Pages

Saturday, August 02, 2008

Religio Politik dan Pengayaan Kosakata

tulisan ini dan tulisan menarik lainnya dapat dilihat di hminews tercinta
"Islam itu damai, hanya orang yang berjiwa amat besar yang memiliki nyali untuk bertemu langsung dan berdamai,"
Statement itu yang diungkapkan oleh wakil presiden Jusuf Kalla pada saat pembukaan kongres HMI (DIPO) di Palembang, senin lalu. Kalimat itu ditujukan sebagai tanggapan atas “tekad damai” antara ketua PB HMI (DIPO), Fajar Zulkarnaen dan ketua PB HMI (MPO), Syahrul Effendi Dasopang. Komentar tersebut menyiratkan bahwa tindakan islah yang dilakukan oleh HMI (DIPO) dan HMI (MPO) adalah tindakan terpuji, sebuah akhlakul mahmudah.
Penggunaan istilah islah – serta istilah lain - kini bukan sebuah hal yang asing di dinamika perpolitikan dan juga menjadi kekayaan tersendiri dalam perbendaharaan kosakata di Indonesia. Perubahan konstelasi politik dalam beberapa fase memberikan pengaruh pada penggunaan kosakata. Pada era Soekarno kita mengenal adanya kata-kata seperti : antek, kapitalis, marhaen, Nasakom, Manipol, Usdek, jas merah, dll. Kata-kata yang muncul berpusat pada kata revolusi ( Bahasa dan Kekuasaan , 1996). Kemudian berbeda lagi kondisinya ketika orde baru. Pada era ini, kosakata yang muncul berpusat pada kata pembangunan. Kosakata yang muncul lebih bersifat eufimistik. Eufimisme yaitu suatu upaya untuk melakukan pelembutan atau penghalusan dalam penyebutan. Eufimisme pada awal penggunaan dimaksudkan untuk mencapai kesantunan bahasa melalui konsensus baru. Maka kita mengenal kata-kata “kurang pangan” untuk mengganti kata kemiskinan, kenaikan tarif disebut sebagai penyesuaian, karyawan yang dipecat diberi istilah pemutusan hubungan kerja.
Pada saat kongres VII Bahasa Indonesia di Jakarta, 26 Oktober 1998 Presiden BJ Habibie menyampaikan dalam sambutannya untuk menjauhkan penggunaan eufimisme. “Gunakan bahasa yang lugas. Tidak perlu menyembunyikan kenyataan pahit yang dihadapi dengan cara membungkusnya dengan istilah-istiah yang dapat mengaburkan kenyataan,” tegas presiden (dikutip dari Kedaulatan Rakyat, 27/10/1998). Pemikiran ini muncul melihat karakter orde reformasi yang begitu beringas dan bersemangat. Seolah ada gumpalan yang terendap dari dulu dan ingin diluapkan seketika itu. Kemudian munul kesadaran akan transparansi, keterbukaan , maka penggunaan bahasa dituntut untuk transparan dan kritis. Hal ini didukung dengan kebijakan kebebasan pers yang diberlakukan yang dianggap sebagai salah satu manifestasi reformasi. Berikutnya dinamika kebahasaan sinergis mengikuti perubahan iklim politik di negara ini.

Era yang menjadi sorotan dalam tulisan ini adalah munculnya pengaruh religio politik dalam bahasa. Sidang Umum MPR 1999 menghasilkan Gus Dur sebagai presiden dan Amien Rais sebagai ketua MPR. Keduanya merupakan tokoh yang berasal dari organisasi Islam yang besa. Momentum ini dapat dicatat sebagai tumbuhnya iklim religio politik di Indonesia. Bahasa yang merupakan simbol menangkap munculnya kosakata berbahasa arab dalam wacana politik. Hal ini dikarenakan bahasa yang lebih dominan dalam komunikasi agama adalah bahasa arab dan agama mayoritas di Indonesia adalah Islam. Hal ini dinilai menarik oleh media untuk dapat meraih simpati masyarakat. Ragam kosakata arab dalam wacana politik Indonesia misalnya: islah (rujuk /rekonsiliasi), istighotsah , jihad, bughat, bahtsul masail(forum memecahkan masalah dari media massa), tausiyah (nasihat), tawasuth (jalan tengah), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) .

Penggunaan kata-kata itu pun lebih mengarah pada kepentingan politik. Hal ini memang menyiratkan situasi pada saat itu dimana keterlibatan tokoh-tokoh agama cukup tinggi dalam dunia perpolitikan. Kemudian dalam perkembangannya, penggunaan istilah-istilah yang bersifat religius digunakan sebagai sebuah alat politik. Justru kini penggunaan istilah-istilah arab tidak semata-mata sebagai penguatan iklim religio politik namun terkadang menjadi sebuah jargon saja. Lepas dari kepentingan politik manapun, perkembangan kosakata bahasa arab dalam dunia politik merupakan catatan perkembangan bahasa yang menarik di Indonesia. Semakin menguatkan kekuatan bahasa Indonesia yang fleksibel untuk dikombinasikan dengan berbagai macam bahasa.


Footnote untuk Isu Islah HMI
Sebuah keberhasilan salah satu pihak dalam pemanfaatan media. Semoga semua kader dari masing-masing belah pihak dapat menyikapinya dengan cerdas dan bijak. Istilah islah sendiri dari segi bahasa berarti memperbaiki, mendamaikan, dan mereformasi. Pelakunya disebut muslih. Seseorang dapat disebut muslih, jika dia memiliki sifat shaleh. Islah merupakan upaya aktualisasi kesalehan personal sekaligus kesalehan sosial; dan di segi lain mengandung usaha menciptakan kesalehan komunal dan kultural. Maka Islah akan benar-benar muncul apabila itu dilandasi dengan kesalehan dan tujuan yang murni tanpa tendensi apapun. Persoalan Islah bukan sesederhana dalam pragmatisme sempit untuk mencapai tujuan tertentu. Tetap berusaha dengan syukur dan ikhlas. Yakin Usaha Sampai!!!

Mahasiswa Jurusan Ilmu Budaya FISIP UNSOED. Ketua HMI Komisariat Pertanian UNSOED Purwokerto.

Title: Religio Politik dan Pengayaan Kosakata; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: