Pages

Wednesday, September 13, 2006

LPI 2006

REVITALISASI STAN SEBAGAI RAHIM KADER PETUGAS PAJAK YANG BERINTEGRITAS

Indonesia sebagai negara berkembang, tentunya masih membutuhkan banyak hal dalam proses pembangunan nasional. Modal adalah sebuah hal yang pasti urgent , baik secara materiil ataupun immateriil. Untuk memenuhi modal materiil atau finansial, berbagai jenis upaya telah dilakukan oleh pemerintah . Pajak merupakan salah satunya. Definisi dari pajak itu sendiri yakni iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor patikulir ke sektor pemerintah) berdsarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukan. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum / public, dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

Dengan kuantitas penduduk yang padat, serta bergamnya jenis pajak yang diberlakukan, pantaslah jika di Indonesia pajak menjadi sumber pendanaan pembangunan yang cukup vital. Pajak memiliki fungsi budgeter dimana pajak juga merupakan sumber penerimaan domestik yang terbesar dalam APBN. Penerimaan dari pajak untuk pembangunan dalam APBN sebesar 180% atau 270 triliun.
Dalam realitanya, negara gemah ripah loh jinawi ini masih saja terkatung-katung dan pusing tujuh keliling dalam penstabilan perekonomiannya. Bangsa ini masih jatuh bangun untuk mengais belas kasihan dari para negara kreditur demi pendanaan pembangunan yang harus terus berkelanjutan. Dimana sistem pajak yang selama ini diberlakukan?.

Dalam prakteknya, pemungutan pajak tidaklah berjalan sesuai harapan. Banyak sekali kecurangan-kecurangan yang terjadi. Hambatan-hambatan dalam pemungutan pajak pun beranekaragam, baik perlawanan pasif ataupun perlawanan aktif yang berupa penghindaran pajak, penyelundupan / manipulasi pajak, melalaikan pajak, dll. Inti dari hambatan yang terjadi adalah masih buruknya kesadaran dan kepedulian akan pentingnya pajak.

Jika membicarakan kurangnya kesadaran dan kepedulian pajak, fokus akan terarah pada masyarakat sebagai wajib pajak. Padahal akar permasalahan tidaklah sekedar pada wajib pajaknya. Petugas pajak memiliki andil yang cukup penting dalam hal ini. Merekalah yang berhubungan langsung di lapangan dengan para wajib pajak. Dengan kata lain mereka pulalah yang bertanggung jawab akan kondisi pajak yang sakit. Walaupun sistem sudah terkonsep dengan perfect, namun dalam prakteknya terjadi kooperatif antara wajib pajak dan petugas pajak yang dengan cerdasnya mencari celah-celah untuk kepentingan pribadi.

Pemerintah bukan hanya tinggal diam melihat fenomena tersebut. Beberapa tindakan regresif telah diberlakukan. Direktur Jendral Pajak Hadi Poernomo mengakui setiap tahun tidak kurang dri 25 sampai 30 orang petugas pajak dipecat dari jabatannya. Tiap tahun 230 sam pai 250 petugas pajak dikenakan sanksi dengan tingkat sanksi yang bervariasi.

Mencegah lebih baik daripada mengobati. Kiasan yang kiranya cukup dapat diaplikasikan dalam mencari solusi problema bangsa ini. Tindakan regresif akan lebih teroptimalkan dengan juga memberlakukan tindakan-tindakan adventif.

Adanya keinginan untuk menciptakan pribadi-pribadi departemen keuangan yang tangguh, serta melihat SDM Indonesia yang masih perlu digembleng, maka pada tahun 1964 Departemen Keuangan berinisiatif untuk menyelenggarakan lembaga pendidikan di lingkungannya yaitu Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Bahkan sebelumnya, di tahun 1952 , Depkeu telah mendirikan terlebih dahulu Ajun Akuntan Negara dan Ajun Akuntan Pajak. Lalu mendirikan Akademi Pajak dan Paben (1956), dan seterusnya hingga kini semua masyarakat mengenal STAN sebagai sebuah lembaga pendidikan kedinasan di lingkungan Departeme Keuangan.

STAN dapat pula kita katakan sebagai cikal bakal atau sebagai rahim yang akan melahirkan para kader-kader Depkeu, dimana juga termasuk di dalamnya bidang perpajakan. STAN memiliki pola pendidikan yang berdedikasi tinggi. Mulai dari penerimaan mahasiswa baru, STAN memberlakukan seleksi yang ketat dimana hanya siswa-siswa yang memenuhi syarat tertentu yang dapat mengikuti Ujian Saringan Masuk (USM). Singkatnya, dari awal STAN sudah memiliki bibit-bibit yang unggul. STAN pun menjadi lembaga pendidikan tinggi yang memiliki prestise serta passing grade tinggi. Dalam proses pendidikannya pun, STAN memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan tinggi yang lain. Pemberlakuan disiplin yang ketat sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat. Mahasiswa STAN dituntut untuk menjadi pribadi-pribadi yang memiliki kompetensi tinggi,loyalitas serta etika yang nantinya diharapkan menjadi pegawai-pegawai depkeu (dalam hal ini juga petugas pajak) yang berintegritas. Tiap semesternya ada batasan minimal Indeks Prestasi yang harus diraih yaitu 2,4 dan Indeks Prestasi Kumulatif 2,75. Jika prestasi tidak mencapai batas minimum atau ada satu nilai E ataupun dua nilai D, maka tak diragukan lagi, akan terkena Drop Out (DO).

Kembali membicarakan petugas pajak, seharusnya kita akan memiliki kondisi pajak yang sehat jika para petugas pajak telah mendapat gemblengan selama studi di STAN. Namun, ternyata tidak semua petugas pajak diambil dari para lulusan STAN. Dengan hitungan kasar, tiap tahunnya tidak lebih dari 20% petugas pajak adalah lulusan STAN. Quota petugas pajak ternyata juga diberikan kepada para lulusan lain di luar STAN. Bukan meremehkan lulusan universitas-universitas di Indonesia. Namun, kita tegaskan lagi bahwa kita membutuhkan petugas-petugas pajak yang berintegritas. Memang tak dapat dijamin 100 % lulusan STAN adalah manusia yang perfect untuk menjalankan tugas karena memang mereka juga bukan malaikat, meraka adalah manusia biasa. Tapi, setidaknya mereka telah mendapat gemblengan khusus untuk dipersiapkan menjadi tenaga depkeu yang berintegritas. Jika dibandingkan dengan lulusan lain yang notabene masih buta akan kondisi intern depkeu dan belum pernah melakukan praktik, maka lulusa STAN dengan kekuatan empirisnya bisa mendapat nilai lebih unggul.

Revitalisasi STAN menjadi salah satu solusi untuk menciptakan kondisi pajak yang sehat. Dalam hal ini berarti Depkeu juga harus lebih mengalokasikan anggaran lebih pada bagian pendidikan. Nominalnya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan kerugian negara akibat ulah-ulah biadab para petugas pajak yang tidak memiliki etika kepegawaian.

Tiap tahunnya, belasan ribu siswa lulusan sekolah menengah bersaing untuk dapat lolos USM STAN. Nilai belasan ribu ini pun sebenarnya juga sudah merupakan bibit-bibit unggul yang telah tersaring dengan pemberlakuan syarat-syarat tertentu semisal batasan nilai rata-rata ujian akhir. Bandingkan dengan universitas lain pada umumnya yang hanya melakukan penyaringan dengan test masuk.

Dari belasan ribu pendaftar, tidak ada 50% yang dapat masuk. Quota yang disediakan oleh STAN tiap tahunnya kurang lebih hanya 2500 – 3000 mahasiswa saja. Itu merupakan mahasiswa dari semua jurusan. Jika hanya dari jurusan pajak berarti nominalnya lebih kecil. Padahal tiap tahun ada petugas pajak yang dipecat atau mendapat sanksi dan tentunya tiap tahun juga ada yang dipensiunkan. Jika Depkeu menambah alokasi perhatian pada pendidikan dengan menambah quota penerimaan siswa didik dan juga memberlakukan bahwa hanya lulusan STAN sajalah yang dapat menjadi petugas pajak, maka besar harapan kita untuk dapat memiliki para petugas pajak yang berintegritas tinggi yang nantinya akan membawa kondisi pajak menjadi lebih sehat dan tentunya perekonomian yang stabil.

Tentunya selain dengan peningkatan kuantitas tenaga terdidik, peningkatan kualitas juga perlu dilakukan. Mata kuliah etika kepegawaian yang memang wajib diterima oleh para mahasiswa STAN akan lebih baik lagi jika ditambah porsi serta pendalamannya. Tentunya juga dengan peningkatan kualitas tenaga pengajar.

Penambahan materi dalam kurikulum pendidikan di STAN yang berkesinambungan dalam menciptakan kader yang berintegritas juga merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan. Emotional Spritual Question (ESQ) dapat dipilih sebagai materi yang wajib ditanamkan pada para mahasiswa STAN.

ESQ bukanlah sekedar pelatihan – pelatihan yang bersifat ”menjamur” atau ”latah”. Banyak perusahaan mengirimkan pegawainya untuk mendapatkan pelatihan-pelatihan seperti yang banyak ditawarkan saat ini. Namun, dampak nyata sebuah pelatihan apapun jenisnya adalah mereka hanya mendapatkan ’angin energi baru’, dan itu hanya berlangsung sesaat, karena sesudah itu para peserta pelatihan akan kembali kepada kebiasaan lama. Dampak yang paling umum adalah rasa percaya diri. Setidaknya untuk beberapa waktu saja. (Richard Boyatzis, Research in Organization Change and Development IX, 1993)

Setiap individu memerlukan suatu pelatihan dan pemahaman tentang kecerdasan emosi (EQ), dengan tujuan menciptakan manusia yang memiliki karakter tangguh melalui training. Setiap individu perlu mengetahui dan memahami bahwa kecerdasan spiritual justru mampu meningkatkan kemampuan EQ disamping SQ sehingga pelatihan berjalan sepanjang hidup. Mensinergikan rasionalitas duniawi (EQ) dengan semangat spiritual (SQ), sehingga terjadi suatu perpaduan yang dahsyat (ESQ) untuk membangun karakter manusia yang paripurna. Selain itu, terjadinya pemisahan antara semangat bekerja / belajar dengan semangat spiritual ke-Tuhan-an, akhirnya akan terjadi sekularisme pada dua kutub yaitu kutub duniawi versus spiritual. Timbul kesan bahwa salah satu sisi justru bisa melemahkan sisi lainnya yang berbuntut pada krisis value (makna). Sehingga timbul rasa kebosanan dan kegelisahan dalam menjalankan tugas atau lebih fatal lagi bahwa akan terjadi kelalaian karena teriming-imingi hal materi sehingga meninggalkan loyalitas dalam bekerja. Bekerja seolah hanya mencari uang, tanpa memahami makna besar dan mulia di balik tugas. Konsep ESQ ini sangat tepat sekali jika diperuntukkan pada calon-calon petugas pajak. Jika kita berbicara mengenai integritas, secara tidak langsung kita juga akan menuju pembicaraan akan ”moral”. Memang bukan jaminan bahwa dengan ESQ, manusia akan bermoral luhur. Namanya juga manusia, tidak ada yang dapat sempurna. Jika kita mau sempurna maka cari saja petugas pajak dari golongan malaikat. Tapi setidaknya dengan penanaman Spiritual dan Emotional Question, kita sudah melakukan upaya untuk meminimalisir terjadinya kebejatan moral serta etika para calon petugas pajak. Bukankah kriteria seperti itu yang kita cari untuk menuju kondisi pajak yang sehat?

ESQ ini bukan kemudian menjurus pada salah satu agama. Lepas dari masalah pluralisme, semua agama mengajarkan kebaikan dan keseimbangan antara potensi intelektual dan potensi spiritual. Jadi solusi penyisipan materi ini cukup universal bagi semua orang.

Revitalisasi inilah yang diharapkan dapat mencetak kader-kader petugas pajak yang berintegritas. Ketika kita mencari solusi dengan modernisasi bukan berarti kita melulu berkutat pada sebuah hal yang inovatif ataupun sesuatu yang belum ada. Modernisasi juga berarti bahwa kita memodernkan atau memperbaharui apa yang sudah kita miliki baik itu secara ekstern maupun intern.

Revitalisasi memang bukanlah sebuah solusi yang menyelesaikan seluruh permasalahan. Perbaikan dibidang teknis atau lainnya pun sangat diperlukan. Namun, kembali pada sebuah kata bijak bahwa ”jika kita ingin mencabut ilalang, cabutlah dari akarnya” yang artinya bahwa jika kita ingin menyelesaikan sebuah problema, carilah dulu key of problem yang sedang dihadapi. Carilah sesuatu yang menjadi sebuah cikal bakal.

Revitalisasi STAN merupakan solusi adventif yang dapat kita berlakukan untuk melahirkan para petugas pajak yang berintegritas sehingga kita dapat menikmati kondisi pajak yang sehat dan perekonomian yang stabil. Semoga ini menjadi titik cerah bagi dunia perekonomian negara zamrud khatulistiwa ini. Amien .
Title: LPI 2006; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: