Pages

Friday, June 01, 2012

Koloni(alisasi) Milanisti : Mari Mempersoalkan Mimpi-Mimpi Kita

*sebuah catatan diskusi

"Koloni sendiri artinya negeri/tanah jajahan yang dikuasai oleh sebuah kekuasaan asing. Koloni adalah satu kawasan diluar wilayah negara asal atau induk. Tujuan utama kolonialisme adalah kepentingan ekonomi..".

Sedangkan menurut KBBI, arti koloni :  (1) daerah penempatan penduduk; (2) (tanah) jajahan: pertempuran baru berkobar lagi di daerah -- Portugis; (3) daerah pengasingan tempat penyembuhan orang sakit; (4) Pol kelompok orang yg bermukim di daerah baru yg merupakan daerah asing, sering jauh dr tanah air dan tetap mempertahankan ikatan dng tanah air atau negara asal; (5) Zool kawanan binatang yg tinggal di suatu daerah, hidup sangat berdekatan dan saling berhubungan satu dng yg lain

Referensi: http://kamusbahasaindonesia.org/koloni#ixzz1wW2RdhGi


Prologue : Kamis kadang terasa menjadi hari yang tragis. Setragis bahwa PT.PLN (persero) Purwokerto Kota mengadakan pemeliharaan jaringan dengan memadamkan listrik dari pagi hingga sore hari yang juga dilakukan pada hari kamis kemarin. Dan ditengah tragisnya kamis, menghadiri sebuah ruang diskusi nampaknya dapat menjadi sessi penyegaran yang manis. Maka di suasana sesenja yang temaram kemarin, kusempatkan menyimak diskusi bedah Novel "Koloni Milanisti" di kampus ilmu budaya, unsoed.

Bersyukur bahwa aku mendapat  invitation acara ini. Mengingat ruang-ruang dialektika sastra yang saya rasa masih sangat minim disini, maka tak perlu panjang lebar untuk memutuskan hadir pada acara-acara sejenis ini. Novel yang dibedah kali ini adalah sebuah hasil proses kreatif dari seorang dosen ilmu kesehatan unsoed. Novel ini dibedah oleh mas Taufiq, dosen sasing dan mas Imam Suhardi, dosen sasindo. Novel populer ini masih mengangkat tema "the power of dream" dan obsesi-obsesi kebanyakan anak muda yang melihat bahwa rumput negara tetangga selalu lebih hijau. Ketika membeli novel ini, kuakui covernya lumayan bagus lah, lumayan marketable.hehe.. Namun, sedikit saya quote ucapan dari mas Taufiq bahwa point pentingnya bukan masalah kita harus bermimpi atau tidak punya mimpi, tapi "persoalkanlah mimpi-mimpi kita". Seperti juga mimpi Mars dalam novel ini yang patut kita persoalkan.

Interlude

Semenjak nama Andrea Hirata menjadi salah satu selebritis dalam dunia percaturan sastra Indonesia, kisah-kisah yang mengangkat konflik perjuangan mewujudkan mimpi nampaknya menjadi trend tersendiri. Padahal, Andrea cukup suksesnya adalahh untuk novel "Laskar Pelangi"nya saja, dimana pada novel itu ia lebih condong untuk menceritakan sebuah semangat lokalitas anak-anak yang bersekolah di daerah industri timah. LP juga digadang-gadang menjadi sebuah otokritik terhadap sistem pendidikan kita. Gebrakan 'Laskar Pelangi" nampaknya memberi sebuah efek domino pada novel-novel sekuel-nya. Andrea , putra melayu yang memang lihai dalam bercakap, meraup perhatian yang cukup besar dengan tetralogi LPnya. Berbeda dengan LP, tiga sekuel setelahnya bercerita tentang "mimpi dan obsesi" anak kampung untuk belajar di negeri orang. Sudah kepalang laris, meski memiliki sense yang berbeda dengan Laskar Pelangi, novel-novel sekuel tersebut juga menangguk untung. Kemudian bak jamur tumbuh di musim hujan, novel yang bertema sama membanjiri literasi kita. Sebut saja Ahmad Fuadi dengan Ranah 3 Warna (yang tentu saja tidak sekeren Negeri 5 Menara), Iwan Setyawan dengan 9summer10autumns, dan lain sebagainya.

Terlalu kejam rasanya jika kisah  "Koloni Milanisti" dianggap latah dalam memilih tema. Tentu saja tidak ada niat dari seorang mbak Siwi Mars Wijayanti untuk berlatah ria karena apa yang sudah beliau tuangkan dalam buku bertebal 318 halaman ini sedikit banyak memang berasal dari pengalamannya yang sudah mengembara ke negeri sebrang. Sebuah apresiasi tersendiri untuk mbak Siwi yang telah berbaik hati membagi kisah, pemikiran dan imajinasinya kepada kita semua melalui sebuah buku. Keluar negeri menurut saya adalah sebuah hal yang biasa layaknya perjalanan-perjalanan yang lainnya, namun menjadi istimewa ketika perjalanan tersebut dibagi melalui sebuah tulisan. Safar atau perjalanan adalah sebuah hal yang menarik. Saking menariknya..bahkan Islam sendiri memberi beberapa keistimewaan tersendiri bagi orang-orang yang melakukan safar. Selalu ada pelajaran dari setiap perjalanan, selalu ada kisah didalamnya. Orang seperti mbak Siwi memang banyak, dosen yang juga penggila bola dan memiliki catatan perjalanan ke banyak negeri orang. Namun, keistimewaan dari mbak Siwi adalah bahwa beliau mau menulis dan membagi kisahnya. Lebih dari itu, kisah tersebut diolah dalam ruang imajinatif untuk dihadirkan dalam sebuah fragmen yang kemudian disebut novel bertajuk "koloni milanisti" ini.


Satu hal yang menarik adalah bahwa judul yang digunakan ternyata bisa mengurai banyak makna. Koloni milanisti mungkin bisa ditafsirkan sebagai sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai milanisti, penggemar berat sebuah klub sepakbola yang ada di negara asal Pizza, Italia. Sebagai sebuah karya sastra, buku ini memang menyajikan beberapa rangkaian setting yang memberikan sketsa tentang negara dimana sepakbola menjadi jiwa bagi masyarakatnya.  Apa yang terjadi di belahan bumi Italia sana ternyata memiliki efek yang tak kecil bagi orang-orang di Indonesia, salah satunya adalah Mars yang menjadi tokoh novel di buku ini.

Pada mainstream sekarang, mimpi diartikan sebagai sebuah harapan tinggi yang harus diraih dan menjadi dopping tersendiri untuk menjalani kehidupan. Kita kadang melupakan esensi dari mimpi dan hanya fokus pada bagaimana meraih mimpi itu, tanpa pernah berpikir kenapa kita harus punya mimpi itu. Tentu sah-sah saja ketika banyak orang bermimpi untuk pergi ke luar negeri. Sah-sah saja ketika orang bermimpi untuk bertemu dengan tokoh atau artis idolanya. Sah-sah saja orang bermimpi menjadi selebritis. Semua akan sah-sah saja ketika mimpi itu muncul dari sebuah pemikiran sadar kenapa harus memilih mimpi itu.

Simplenya : ketika seseorang begitu maniak kepada group sepakbola AC.Milan, misalnya, kemudian bermimpi untuk menyaksikan pertandingannya secara langsung, kenapa bisa sampai muncul mimpi seperti itu?. Apakah mereka akan tetap mempunyai mimpi yang sama ketika media tidak dengan gencar mempropagandakan pertandingan sepakbola? Apakah kita akan tetap bermimpi untuk keluar negeri ketika kita tak dibombardir pemikiran bahwa negara eropa jauh lebih baik daripada negara kita? Apakah mungkin ketika terjadi sebuah kondisi sebaliknya, misal ada anak Italia yang mengidolakan persib Bandung. Ada sebuah stigma tentang negera kelas pertama, kedua, dan ketiga dan secara tidak sadar membuat kita merasa menjadi inferior. Kalau dalam konteks buku yang sedang dibedah ini, secara tidak sadar penulis menunjukan sebuah inferioritas terhadap konstruk sosial bahwa Mars adalah "anak kampung" yang berarti tidak sehebat orang-orang di luar negeri sana. Ketika dengar ulasan ini, saya pribadi juga membenarkan. Bahkan terlalu jauh rasanya ketika kita membanding-bandingkan buku ini dengan Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. LP justru menguraikan bagaimana unggulnya anak-anak di daerah gersang di salah satu wilayah Bangka Belitung. Maka, mesti disayangkan kenapa di Edensor dan Sang Pemimpi, pesan yang selalu ditonjolkan adalah tentang berkilaunya Eropa.

Diskusi kemarin sore itu sebenarnya sangat menarik ketika ditarik dengan membahas lebih luas lagi dari persepsi budaya. Secara tidak langsung, ketika memilih judul "koloni milanisti" nampaknya memang bisa kita tafsirkan bahwa kisah dalam buku ini adalah salah satu contoh bentuk "kolonialisasi budaya" melalui sepakbola.

Koloni sendiri artinya negeri/tanah jajahan yang dikuasai oleh sebuah kekuasaan asing. Koloni adalah satu kawasan diluar wilayah negara asal atau induk. Tujuan utama kolonialisme adalah kepentingan ekonomi. Kebanyakan koloni yang dijajah adalah wilayah yang kaya akan bahan mentah. Istilah kolonialisme bermaksud memaksakan satu bentuk pemerintahan atas sebuah wilayah atau negeri lain. Kurang lebihnya seperti itu. Maka, pertanyaan yang menggema di pikiran saya seusai diskusi kemarin adalah : "apakah penulis sadar telah mengekspresikan diri sebagai orang yang bangga telah dijajah?Bangga menjadi koloni?". Pertanyaan yang tak sempat disampaikan. Agak menyesal ketika kemarin mencoba mengalihkan fokus diskusi pada ranah kritik dan teori sastra.. (gara-gara profesor imam nih..hehehe...*piss*). Tapi, secara keseluruhan tema ini akan menjadi bahan diskusi yang mencerahkan, membedah novel-novel pop yang secara tidak langsung ada beberapa yang menyiratkan sebuah kebanggaan sebagai masyarakat yang telah terjajah budayanya.

Epilogue : Selalu ada sekap rindu yang sedikit terbebaskan ketika berada di ruang-ruang diskusi seperti kemarin sore. Kadang ada lapar dan haus yang bisa diredam oleh aktivitas-aktivitas seperti berdiskusi, menonton teater, membaca, menulis, dll. Jujur saya akui, beberapa waktu terakhir lebih banyak terjebak pada kebingungan ketika ruh dialektika mulai menghilang. Hanya terombang-ambing pada pojok-pojok nan gersang, dan akhirnya monolog hati dan fikir yang lebih sering dilakukan. Semoga Tuhan masih  menempatkan orang-orang bernas dan ikhlas untuk dapat menghidupkan pohon-pohon diskusi di lingkungan ini.
The last but not the least, selamat untuk Mbak Siwi Mars Wijayanti, bu dosen FKIK Unsoed atas terbitnya buku "koloni milanisti" ini, selamat menikmati proses menulis.. :)






1juni 2012. Menunggu hujan bulan Juni.



#entah kenapa, foto-fotonya tidak bisa dibuka jadi tidak bisa diupload.. :) 

Title: Koloni(alisasi) Milanisti : Mari Mempersoalkan Mimpi-Mimpi Kita; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: