Pages

Saturday, December 27, 2008

AGAMA DAN RUANG PEREMPUAN


AGAMA DAN RUANG PEREMPUAN
Oleh : Shinta Ardhiyani U
(naskah ini ditunjukan untuk lomba Essay STAIN Purwokerto thn 2008 dengan tema " Agama dan Kekuasaan)

Seorang reformis dari tanah arab, Qasim Amin (1865-1908), pada abad XIX, dalam bukunya menyatakan sebuah keyakinan bahwa suatu bangsa tidak mungkin bisa berkembang tanpa bantuan dari separuh populasinya, yaitu perempuan.

Lepas dari jenis kelamin, perubahan dalam suatu kelompok masyarakat baik di lingkup kecil, maupun lingkup berbangsa dan negara, peran serta seluruh komponen masyarakat tak bisa dinafikkan. Komposisi pria dan perempuan yang menurut statistik lebih besar pada jumlah perempuan, secara logis membenarkan pernyataan Qasim Amin seperti tersebut diatas.

Fenomena yang ada, perempuan dirasa tidak mendapatkan posisi untuk melakukan optimalisasi peranan-peranannya dalam kancah bermasyarakat. Perempuan masuk ruang publik merupakan suatu hal yang masih jarang. Bahkan , masih menurut Qasim Amin ” Istri dianggap dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai kenikmatan, kaum laki-laki dapat bermain dengannya selama dia inginkan, lalu dapat membuangnya ke jalan kalau dia sudah memutuskan begitu”. Reformis yang orang Mesir keturunan Turki ini sampai menganjurkan agar perempuan melepaskan jilbab, menyerukan pemberian pendidikan yang sama kepada laki-laki dan perempuan, dan meninggalkan poligami yang, menurutnya dapat ditolerir kalau sang istri mandul. Bukan hanya Qasim Amin, ada nama-nama reformis lain seperti Tahar Haddad (1899-1935) yang menyerukan hal yang serupa.
Pembicaraan mengenai hak-hak perempuan seakan-akan selalu bertentangan dengan religiusitas. Norma-norma agama dianggap selalu kontra produktif. Dari mulai perintah berjilbab hingga hukum waris selalu dilihat dari segi yang menyudutkan kaum hawa. Agama seolah-olah mendapatkan tuduhan sebagai biang patriarki yang mendudukan perempuan dalam posisi subordinat. Kemudian muncullah istilah ketidakadilan gender (dalam agama). Qasim Amin yang pengetahuan agamanya tidak diragukan lagi, masalah perempuan adalah juga bagian yang tak terpisah dari doktrin agama, sementara , para feminis kontemporer melihat problem perempuan lebih dari perspektif sosial budaya: perempuan sebagai objek diskriminasi gender yang dibentuk oleh masyarakat dan tradisi. Walaupun Kaum feminis kontemporer, meskipun mereka kerap mencari-cari justifikasi teologis dalam menyokong beberapa pernyataan interpretisnya terhadap masalah perempuan dan peran sosialnya, secara umum mereka “bukanlah ahli” soal agama, katakanlah seperti Qasim Amin yang pengetahuan agamanya tidak disangsikan lagi.

Tidak sepenuhnya salah jika kita memang melihat fenomena yang ada dari satu sudut saja, seperti para kaum feminis tersebut. Sebenarnya, agak enggan saya menggunakan kata feminis atau feminisme. Banyak salah kaprah dalam penggunaan kata itu. Misal, orang-orang timur yang menganggap kaum perempuan barat menjadi bebas karena feminisme. Padahal banyak hak yang masih diperjuangkan oleh kaum perempuan di barat pada abad XX ini. Contohnya seperti di Perancis, yang kaum perempuan baru diberi hak memilih pada bulan Oktober 1945 oleh presiden Jenderal de Gaulle.

Hal yang diperlukan dalam konteks permasalahan ini adalah bagaimana kita dapat mendudukan dengan benar akar permasalahan yang ada. Antara agama dan ketidakadilan gender yang kemudian menjadikan perempuan menjadi ”impoten” dalam melakukan fungsi-fungsinya dalam masyarakat.

Mitos Adam dan Hawa mungkin menjadi salah satu hal yang paling mudah untuk menjadi pijakan pihak-pihak yang mendudukan peran perempuan berseberangan dengan agama. Bahwa cerita yang kita pahami adalah Hawa sebagai penggoda, perempuan merupakan racun dunia – kalo katanya grup musik yang lagi laris The Changcuters. Pewarisan cerita tanpa pewarisan makna.

Pandangan teologis Abrahamic religions memiliki kisah tentang Hawa (perempuan) yang "dituduh" sebagai sumber "dosa asal" karena terbujuk iblis dengan memetik dan makan buah terlarang, danmemberikannya kepada Adam. Sementara kalangan menganggap kisah ini sebagai peminggiran perempuan. Bahkan, sementara pihak menafsirkan bahwa tradisi Kristiani telah mengembangkan kebencian dan kecurigaan pada wanita dalam "doktrin dosa asal"-nya. (Ayu Utami, 2002:12).

Padahal ketika kita mau berfikir mitos tersebut bukan semata-mata dari sudut pandang posisi si Hawa. Menafsirkan sebuah mitos yang juga merupakan sebuah bahasa sastrawi, dimana Agama mengungkapkan maknanya dengan bahasa yang indah. Dimaknai secara sederhana saja, bahwa jika tidak ada skenario Hawa membujuk Adam untuk memakan buah khuldi, maka tak akan pernah ada kehidupan di muka bumi ini. Dengan kata lain, tujuan dari kisah itu, bukan dengan maksud menminggirkan posisi perempuan, melainkan hanya sebagai salah satu alur yang dipilih untuk dijadikan starting point kehidupan di muka bumi. Karena tanpa adanya Hawa yang membujuk Adam, maka mustahil keduanya diturunkan kebumi, dan kita tak pernah mungkin ada saat ini.

Perdebatan seputar ketidakadilan gender dan agama memang selalu menjadi diskursus yang tak kunjung habis bahkan semakin dibicarakan semakin menarik karena dapat memunculkan inovasi perspektif dan wacana-wacana yang baru. Disini ada korelasi yang timbul antara agama dengan munculnya kekuasaan patriarki yang berkembang.

Perempuan dan laki-laki pada dasarnya hanya kategori spesies manusia yang keduanya dianugerahi derajat yang sama, dengan iman taqwa yang membedakan diantaranya. Penafsiran agama yang secara historis mungkin lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki menimbulkan partisipasi perempuan dalam masyarakat cenderung diabaikan. Pada konteks ini, permasalahan yang timbul hanyalah tidak munculnya lateralisasi dalam penafsiran teks-teks agama. Namun jika kita mau menyimak, walaupun dalam wacana, agama sering dianggap melakukan ketidakadilan gender pada perempuan, pada kenyataannya perempuan mendapatkan tempat istimewa. . Paling tidak, dalam perspektif agama Katolik dan Islam, peran itu diakui secara istimewa dalam diri Maria (Maryam) Maria diterima sebagai yang perempuan yang mengandung, melahirkan, mendidik, dan mendewasakan Yesus dengan segala kedewasaan personal, kecerdasan spiritual, dan kemantapan profetik. Bahkan, peranan Maria diakui sedemikian penting dan istimewa dalam karya dan sejarah keselamatan Allah (QS Maryam 19: 18-21). Dalam posisi itu, martabat perempuan telah diangkat tinggi, bukan saja sebagai "citra Allah", tetapi sebagai Bunda Penebus.

Selain Maria, dalam Alkitab ada nama-nama perempuan yang berperan penting dalam sejarah keselamatan, seperti Deborah, Yudith, dan Esther. Dalam perspektif agama, mereka adalah models of very brave and strong women. Bahkan, dalam konteks sosial-politik pada zamannya, they played roles in saving the nation. (Dominic Izhaq, 2001:82)

Dalam sejarah perempuan dan agama, kita mengenal Bunda Theresa dari Calcuta. Dia merupakan simbol perempuan yang menjalin harmoni dengan agama dalam melawan kekerasan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Sebelum Bunda Theresa, di kalangan agama Katolik terdapat para santa yang merelakan hidup dan kekudusan mereka untuk membela iman (dan agama) berhadapan dengan kekerasan budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Dan, agama (Katolik) menerima korban kekerasan itu bukan sebagai pesakitan yang harus dijauhi, melainkan sebagai mutiara, para santa. Dalam tradisi itulah perempuan mendapat posisi sederajat, tanpa subordinasi, kekerasan, marjinalisasi, maupun ketidakadilan dalam agama.

Wacana yang ada, agama selalu didudukkan pada posisi pro partriarkhi. Penciptaan makna agama yang lebih mengukuhkan kekuasaan patriarkhi, sesungguhnya dalam prosesnya terselubung "ideologisme" antara tafsir agama dan konteks kekuasaan kaum laki-laki pada saat itu. Michel Foucault, seorang filsuf posmodernis, menengarai adanya hubungan antara "pengetahuan" dan "kekuasaan" (knowledge and power), yaitu bahwa kekuasaan menentukan pengetahuan, dalam arti: menetapkan tipe-tipe diskursus yang benar dalam arti yang "works"; menetapkan mekanisme yang memungkinkan untuk membedakan proposisi yang benar dan yang salah; menetapkan teknik dan prosedur dalam mencapai kebenaran di atas; menetapkan status dari mereka yang ditugasi untuk mengatakan hal-hal yang dianggap benar. (Foucault: 1980, 131).

Penafsiran agama yang kemudian memperkukuh patriarkhi, sebenarnya merupakan wujud bermainnya ideologi dalam pemaknaan agama. Secara sederhana patriarkhi memang akan sulit dihapus karena itu muncul semenjak masa awal peradaban manusia saat masih berburu dan meramu. Bisa dibayangkan pada kondisi primitif seperti itu, dimana mereka memenuhi kehidupannya mengandalkan kekuatan fisik, sementara perempuan mengalami fase-fase dimana dia harus beristirahat fisiknya (hamil). Maka pada saat itu, jelas laki-laki memiliki porsi yang lebih luas dalam perananna memenuhi kebutuhan hidup. Seiring waktu pemikiran dan zaman berkembang, saat menyadari bahwa kekuatan manusia bukan hanya pada fisik, peran-peran perempuan mulai tampak. Namun untuk menghapus sisa-sisa patriarkhi yang sudah membumi dari dimulainya peradaban, merupakan suatu hal yang sulit. Kemudian justru munculnya agama sebagai pencerahan menjadikan pemikiran terbuka dan mengurangi adanya patriarki yang menjadikan koloanialisasi pada perempuan. Agama justru membunuh keprimitifan patriarki, bukan sebuah pengukuhan seperti yang selama ini diwacanakan.

Maka pendudukan akar masalah yakni bagaimana kemudian kita dapat melakukan pemaknaan agama dengan semestinya dan bukan sebagai ajang bagi ideologi tertentu. Dalam pemaknaan-pemaknaan agama tidak dapat dipisahkan atau bahkan dikontraposisikan dengan kebebasan perempuan. Agama hadir di muka bumi untuk membebaskan perempuan. Ketika muncul pemaknaan bahwa agama vis a vis kebebasan perempuan (dalam artian berkarya), maka perlu dievaluasi pemaknaan agama yang dilakukan. Tidak dengan tendensius, namun dengan mencoba memulai dengan ketulusan untuk membebaskan perempuan dari belenggu budaya yang ada. Hal ini dapat sebagai otokritik pula pada gerakan perempuan, bahwa sebuah gerakan perlu melakukan sinergisitas dengan pemahaman hal-hal lain seperti agama. Aspek-aspek yang ada diluar gerakan sesungguhnya adalah sebuah komponen pendukung, bukan selalu diposisikan untuk vis a vis. Sinergisitas yang muncul antara gerakan agama dan gerakan perempuan akan membawa kepada sebuah perubahan sosial yang berkeadilan. Semoga!

Markas kebebasan, Sumampir-Purwokerto. 22 Desember 2008. 10:50 pm. Di penghujung deadline.

Sumber-sumber :
Muhammad, Husein K.H. 2001. Fiqh Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Jogjakarta : PT.LKiS Pelangi Aksara Jogjakarta.
Muslim pada Agama dan Subordinasi Perempuan, www.lampungpost.com, diakses tanggal 10 Desember 2008.
Assyaukanie, Luthfi. Gerakan Feminisme Arab (Arab Feminist Movement). Source: Jurnal Paramadina, Vol. I No 1, Juli-Desember 1998.


BIODATA PENULIS
Dilahirkan dengan nama lengkap Shinta Ardhiyani Ummi, Tegal 25 Mei 1987. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 Sastra Inggris tahun ketiga di Universitas Jenderal Soedirman-Purwokerto. Menjalani pendidikan dari TK hingga SMA di kota Tegal. Pengalaman kepenulisan diawali menjadi wartawan junior di harian Radar Tegal dan Pekalongan, tercatat sebagai anggota Forum Lingkar Pena (FLP) di Jakarta, Tegal dan Purwokerto, kini diberikan amanah sebagai sekretaris umum Komunitas Sastra Indonesia (KSI) cabang Purwokerto. Saat ini juga sedang menjalani masa-masa indah berkarya di Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI MPO dan menjadi kontributor portal gerakan kaum muda Indonesia www.hminews.com . Artikel-artikel lepas penulis beberapa kali dimuat di harian umum Suara MErdeka, dan lebih banyak melakukan aktivitas menulis melalui blog pribadi www.ntacaholic.co.cc . Prestasi kepenulisan dimulai semenjak penulis duduk di bangku SMA, dengan menjuarai beberapa event-event lomba karya tulis dan essay. Berdomisili di Purwokerto, menempati rumah kos di Jl.A.Jaelani 14 Karangwangkal Purwokerto. Penulis dapat dihubungi di nomor 0812 10 70 1423 / 0281 – 628588 , email / URL : shinta_smansa@yahoo.com / www.ntacaholic.co.cc . Memiliki motto Be Your Self, penulis saat ini sedang merilis buku antologi puisi dan cerpen.

Title: AGAMA DAN RUANG PEREMPUAN; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

1 comment:

el-ferda said...

“Pembicaraan mengenai hak-hak perempuan seakan-akan selalu bertentangan dengan religiusitas”. Ini merupakan ide dasar tulisan kamu. Menurutku yang masih kurang adalah eksplorasi dari sisi normativitas—tentunya dengan berbagai tafsir tertentu—yang bisa menjawab pokok masalah yang kamu ajukan. Saya melihat justru kamu mengalami blunder pada beberapa paragraf awal ketika kamu menyebut masalah kesetaraan gender di Barat yang sebenarnya “baru kemarin sore” muncul. Di sini terlihat kamu ragu untuk menempatkan fokus tulisan kamu. Apakah akan mengkaji dari perspektif agama, misal Islam, atau justru akan mengkaji konsep feminisme versi Islam.

Sampai paragraf akhir saya juga belum menemukan eksplorasi, terkait konsep atau sejarah penindasan dan lain sebagainya untuk kamu analisa secara memadai. Kamu juga belum menjelaskan bagaimana suatu penafsiran tertentu menjadi bias jender. Ya, saya sepakat di sana ada persoalan kuasa/ pengetahuan, versi Faucault, cuma persoalannya bagaimana nalar itu bekerja belum kampu ungkapkan dalam kasus perempuan dan agama ini.

Dua paragraf terakhir justru saya pandang sebagai paragraf eksplorasi. Di sana mulai terlihat bagaimana penindasan terhadap perempuan. Meskipun, kamu masih sering memainkan demagogi-demagogi yang sifatnya retoris dan klise.

Saranku, sistematiskan penulisan dengan membuat—meski abstrak—bagian pendahuluan atau latar belakang, rumusan masalah, analisis, dan kesimpulan guna mengikat makna. Misal, dalam tulisan ku, Pendahuluan, saya membicarakan tentang serpihan berbagai tragika relasi kuasa dengan agama dalam berbagai variasi. Saya beri judul sub bab “serpihan tragika”. Dilanjut kemudian saya memberikan rumusan masalah yang secara lugas saya sampaikan, “Lantas bagaimana seyogyanya kekuasaan dan agama saling menganyam dan memintal hubungan agar tragika tak lagi terjadi dan produktif bagi kemanusiaan?”

Sebelum menjawab rumusan masalah itu, secara mengalir saya memberikan frame of analysis tulisan ini dengan kerangka Foucault dan Acton, dalam judul sub bab “power/ knowledge” dan “power/ corrupt”. Pada sub bab selanjutnya, “prophan/ sacral” merupakan anak tangga menuju kesimpulan. Di sana saya mulai memberikan “rekomendasi” bagaimana seyogyanya memintal relasi kuasa/ agama. Dan pada sub bab “semacam penutup” saya mengikat makna secara tegas, bahwa, “Dan akhirnya, hubungan antara kekuasaan (negara) dan agama tidak harus berhadap-hadapan dan tolak-menolak. Hubungan tersebut akan produktif ketika masing-masing menyadari konteks dimana ia hidup dan tumbuh. Belajar dari Nurcholis, Kuntowijoyo dan An-Naim, sadar konteks merupakan kemampuan agama untuk mengobyektivikasikan nilai-nilainya yang partikular agar lebih bersifat general. Sadar konteks merupakan kemampuan untuk mawas diri, bahwa wadag (bentuk) akan terkikis waktu dan tempat, sedang isi (substansi) senantiasa akan tepat untuk segala waktu dan tempat. Dalam kemawasdirian itu, kekuasaan dan agama bisa berdampingan secara harmonis.”

Dengan sistematisasi tulisan seperti itu, maka kerangka berfikir kita serta berbagai bidikan kita akan mudah dibaca. Dan paragraf penutup merupakan bagian penting, sepenting paragraf pembuka. Di sana biasanya membutuhkan sedikit demagogi atau retorika yang tentu saja disarikan dari analisis secara keseluruhan dari tulisan tersebut.

Demikian komentar saya. Semoga bermanfaat. Terlepas dari komentar ini, saya rasa saya bukan hakim atau juri yang punya orotitas penuh. Hehehe. Piss.