Pages

Saturday, November 10, 2012

Memandang Indonesia (part 1)



Dari sekian desa yang pernah aku sambangi di Banyumas, Kracak ternyata merupakan salahsatu desa yang terlewat. Tentu saja terlewat karena selain memang aku belum banyak menguasai wilayah Banyumas, penjelajahan desa yang selama ini dilewati lebih berfokus pada lokasi-lokasi yang minim dan ekstrem. Menurutku, Kracak termasuk desa yang cukup maju. Kalau kata mas Dayat, keberadaan Ajibarang sebagai jantung kecamatan cukup membuat desa-desa di lokasi itu cukup dinamis. Meski namanya “desa” belum tentu berada dalam kondisi kekurangan, bahkan ada desa-desa yang memilliki tingkat kemakmuran tinggi. Yeah.., enam tahun di Banyumas cukup membuatku belajar bahwa pedesaan bukanlah sesuatu yang identik dengan hal-hal  rendah.

Maka, saya langsung sepakat ketika melihat sebuah kalimat yang terpampang jelas di Balai Desa Kracak : “Dari Desa Memandang Indonesia”. Desa adalah salah satu investaris kekayaan Indonesia. Bukan hanya landscape-nya saja yang mempesona, tapi kultur masyarakatnya mengandung berbagai nilai luhur yang kerap dilupakan oleh generasi saat ini.


Sebuah release informasi tentang diskusi nasional yang mampir ke ponsel-ku menjadi awal dari cerita kenapa saya malam itu ada di desa Kracak. Bukan hanya acara diskusinya saja yang menarik, tapi sebuah nama cukup membuatku antusias untuk menghadirinya. Pak Anies Baswedan, dikabarkan hadir untuk berdiskusi dengan masyarakat Kracak. Sudah menjadi “insting jurnalis” saya ketika ada info tokoh nasional datang ke Purwokerto, saya akan melacak info tersebut dan melihat kemungkinan apakah bisa diundang juga ke mafaza. Sukur-sukur bisa ngisi diskusi atau talkshow di radio.hehe.

Tapi ternyata saya luput tak menyimpan nomor kontak pak Anies. Hape saya yang rusak beberapa waktu lalu membuat phonebook re-set. Untuk memintanya lagi ke teman-teman senior, saya agak sungkan. Bukan apa-apa, saya merasa tak enak saja jika selama ini jarang sowan tiba-tiba minta tolong untuk dikasih nomor kontak seorang tokoh. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi pak Geisz Chalifah (dengan sedikit basa-basi tentunya.hehe). Akhirnya didapat juga lah nomor kontak pribadi pak Anies. Entah saya yang terlalu pede atau apa, tanpa tedeng aling-aling saya sms pak Anies menanyakan agenda beliau di Ajibarang serta niat untuk mengundang beliau ke mafaza jika berkenan. Saya juga mengaktifkan search engine di jejaring sosial untuk mencari informasi tentang agenda pak Anies. Ternyata pak Anies sedang “roadshow” di Pantura.

Singkat cerita, seusai maghrib kami bertiga sudah meluncur di jalanan Purwokerto untuk menuju desa Kracak, Ajibarang. Entah kenapa malam itu nampaknya semua motor yang ada sedang mengalami gangguan pada lampu. Selain motor mas Dayat yang lampu depannya mati, motor yang digunakan Teguh dan mas Dayat malam itu lampu belakangnya juga mati. Itu cukup mengganggu bagi saya karena tak dapat dengan mudah untuk mengikuti mereka dalam perjalanan. Kondisi itu diperparah dengan penglihatan saya yang memang agak terganggu jika dalam gelap dan bersirobok dengan lampu kendaraan yang menyilaukan.

Lepas dari Pom Bensin Cilongok, saya mulai kewalahan. Beberapa bus malam berkali-kali mengklakson saya karena laju motornya agak oleng. Saya oleng setiap mendapat sorotan lampu mobil dari jauh, apalagi kondisi jalanan disana gelap. Kanan kiri hanya hutan. Kalau siang hari, kondisi itu tak bermasalah. Tapi ternyata kondisi malam hari cukup membuatku KO.  Tapi, alhamdulillah, kami bertiga selamat  sampai di rumah Kracak Ajibarang.

Pukul 7.30pm ternyata pak Anies  hendak makan malam, acara diskusi belum dimulai. Jangan dibayangkan bahwa kondisi rumah pak Mantan itu dijaga ketat. Meski tokoh nasional yang datang, beliau ini luar biasa low-profile . Lha, saya malah sempat ngrecoki makan malamnya dengan mengambil foto beliau *tidaksopan.com*.
Acara malam itu adalah temu kangen pak Anies dengan warga Kracak, Ajibarang. Sekitar delapan belas tahun yang lalu, tepatnya tahun 1994 Pak Anies Baswedan melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desa ini.

Mungkin bagi kita yang pernah melakukan KKN,  tak banyak yang memiliki ikatan kedekatan dengan lokasi KKN tersebut. Paling banter, hal-hal yang berkesan di KKN adalah group yang kompak dan hal-hal yang bersifat romantika, kebersamaan, dan lain-lain. Namun , jarang yang punya kedekatan dengan masyarakat setempat. Saya katakan “jarang”, karena bukan berarti tidak ada dan tentu saja pak Anies bukan satu-satunya orang  yang begitu berkesan pada masyarakat desa Kracak.

Tapi, saya sepakat dengan quote dari pak Anies bahwa “semua orang bisa menjalani tapi tak semua orang bisa mengalami, dan pengalaman itu didapat dengan sering melakukan refleksi”.  Ya, yang KKN di Kracak bukan cuma pak Anies, dan yang pernah KKN bukan cuma pak Anies. Tapi,apakah semua orang punya kesan sedalam pak Anies terhadap desa Kracak? Saya katakan sekali lagi : itu jarang terjadi. Semua orang pernah ke rumah sakit, bukan suatu hal yang aneh, tapi ternyata tidak semua orang punya “pengalaman” dengan rumah sakit. Tak semua orang bisa melakukan refleksi dari setiap perjalanannya. Kita semua pernah bertemu pengamen, itu bukan hal yang spesial, tapi ada berapa orang dari kita yang mampu merefleksikan pertemuan dengan pengamen dan menjadikan itu pelajaran hidup. Itu pelajaran mahal.

Saya sepakat sekali ketika Gerakan Indonesia Muda menugaskan para pengajar muda untuk menuliskan refleksi-refleksinya dalam tulisan. Karena, semangat itu memang bersifat menular. Saya pernah membaca salah satu tulisan pengajar muda (kayaknya angkatan pertama) tentang kondisi masyarakat desa yang miskin.  Pengajar muda itu menuliskan seperti ini : “kalau kita selama ini bisa dengan mudah menghabiskan uang 150ribu rupiah untuk makan dalam satu hari, maka lihatlah teman-teman kita disini yang kekurangan......(dst)”. Saya waktu itu membatin, kalau untuk melihat orang yang kekurangan rasanya kita tidak perlu pergi jauh-jauh ke pelosok, temanku uang sakunya hanya 150ribu sebulan, makan dengan  program PMDK (program makan dua kali) sehari.  Kondisi-kondisi itu ada di sekitar kita tapi kadang kita terlalu buta untuk bisa melihatnya. Atau mungkin kita yang tak pandai merefleksikan setiap kondisi yang ada di sekitar kita.  Menurutku, manusia yang tak melakukan refleksi itu seperti mayat hidup. Mereka hidup, makan, kerja, sekolah, beraktivitas..., tapi otak dan hatinya mati, tak peka. Dengan kata lain : sisi empatinya kurang terasah.

Maka saya fikir, gerakan-gerakan seperti Indonesia Mengajar yang diinisiasi oleh pak Anies , goal-nya bukan masalah pengajar muda itu turun ke pelosok, tapi bagaimana semangat mengajar itu kemudian menular dan tumbuh secara masif di masyarakat. Kesuksesan pak Anies bukan sekedar bagaimana GIM itu menjadi popular, tapi efek domino dari semangat pengabdian itu, muncul berbagai gerakan serupa, kesadaran akan pentingnya pendidikan. GIM telah mencoba menularkan semangat mengajar, menginspirasi setiap orang untuk menjadi pendidik. Setiap profesi adalah guru, bukan?

Jadi kalau di setiap angkatannya, ada sekitar tujuh ribu pendaftar untuk menjadi Pengajar Muda, dan hanya 52 pengajar yang diberangkatkan, setidaknya kita sudah cukup optimis bahwa Indonesia memiliki enam ribu anak muda yang bersemangat dan sadar akan pentingnya pendidikan. Toh, untuk berkontribusi sebagai pengajar kita tak harus bergabung dengan Indonesia Mengajar. Banyak sekali ruang yang sering luput kita tengok. Pengabdian tak melihat apa wadahnya tapi apa yang telah dilakukan.

Kalau pak Anies punya GIM, kenapa kita tak bisa melakukan semangat yang sama dengan kemasan berbeda untuk yang ada di sekitar kita. Kalau pak Anies bisa menginspirasi warga Kracak dengan KKN 3bulan, kenapa aku yang tinggal di Banyumas tak bisa melakukan banyak hal untuk dapat berkontribusi.  Kuncinya, jangan berhenti pada program, tapi lakukan sebagai sebuah gerakan. Saya kerja di Lazis dan Radio, pekerjaan-pekerjaan saya bukanlah sebatas program, tapi bisa menjadi gerakan. Gerakan media literacy lewat radio atau gerakan orang tua asuh di Lazis juga tidak sekedar menjadi program, kita melakukan edukasi/pemahaman bahwa menjadi orang tua asuh adalah berkontribusi, melakukan keterlibatan bukan sekedar “sumbangan”.

Ya sekilas, itu beberapa point yang cukup mengena dari forum duajam di balai desa Kracak. Saya akhirnya tidak melihat “SIAPA ITU pak Anies” tapi saya belajar dari APA yang dilakukan pak Anies. Saya jadi tak mengelu-elukan pak Anies. Beliau tak cukup sekedar untuk di-elu2kan dan saya yakin beliau tak butuh pengidolaan, yang beliau butuhkan adalah bagaimana kita bisa tertular semangatnya dan mulai bergerak saat ini juga. Fokus kita bukan pada ketokohan pak Anies, tapi pada gerakan yang membuat kita menjadi owner  segala permasalahan yang terjadi saat ini. Kita ini aktor bukan sekedar dekorasi panggung.

Saat lewat tengah malam, kita bertiga berhenti di rumah makan padang di bilangan kebon dalem. Tak terasa lapar mulai merambati lambung kita masing-masing. Entah itu makan malam atau sahur. Tapi yang pasti aku cukup puas dengan diskusi yang sebentar tadi di Kracak. Hingga tak sabar kukirimkan pesan pendek ke pak Anies malam itu juga. Isi pesan itu adalah : “diskusi yang sebentar tadi membuatkan tak mau melihat SIAPA itu pak anies, tapi membuat saya mencoba belajar dari APA yang telah dilakukan pak Anies. Aku tak ingin menjadi seperti pak Anies, tapi aku ingin pesan2nya menjadi partner pengurai inspirasi disaat aku hampir berteriak dalam kegelapan. Terima kasih pak ;) “.

10november2012, 4pm ditengah mendung dan gemuruh senja...
saya sore ini harus ke Tegal dan besok kembali lagi ke Pwt. Jadi tulisan ini harus diberi jeda. Akan sangat panjang tulisan yang bisa muncul dari perjalanan kemarin baik di Ajibarang maupun Purwokerto. 
Title: Memandang Indonesia (part 1); Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: