Pages

Saturday, July 14, 2012

BONSAI

#catatanDiniHari
#bisa dilihat di www.shintaardjahrie.blogspot.com 


"Om, bonsai itu bisa berbuah nggak sih?"
"ya bisalah.., tadinya calon tumbuhan besar di treatmen biar kerdil bila dikembalikan pada habitat ya akan kembali besar.."


Kurang lebihnya itulah sepotong obrolan dini hari melalui layanan pesan pendek di handphone-ku hari ini. Beberapa sesap cappucino sedikit memercikan hangat ditengah angin gunung bulan Juli yang kerap membuat tubuh menggigil. Dingin bulan Juli yang kerap membuatku menjadi "anak ingusan" dalam arti denotatif. Kucoba hiasi dengan diskusi-diskusi hangat sebagai sahabat. 


Bonsai. Kita mengenal ini sebagai salah satu jenis tanaman hias yang cukup banyak penggemarnya. Seni membonsai juga bukan sebuah ketrampilan yang sederhana. Tak semua orang dapat memelihara bonsai dengan baik. Salah perlakuan maka tak pelak akan berakibat pada kematian pohon tersebut. Lepas dari semua hal tentang bonsai, yang ingin kugarisbawahi adalah bahwa sebagai makhluk hidup bonsai tetap punya kesempatan untuk menjadi tumbuhan besar. Pilihan lah yang menjadikan ia menerima treatment untuk menjadi kerdil (meski indah). 


Jika hidup ibarat pohon, maka kita yang bisa memilih sendiri akan menjadi pohon yang seperti apa. Ada pohon kelapa yang tinggi menjulang dengan segala kebermanfaatan. Ada pohon beringin yang rimbun dan memberikan keteduhan (gak bermaksud mendukung partai tertentu lho..hehe.) Ada juga pohon-pohon lain dengan segala ciri khasnya masing-masing. Selain itu, pohon juga bermacam-macam jenisnya berdasarkan cara tumbuhkembangnya.


Dulu, di kebun belakang rumah ditumbuhi berbagai macam pohon. Ada satu pohon nangka yang besar yang akarnya bahkan sudah menghujam panjang hampir ke dinding rumah. Ada empat pohon mangga, yang dua diantaranya memang dikembangbiakkan dari biji, dan dua lagi merupakan cangkokan. Ada pohon belimbing wuluh yang tak pernah sepi penggemar. Ada saja tetangga yang hilir mudik memetik buahnya untuk dikonsumsi. Ada juga pohon jambu air yang menjadi tempat panjat favorit bagiku dan mas ardan semasa kecil. Masih ada juga pohon jambu biji yang daunnya sengat berguna ketika kita sedang diserang diare. Sebelum ada dua pohon mangga cangkokan, kami juga memiliki pohon jeruk nipis, yang entah kenapa akhirnya pohon ini ditebang. Masih ada lagi pohon cabai, belimbing, dan lain sebagainya. Pohon-pohon ini juga dulu kerap kali kami jadikan untuk mempraktekan pelajaran biologi yang didapat di ruang kelas. Beberapa kali saya dan kakak ingin mencangkok beberapa jenis tumbuhan yang ada..., dan semua itu gagal!huehehehe. Kami memang tak berbakat jadi petani. 


Suatu hari ketika pohon cangkokan mangga berusia beberapa minggu, ayah saya menanam beberapa patok bambu untuk menyangga. Saya seperti biasa menjadi gadis kecil yang penuh rasa ingin tahu, suka ketika terlibat walaupun tindakannya kadang malah merepotkan. 


"Cangkokan itu memang cenderung rapuh nak, maka harus diberikan penyangga "


Saya hanya mengangguk-angguk seolah mengerti sambil asyik bermain tanah yang masih basah. Tanah yang masih basah sangat menarik untuk dijadikan mainan, dicetak dalam berbagai bentuk seolah-olah kita membuat cake. Begitulah saya mengisi waktu semasa kecil. 


Pohon-pohon itu memberikan saya ruang untuk berpikir dan belajar banyak hal. Pohon dan kehidupan. 


Ada kalanya kita berada pada kondisi yang membuat kita menjadi seperti bonsai. Suatu kondisi dengan segala perlakuan yang membuat kita kerdil meski nampak indah dari luar. Bahkan harganya pun kadang melebihi harga pohon biasa. Tak ada yang salah dengan bonsai. Sekali lagi, ini pilihan. Tak ada hak kita untuk menjudge setiap pilihan yang diambil oleh masing-masing orang. Yang lebih penting adalah bagaimana kita mengenali diri kita dan pilihan kita masing-masing. Mengutip kata-kata status salah seorang teman bahwa "kadang kita berkembang bukan karena kesadaran tapi lebih karena keterpaksaan". Tidak masalah, mungkin itu yang disebut proses, namun kita harus terus berusaha meraih sesuatu dengan penuh kesadaran. Kalau hidup diibaratkan sesingkat "mampir ngombe", maka saya mengibaratkan hidup ini adalah proses menjadi siuman, proses membentuk kesadaran penuh bahwa semua yang ada di dunia ini adalah fana. Kadang kita tahu, tapi kita tidak sadar.  


Menjadi bonsai, tidaklah salah, meski akhirnya aku menyadari bahwa bukan itu jalan yang kupilih. Jika hidup ini ibarat pohon, maka sebaik-baiknya hidup adalah hidup yang penuh berkah, penuh manfaat. Menjadi bonsai juga bermanfaat untuk pandangan mata. Sekilas indah. Namun bonsai jika terus menjadi bonsai tak mungkin ia akan menjadi produktif, tak mampu beranak pinak, keindahannya memiliki batas waktu. Bonsai tak bisa menjadi pohon kelapa yang batang, daun, buah bahkan sabutnya dapat bermanfaat untuk kehidupan. Meski harga jualnya mahal, namun nilai kebermanfaatannya tak banyak ditebar. Harga yang mahal merupakan sebuah apresiasi dari sebuah kesenangan.
Bonsai memilih jalan hidupnya sebagai sebuah klangenan, bukan sebuah perjuangan.  

Memilih untuk tidak menjadi bonsai motivasi utamanya adalah untuk bisa berkembang dan menebar manfaat yang lebih banyak lagi. Bukan pula bermaksud sekedar "pindah etalase". Namun bagaimana kita terus mengembangkan potensi untuk terus menebar manfaat. Tumbuhkembang dalam realitas kehidupan tentunya tak sekedar menjulang tinggi keatas. Banyak hal yang bisa dilakukan. Terbang keatas, mengepakkan sayap kesamping, dan menghujamkan akar terus kebawah, hingga dunia ini mampu dalam genggaman. Jadi bukan sekedar tubuh tinggi, namun bagaimana kita dapat merimbunkan dedaunan sehingga dapat merangkul lingkungan sekitar, dan terpenting lagi ada akar yang menghujam kuat sehingga kita tetap kokoh berdiri. Bukankah pohon-pohon yang seperti itu yang menjadi pilihan utama untuk dijadikan tempat mendirikan rumah pohon? ^_^.  Burung-burung pun senang menitipkan sarangnya di pohon yang kuat dan lebat. 


"maka, begitu juga dengan pernikahan kan Shin? sehebat apapun seseorang dengan berbagai prestasinya, ia akan menjadi bonsai yang indah untuk menjadi tanaman hias, namun untuk terus menebar manfaat harus ada sinergi antara putik dan benang sari hingga menumbuhkan biji dan buah.., ada manfaat yang bisa dipetik dan ada bibit yang menjadi penerus cita-cita perjuangan kita.."


Kenapa jadinya sampe masalah merit yak??? wuehehehehe. Yeeeah.., apapun itu. Coretan sederhana ini bukan fokus menyoroti kegalauan usia-usia pantas menikah. Lebih dari itu semua, memilih untuk tidak menjadi bonsai adalah memilih untuk terus tumbuh dan berkembang , memperbaiki kualitas dan kuantitas, menebar manfaat lebih banyak lagi bagi berlangsungnya kehidupan ini. Tanah yang ditumbuhi pepohonan akan menjadi gersang dan mematikan banyak makhluk. Seperti itukah fenomena yang terjadi sekarang? semakin sedikit orang yang memilih jalan menjadi "pohon", masing-masing asyik masyuk untuk menjadi bonsai, terbuai oleh keindahan dan etalase bonsai yang begitu indah dan elegan. Menjadi Bonsai adalah memilih jalan hidupnya sebagai sebuah klangenan, bukan sebuah perjuangan. Tak ada yang salah dari sebuah pilihan, namun bagaimana kita memliki argumen kuat sebagai manifestasi kesadaran untuk mengambil pilihan itu. 


Lepas dari itu semua, bonsai ataupun bukan, semua yang hidup pastilah mati. Bukan kapan dan dimana kita mati, namun jalan seperti apa yang kita pilih untuk menyongsong kematian. Adakah kita sudah menebar bibit-bibit kehidupan yang akan terus tumbuh dan menjadi amal tak terputus meski kita sudah tak di dunia lagi. Itulah salah satu alasan kenapa aku enggan membonsai, karena aku ingin menebar lebih banyak benih sebagai sebuah investasi di keabadian nanti. Meskipun pilihan ruang membonsai saat ini adalah nampak "mulia" , namun setelah kucoba endapkan dalam ruang kontemplasi, kutemukan bahwa lingkar batas ini mulai membuatku sulit untuk bebas bernafas. Setidaknya, jika ku mati hari ini, aku tak ingin ide-ideku hanya tersimpan indah dalam sebuah ruang bernama "memori". 



Purwokerto, 14 Juli 2012, beberapa cc cappucino yang mulai mendingin itu akhirnya tumpah dan membuat lantai basah, maka tulisan ini ternyata harus selesai sudah. Satu bulan terakhir ini aku benar-benar mendapat "musibah", tak ada satu tulisan pun yang selesai.., adakah satu hari kini tak genap 24jam??  




#moment mengambil keputusan untuk siap menyudahi peran sebagai bonsai.., siap berpetualang (lagi) untuk menyesap wangi padi di ladang sebrang. Bukan labil, toh hingga detik ini aku masih mengenggam mimpi yang sama, masih dengan cita yang belum berubah, masih dengan cinta yang belum menemui jalannya,.. *bahkan aku sendiri tak percaya bahwa cita-cinta itu masih terukir sama, aku tak percaya aku diberi kesempatan untuk se-setia itu*.. :)

#untuk sebuah nama yang tak ingin kusebut disini demi menjaga kesucian hati.

#masih ada gema diskusi-diskusi panjang dengan ayahanda dulu..., merindumu pa, sangat!!  

Title: BONSAI; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: