Pages

Tuesday, July 21, 2009

Catatan Kecil Tentang Eyang Guru


Serial “ Ketika Tembok Runtuh dan Bedil Bicara” mungkin pernah di akrab bagi kita sekitar tahun 1999 saat menjadi sebuah cerita bersambung di HU Republika. Tiga tahun kemudian kisah itu dibukukan dan dicetak ulang pada tahun 2005. Sebuah kisah dengan bahasa lugas yang menguraikan juga mengenai kehidupan aktivis pelajar dan mahasiswa. Menarik juga melihat tokoh-tokoh yang dikisahkan adalah aktivis HMI, PII, GSNI, dll. Secara content isinya mungkin masih terbilang standart mengenai kisah cinta anak muda. KIsah cinta segitiga tetapi segitiga-nya itu dengan idealisme ^-^. Tidak ada bahasa-bahasa “sastrawi” yang sulit dicerna. Disana kita menemukan sebuah kisah realis yang sarat makna namun tetap bersahaja.

Kesederhanaan penguraian kisah dalam novel “ Ketika Tembok Runtuh dan Bedil Bicara” itu nampaknya memang mencerminkan penulisnya yang juga sangat bersahaja. Malam itu dengan balutan batik, kain sarung yang rapih dan selempang sajadah di bahu-nya, Pak S.N. Ratmana menyambut kami dirumahnya. Baru saja akan membuka gerbang rumah, dari arah belakang ternyata Pak Suci-panggilan yang biasa digunakan-telah menyapa kami. Nampaknya pak Suci usai menunaikan rutinitasnya menjadi imam sholat Isya.

Bangunan itu masih bersahaja, sama seperti tiga tahun lalu terakhir saya bertandang kesana. Pengaruh usia sempat membuat pak Suci tidak terlalu mengingat siapakah tamunya malam itu. Ya, bagi saya pak Suci Ningrat Ratmana memang sosok yang luar biasa, tapi bagi pak Suci, sosok shinta itu ya biasa saja,sama seperti cucu-cucunya yang lain. Ketika saya coba ceritakan kembali aktivitas-aktivitas terdahulu bersama pak Suci baik di kota kelahiran maupun di ibukota, pak Suci menjadi agak ingat dan memberikan sebuah antusiasme yang berarti. Sinar mata tua-nya sangat menyorotkan sebuah kasih sayang dan antusiasme saat saya menceritakan maksud dari kedatangan di malam hari itu.
Dengan agak tergopoh-gopoh pak Suci masuk kedalam rumahnya dan keluar kembali menemui saya dengan membawa sebuah buku tebal. Ternyata itu adalah sebuah tanda mata yang sangat berkesan dari sebuah penyair yang kondang, Taufik Ismail. Ya, mungkin sudah menjadi mindset saya jika akan bersilaturahmi ke Pak Taufik maka saya awali dengan ke pak Suci terlebih dahulu. Hal ini tidak berlebihan karena beliau berdua memang memiliki sebuah tali persahabatan yang sangat manis. Persahabatan yang hingga sekarang masih terjalin erat. Salah satu bukti kecil yang menjadi perekat persahabatan mereka adalah sebaris pernyataan di cover buku antologi puisi tersebut. Tak lupa juga pak Suci menunjukkan salah satu puisi yang berjudul ‘Surat Dari Lampung’. Dibawah temaram sinar bohlam beliau membacakan puisi itu.

Sosok seorang Suci Ningrat Ratmana, bisa dikatakan sosok yang istimewa di dunia sastra Indonesia. Pria sunda yang lahir di tahun 1936 ini telah memberikan sebuah semangat mengenai produktivitas karya bagi para generasi muda. Kecintaan beliau kepada sastra mungkin dimulai saat duduk di bangku SMA N 1 Pekalongan, satu sekolah dan satu bangku dengan Taufik Ismail. Duo genius ini ternyata memiliki hobi dan ketertarikan yang sama di dunia sastra. Mereka yang merintis adanya sebuah perpustakaan sekolah yang sederhana serta gambaran sosok pelajar yang kritis dan cerdas. Siapa sangka kecintaannya pada membaca membawanya menjadi sastrawan-sastrawan ulung. Hingga kini, pak Suci sendiri sudah menelurkan banyak novel, cerpen, dan esay. Novel terakhir yang diterbitkan oleh penerbit KOMPAS, adalah “Sedimen Senja”, yang di-launching di Taman Ismail Marzuki dua tahun yang lalu. Tentu saja dihadiri oleh sahabat sejati-nya, pak Taufik Ismail serta dibedah juga oleh salah satu kritikus sastra , Maman S Mahayana. Seingat saya waktu itu launching itu juga sebagai peringatan hari lahir pak Suci yang genap berusia 70tahun.

Sangat brilian di usia-nya yang separuh baya tersebut,pak Suci masih getol melahirkan karya-karya sastra. Bukan berhenti pada novel saja, cerpen-cerpennya hingga sekarang masih bisa dinikmati di beberapa harian baik local maupun nasional. Ketika beliau menunjukkan kepada saya beberapa copy-an cerpennya di surat kabar, saya pribadi menjadi iri sekaligus termotivasi oleh semangat pak Suci dalam berkarya.

Maestro yang rendah hati. Saya bisa menjulukinnya seperti itu. Bercengkerama ngobrol dengan pak Suci jangan dibayangkan ngobrol dengan orang terkenal yang mungkin kita akan terjebak pada ewuh pakewuh. Bersama beliau, saya tak lebihnya seperti cucu dan kakek yang sedang bercengkerama dengan sarat susasana kekeluargaan. Walaupun sebelumnya mungkin kita sudah sekian tahun tidak memiliki kontak yang dekat. Bahkan dulu waktu sempat berinteraksi saya masih menjadi orang yang belum terjun di dunia sastra secara langsung. Jadi dulu hubungannya sebatas link saja. Namun, ketika pertemuan pertama setelah tiga tahun itu, membuat saya seperti menumpahkan kerinduan pada seorang kakek. Layaknya seorang kakek pada cucunya, banyak hal yang disampaikan tentunya dengan limpahan kasih sayang. Bahkan ketika saya bercerita esay saya yang masuk nominasi lomba dan dibuku-kan serta beberapa karya-karya yang lainnya, tanpa tanggung-tanggung pak Suci bertepuk tangan memberikan apresiasi. Subhanalllah, apresiasi itu sungguh spontan dan sangat tulus,sebuah kebanggan dan semangat bagi saya pribadi. Keagungan sikap seorang sastrawan adalah saat dia benar-benar menghargai karya orang lain. Itulah beberapa hal yang saya dapatkan di dunia sastra. Semakin tinggi karya seorang sastrawan, semakin merunduk pula dalam memberikan apresiasi yang mendalam terhadap karya orang lain.

Satu hal yang istimewa lagi dari pak Suci, beliau adalah sosok sastrawan yang juga seorang pendidik. Ya, dia menjalani hidupnya dengan profesi sebagai pengajar. Beliau adalah guru fisika di SMA N 1 Tegal di era tahun 60-an, kemudian menjadi pengawas di depdikbud kota, hingga beliau menghabiskan masa profesinya. Sebagai seorang guru, beliau ada sosok pengajar yang mengayomi dan benar-benar menjadi sosok yang mampu digugu dan ditiru. Selain sebagai guru, pak Suci juga aktiv di organisasi Muhammadiyah yang mengantarkannya kini menjadi wakil ketua pengurus daerah Muhammadiyah.
Kiprahnya di dunia pendidikan tidak berhenti di profesi guru. Pak Suci ini juga salah satu perintis majalah pelajar “Kandela” di kota Tegal. Hidupnya memang sudah didedikasikan pada pendidikan. Selain sempat menjadi dewan pendidikan,beliau juga sering menjadi rujukan oleh para tim MGMP dan untuk persoalan-persoalan pendidikan. Sosok beliau sebagai Guru yang juga sastrawan memang sangat luar biasa. Tak heran kehidupan dan karyanya juga dijadikan sebuah skripsi oleh mahasiswa sastra di Universitas Indonesia. Mungkin pak Suci memang benar-benar eyang guru buat kita semua.
Sebagai seorang sastrawan, pandangan seorang S.N. Ratmana cukup luas. Bukan hanya soal pendidikan, namun beliau juga punya pandangan-pandangan di hal-hal mengenai politik dan budaya. Tulisannya tentang Bung Karno pernah dimuat dan dibukukan oleh KOMPAS. Kupasan pemikirannya melalui tulisan memang lugas dan untuk karya-karya diksinya memang cukup realis. Pak Suci tak ragu-ragu untuk mengungkapkan “kebiadaban” Jenderal Wiranto dan Prabowo dalam novel-nya. Untung saja novel itu terbit di waktu yang tepat. Kalau ditulis di era orde baru mungkin sampai saat ini novel itu tak pernah diterbitkan.

Semangatnya berkarya yang jelas tersirat dari soro matanya memang menjadi ruh bagi para genarasi muda untuk dapat terus berkarya. Pak Suci sangat mensupport ketika saya bercerita berpuluh-puluh kali tulisan ditolak media. Dari sepuluh mungkin yang dimuat Cuma satu. Pak Suci bilang, itulah proses indah yang harus dijalani. Ya, seorang nahkoda yang baik itu tak terlahir dari lautan tenang tapi justru yang sudah terlatih dengan bergulung-gulung deburan ombak. Waktu pertemuan itu, tak kurang dari sepuluh buku yang beliau keluarkan untuk ditunjukan. Di sela-sela saya diminta membaca beberapa paragraph cerpennya. Bergantian pula beberapa kali pak Suci membacakan kutipan-kutipan esay-nya.
Banyak hal yang kita obrolkan malam itu walaupun itu masih sebagian kecil. Berdiskusi dengan pak Suci memang seperti teman sebaya, beliau masih tajam wacana-nya dan luas pandangannya. Sikapnya tidak ekstrim walaupun untuk beberapa hal dia terlihat sangat prinsipil. Dari mulai ngobrol tentang Taufik Ismail, tentang sastra, pendidikan, budaya, hingga politik, dan juga gerakan mahasiswa. Sempat dia memberikan pandangannya mengenai Anas Urbaningrum, Prabowo, Megawati, dan yang lainnya. Sempat juga dia berbicara tentang HMI, PII, dan gerakan mahasiswa. Ah pak Suci, kau benar-benar menyemangati ^_^.

Tak cukup ratusan halaman untuk menguraikan makna hidup dan kehidupan dari seorang eyang guru SN Ratmana.(sebuah hal yang menginspirasikan saya juga untuk menulis sebuah buku autobiografi tentang beliau). Malam itu pertemuan yang menghadiahkan bangkitnya sebuah semangat. Namun malam memang terkadang menegur kita untuk beristirahat. Saat lonceng jam di rumah pak Suci berdentang Sembilan kali, adikku mengingatkan bahwa sudah waktunya pulang. Oya, sempat bertanya pula pak Suci “Siapa ketua HMI sekarang”. Teringat sesuatu saya jawab “ Oh iya pak...ketuanya yang sekarang kalau tidak salah juga alumni smansa Pekalongan”. Reaksi beliau cukup antusias “ Ohya???Siapa??angkatan berapa??”. Ketika saya ungkapkan jawaban yang lebih kepada perkiraan itu, respon belian “Wah jauh sekali itu angkatannya”. Mungkin cuplikan dialog ini terlihat tidak penting, namun saya ingat bagaimana kemudian perdebatan mengenai “terlalu senior”nya ketua PB yang baru. Tapi berdiskusi dengan pak Suci saya tidak merasa beliau sangat senior. Satu pelajaran bagi saya, ternyata tua-muda itu akan menjadi samar ketika kita punya karya. Mungkin kalau di HMI, kader-kader angkatan 99 atau 2000 itu sudah seperti senior banget, tapi ketika seorang angkatan 97 muncul, itu seperti hadirnya kader muda. Semoga itu menjadi sebuah semangat dalam berkarya!obat awet muda yang mahal harganya ^_^.
Kuakhiri pertemuan malam itu. Di perjalanan pulang , ungkapan adik saya “ Mbak nta, ajarin nulis yach!”. Wah...itu semangat lagi bagi saya!!! Yuk...kita bersemangat untuk terus berkarya dan berprestasi!! Ganbatene Kudasai!!!!!!

Special dedication for Eyang Suci Ningrat Ratmana.
Hari ahad tanggal 26 besok ada diskusi kepenulisan menghadirkan pak Suci dengan beberapa penulis kondang lainnya, di pendopo kota Tegal. Bagi yang berkesempatan silahkan hadir, insya Allah ada saya disana untuk menyumbangkan beberapa pembacaan puisi..he3 (numpang promo).
Read more ...