Jomblo! Ya, jomblo, dari kata inilah kemudian kisah ini mengalir. Dari mulai filosofi jomblo itu sendiri, ketertarikan kepada gadis kampus aktivis taekwondo, sampai proses pedekate yang mungkin bikin geregetan pembaca karena rada garing.hehe.

Tapi saya rasa justru disini letak daya tarik dari novel ini. Gaya garing pedekate ala aktivis, malu-malu monyet yang rada jayus, serta kisah rada heroik seorang pejuang cinta di sela-sela kesibukan meliput berita, menjadi penggerak kisah yang terangkum dalam novel mini ini. Kisah ini terasa lebih renyah dengan gaya bahasa anak muda yang ringan. Pembaca tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan novel ini. Tanpa terasa kita nanti sudah ada di ujung kisah si Egi. Pengemasan novel ini juga tampaknya disajikan dengan santai, seperti tampak pada pemilihan jenis huruf, istilah-istilah yang digunakan hingga penampakan covernya yang minimalis tapi tetap manis.

Dari gaya ceritanya, novel ini juga nampak banyak dipengaruhi novel komedi sejenis milik Raditya Dika (Kambing Jantan, dll). Namun bagi saya, point menarik dan khas dari novel ini  adalah lika-liku aktivis pers kampus yang coba disuguhkan di kisah ini. Membaca novel ini kita mungkin jadi teringat dengan novel Lupus yang pernah menjadi booming di era 90an. Lupus yang dikisahkan juga sebagai wartawan freelance di sebuah surat kabar. Juga novel IPUNGnya Prie GS yang  berkisah tentang wartawan remaja. Dunia seorang jurnalis dengan segala petualangannya memang sangat menarik untuk diangkat, dan seorang Zakky Ramadhani cukup mumpuni untuk mengangkat ide cerita ini.

Hanya saja ada beberapa hal yang mungkin bisa menjadi ganjalan bagi para pembaca novel ini. Entah mungkin disengaja atau tidak, namun absennya halaman daftar isi pada novel ini secara subyektif bagi saya ini hal kecil yang cukup mengganggu. Tidak ada jeda dari halaman awalan novel (pengantar dan terimakasih) ke inti novel, apalagi dengan layout yang sama dari awal hingga akhir. Kemudian pembagian jeda dalam cerita, tiga bab pertama kayaknya bisa dijadikan satu bab kisah yang utuh sehingga pembaca kenyang.

Secara garis besar, ada tiga point kisah yang coba diuraikan dalam novel ini, Egi dan Pers Kampus, Egi dan dunia cinta-nya (jomblo, fifí, dan obrolan tentang pernikahan yang sempat disinggung ^_^) , Egi dan dunia kampus secara umum (dosen, kuliah, teman-teman mahasiswanya, dan lain-lain).  Ketiganya coba dipadupadankan secara seimbang, tapi sayang sekali dengan berat hati saya bisa bilang bahwa takarannya mungkin kurang pas sehingga terasa berat sebelah pada hal percintaan dan itupun belum total. Ya, totalitas cerita belum ada pada novel ini. Semua masih terasa ngambang. Ketika novel ini menekankan comedí dan membuat kita tertawa maka tertawa dari novel ini adalah tawa yang belum puas, ketika kita ingin terbawa oleh semangat tokoh di novel ini , kita belum terbawa dengan kuat. Novel ini belum kuat untuk membawa emosi pembaca. Saya jadi menduga-duga script asli dari novel ini mungkin justru lebih banyak muatan emosionalnya, hanya saja karena proses pengeditan hal-hal yang lain tidak cukup laik diikutsertakan turun cetak. Ada yang terpenggal dalam pengolahan emosi di novel ini, itu saja. Emosi yang diberikan masih setengah-setengah, dibilang lucu masih agak jayus, dibilang romantis, kurang greget menggambarkan suasana perasaannya.

Penguatan emosi dalam cerita, itu menjadi titik point yang membuat novel ini menjadi terasa kurang. Lepas dari itu, sebagai novel pertama dari seorang Zakky Ramadhani saya patut untuk mengangkat topi dan mengacungkan jempol pada kreativitasnya. Sampai detik ini saya pun hanya dapat meresensi dan belum kunjung menelurkan novel (baru mimpi.hehe).

Oke, untuk teman-teman yang ingin tahu dunia pers kampus, novel ini bisa jadi bahan bacaan ringan, untuk mengetahui sekilas dunia persilatan para kuli tinta eh kuli laptop yang kerap kali bikin heboh di kampus itu. Tak berlebihan jika saya merekomendasikan ini untuk teman-teman yang butuh bacaan ringan yang cukup informatif dan menghibur. Selamat untuk kawan saya,  Zakky Ramadhani!




Judul Buku: Semester Disaster
Penulis: Zakky Ramadhani
Penerbit: Bukune
Cetakan: Pertama, Januari 2011
Isi: vii + 185halaman
ISBN:  602-8066-84-2


Title: JOMBLO DALAM SEBUAH REPORTASE MERAH MUDA; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: