Pages

Wednesday, April 30, 2008

HIBRIDISASI POTENSI CIVITAS AKADEMIKA DALAM MEMBENTUK DINAMISASI DAKWAH KAMPUS*)


“Bersama Dalam Dakwah, Bersatu Dalam Ukhuwah, Berproses Dalam HMI”

*)tema kepengurusan HMI KOMPERTA UNSOED periode 2008-2009 (mohon saran dan masukannya)


Dilekatkannya predikat khalifah fil ardhi kepada manusia merupakan suatu anugerah serta kepercayaan sang Maha Kuasa kepada kita-manusia- yang harus mampu dibaca dan maknai. Predikat itu berkonsekuensi pada kesadaran akan entitas manusia yang tidak sebatas pada individu namun juga pada entitas sosialnya. Bahwa apa yang ada di sekitar kita adalah tanggungjawab tiap manusia untuk mengolah, mendayaguna, serta mengembangkan hingga tetap memiliki eksistensi. Istilah khalifah secara etimologis berarti wakil dan dalam pengertan risalah Islam berarti wakil Allah dimuka bumi, yang berkewajiban memakmurkan bumi sesua kehendak dan ajaran-Nya. Pada konteks masyarakat, kepemimpinan (khalifah atau imammah) merupakan sebuah kepercayaan satu individu atau lebih kepada individu lainnya.

Hidup adalah sebuah perjuangan. Perjuangan seorang muslim merupakan sebuah proses peningkatan kualitas akan iman yang membentuk jati diri muslim seutuhnya. Perjuangan merupakan sebuah pilihan sadar yang memiliki dua syarat yaitu “berkehendak dan bertindak”. Perjuangan bersama HMI sepatutnya sebuah pilihan sadar yang berkonsekuensi adanya tindakan. Sebagai kesadaran, tindakan perjuangan dapat terejawantahkan dalam jalan dakwah. Maka sebagai khalifah, dakwah adalah sebuah kenscayaan.

Saat ini gerakan dakwah telah memasuki era dimana globalisasi mulai merasuk dan arus nilai yang berkembang dalam kondisi dimnamisasi yang teramat luar biasa. Maka perubahan gerakan merupakan keniscayaan dalam dakwah jika tidak ingin tergilas oleh arus nilai lain. Dakwah bukan sebuah hegemoni oleh satu dua gelintir orang. Maka proses dakwah juga harus mengalami dinamisasi. Dinamisasi yang dimaksud adalah yang masih berpegang pada nilai-nilai keIslaman. Pemunculan warna lain dakwah harus dimunculkan sebagai salah satu kerja kreatif dari para penggerak dakwah dalam rangka eksistensi dakwah itu sendiri.

Awalnya HMI didirikan sebagai wadah mahasiswa muslim sebagai lembaga dakwah kampus. HMI yang kini telah berdiri hamper seumu dengan negeri ini telah mengalami pasang surut. Keberadaan HMI dalam beberapa era dengan strategi dakwahnya mampu mendongkrak bargaining position kaum intelektual muda (baca : mahasiswa) dalam berperan di negeri ini. Dalam kancah dakwah, –seperti dikutip dari Suharsono –HMI sudah sepatutnya dapat mengapresiasikan idealisme insan HM, ulil albab, tidak hanya sebatas pengertian formalnya sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar, tetapi juga secara intelektual dan iman, serta dimensi sosiologis yang merupakan manifestasinya. Dengan kata lain, HMI dinanti peranannya dalam dinamisasi kancah dakwah, dimana dakwah tidak menjadi hegemoni suatu gerakan. Dakwah merupakan konsep pendidikan dimana hakikat pendidikan adalah sebuah pembebasan dan bukan sebuah pengkultusan Islam dalam sebatas simbol-simbol belaka.

Meniliki sejenak historika HMI komisariat pertanian UNSOED, dimana telah menjadi embrio dakwah di kampus perjuangan Universitas Jenderal Soedirman. Dalam perkembangannya, KOMPERTA mendapat indikasi kekhawatiran menjadi sebuah generasi hybrid dimana mereka kini tak mampu beranakpinak kembali melestarikan generasi. Fenomena generasi hybid komperta UNSOD merupakan satu hal yang perlu segera diselamatkan. Dalam perkembangannya kini, komperta UNSOED berusaha tertatih merangkul komponen mahasiswa di lingkungan kampus belakang.

HMI KOMPERTA mencakup lima (5) fakultas yakni : F.Pertanian, F.Peternakan, F.SainsTek, FKIK, dan F.Biologi. Selain berdasarkan lokasi geografis fakultas, KOMPERTA juga mencakup lokasi domisili kader. Jadi tidak menutup kemungkinan ada fakultas lain yang berdomisili sekitar kampus belakang yang merupakan member dari KOMPERTA. Kemajemukan yang dimiliki KOMPERTA merupakan kekayaan akan kader yang memiliki berbagai macam karakter. Hal ini memerlukan sebuah garis kerja khusus untuk dapat mengakomodir seluruh kekayaan karakter yang dimiliki. Kepengurusan yang ada harus dapat menjadi empowering smber daya yang ada. Dalam hal ini, upaya hybridisasi atau persilangan beberapa varietas yang berbeda merupakan tindak yang menjadi garis kepengurusan KOMPERTA periode 2008-2009. Dari hybridisasi itu diharapkan kita menghasilkan varietas yang dapat terpetakan karakternya sehingga pola pembinaan dapat dilakukan dengan optimal.

Karater HMI dengan kekayaan wacana-nya diharapkan dapat meningkatkan kualitas dakwah di ranah kampus. Fenomena yang ada bahwa dakwah terasa monoton. Padahal dakwah merupakan sebuah public relation dari kebenaran (baca : Islam). Aktivitas dakwah dalam kampus terpusat pada hal-hal yang bersifat simbolisasi saja dari Islam. Urgensi atau hal-hal yang merupakan wacana substansial jarang dilakukan. Padahal di tingkatan universitas, dan memiliki audience kaum intelektual, seharusnya dakwah juga dapat menjadi pengasah intelektualitas.

Dengan upaya ini diharapkan kehadiran HMI dapat menjadi sapuan warna yang akan menambah semarak perjalanan dakwah kampus. Keanekaragaman merupakan sebuah rahmat Allah maka dalam dakwah pun akan menjadi indah apabila keanekaragaman itu dapat tertuang menjadi sapuan warna-warni. HMI sendiri juga dapat dkatakan sebagai organisasi yang terbentuk dari berbagai elemen “keIslaman” para calon kadernya. HMI membuka lebar pintu kepada semua mahasiswa Islam dari berbagai latarbelakang. HMI kemudian muncul sebagai sebuah akulturasi budaya Islam yang ada di Indonesia. Kemampuan mengakomodir berbagai kemajemukan dengan sikap toleransi dan semangat untuk belajar bersama inilah yang juga akan diterapkan di KOMPERTA untuk mampu merangkul berbagai elemen. Sekali lagi, dakwah milik kita semua, setiap umat memilki tanggungjawab dan peluang yang sama, tinggal bagaimana kita mampu membaca kesempatan tersebut. Dengan kata lain, mari kita saling membuka kesempatan berdakwah bagi setiap orang di sekitar kita. Dengan bersama dalam dakwah, dan tetap bersatu dalam sebuah persaudaraan Islam, serta belajar dan berproses bersama dalam wadah HMI. Yakin Usaha Sampai!!!

by : nta

Read more ...
Tuesday, April 15, 2008

Mengapa orang gila dilarang ngajar di kelas?


(Dikutip dari forum diskusi di Multiply)

Tahun ajaran baru dimulai. Sekelas mahasiswa TPB (mahasiswa tahun
pertama) jurusan X berbondong-bondong masuk kelas dan menunggu dosen datang.
Datang seorang laki-laki setengah baya masuk kelas, dan kemudian
memulai perkuliahan. Baru beberapa menit dia memberi “kuliah”, datang
seorang mahasiswa senior, dan “menyeret” sang dosen keluar ruangan.
Kontan para mahasiswa TPB bertanya-tanya. Dan si senior menjawab,
“Dia itu Bang N, mantan mahasiswa sini yang jadi gila karena ada
masalah…”
***
Kisah di atas adalah kisah nyata. Dan tentu saja, Anda pasti akan
membenarkan tindakan si mahasiswa senior di atas.
Namun sayangnya, dalam kenyataan sehari-hari kita, banyak orang yang
melakukan tindakan Bang N tsb.
***
Banyak orang yang merasa dirinya kritis dan cerdas mempertanyakan,
mengapa hanya ulama-ulama yang boleh membuat fatwa dan mengatur kehidupan
keberagamaan masyarakat. Mengapa tidak semua orang dibebaskan saja
membuat penafsiran sendiri tentang masalah-masalah agama dan tidak perlu
mengikuti “orang-orang kadaluarsa” tsb?
Bagi saya, jawabannya gampang. Karena kita tentu tidak akan mengijinkan
Bang N dan orang-orang semacamnya atau sembarang orang mengajar di
kelas perkuliahan.
Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada orang-orang yang
kritis dan cerdas itu.
Misalnya saya sudah banyak membaca buku tentang kesehatan, baik dari
ilmu kesehatan modern maupun ilmu kesehatan alternatif. Saya paham betul,
bagaimana ciri-ciri suatu penyakit, seberapa berat penyakit tsb dari
tanda-tandanya, dan obat apa saja yang dapat diminum untuk meredakan
penyakit tsb.
Pertanyaannya:
(a) Bila saya sedang kena flu bolehkan saya mengobati diri sendiri
dengan cara yang saya anggap tepat buat diri saya?
(b) Dengan modal pengalaman tsb, bolehkah saya membuka praktik untuk
menarik agar orang-orang berobat ke saya? Kira-kira bagaimana reaksi
para dokter professional akan tempat praktik saya tsb?
Misalnya saya sudah membaca 3 lemari penuh buku-buku Fisika karangan
para fisikawan terkenal dari abad pertengahan sampai modern. Bagaimana
kira-kira reaksi orang-orang, bila tiba-tiba saja, dengan PD-nya saya
memasuki sebuah gedung kuliah di MIT dan mengajar fisika kuantum di sebuah
kelas?
Mengapa untuk hal-hal duniawi seperti menjadi profesor, dokter,
pengacara, dsb kita tidak pernah mempersoalkan bahwa untuk menjalani profesi
tsb dibutuhkan kualifikasi-kualifikasi tertentu yang tentunya cukup
berat dan tidak semua orang dapat menjalani profesi tsb, apalagi dengan
modal sekadar “merasa bisa”?
Mengapa untuk masalah-masalah agama banyak orang dengan gampang merasa
dirinya menjadi ahli yang tidak perlu lagi berkonsultasi dengan
orang-orang yang lebih berpengalaman dan mendalami masalah-masalah agama?
Tahukah Anda bahwa sekadar untuk menjadi seorang mufassir Quran yang andal,
setidaknya ada 23 cabang ilmu al-Quran yang harus dikuasai? Belum lagi
menjadi ahli hadits, ahli fikih, dsb. Puluhan bahkan mungkin ratusan
cabang ilmu yang perlu dikuasai orang untuk menjadi seorang yang
betul-betul pantas menjadi seorang pembuat fatwa keagamaan. Berapa kitab dan
berapa cabang ilmu sudah Anda kuasai?
Jangan meniru Bang N.

(disadur dari milis)




Read more ...

Syndrom Kangen HMI



Selalu seperti ini. Nta selalu ngrasain kangen kalo habis ngikutin acara-acaranya HMI. Nggak tau kenapa. Pengennya tuh nta selaluu dalam lingkungan yang dinamis seperti saat ditengah-tengah temen2 HMI.
Berlebihan mungkin...tapi nggak juga (lho??)
Sama kayak dulu, waktu nta biz LK II, atau waktu biz loknas, waktu biz diskusi-diskusi di cabang or komisariat, nta ngrasain enjoy n menikmati banget suasana yang terjadi disana. Dan selalu setelah pasca acara, nta ngrasa kehilangan suasana yang seperti itu. nta selalu dihantui syndrom kangen HMI.
Kayak kemaren biz pleno.....wuah...nta pengennya tiap hari, tiap saat, tiap detik, nta selalu punya kesempatan buat diskusi bout anything!!!
ya..mungkin di cabang n komisariat nta sendiri perlu ngadain diskusi yang lebih sering, buat mengobati syndrom ini.

Yupz, sekarang saatnya kembali ke rutinitas, menghadapi segala aktivitas, kuliah-siaran-rapat-nulis-dikejar deadline-ngejar angkot- siap2 midtest- dll.

Semoga syndrom ini selalu hidup...bukan sebagai sesuatu yang berlebihan hanya stimulan untuk selalu istiqomah berada di jalan dakwah...bersama HMI (HMI bukan tujuan...hanya sekedar alat).


the last, miss u n luu all the HMI's member..........

YAKUSA

Read more ...

Membaca Hikmah Dibalik Amanah




Ending dari apat Anggota Komisariat Pertanian HMI cabang Puwokerto membuatku perlu menyisakan waktu-waktu untuk berkontemplasi merenungkan berbagai hal. Amanah sebagai ketua formatur baru kurasakan sebagai sebuah hal yang cukup berat dan memerlukan konsentrasi penuh.

Kini aku bisa merasakan perbedaan antara mengemban jabatan di HMI dan di organisasi lain. Kalau meminjam istilah mas Anto (mantan ketum cabang pwt), jabatan ini pertanggungjawabannya dunia akhirat.

Sungguh, jangan dikira aku tertawa menerima amanah ini. Malam seusai RAK, merupakan malam panjang buatku untuk terjaga dan berfikir banyak hal. Kondisi komperta yang sedang futur, cakupan wilayah yang cukup luas, aspek history kejayaan komperta, serta kapasitasku menjadi ketua, semua berkecamuk dalam dunia pikirku. Mampukah aku Tuhan???

Aku sadari ini menjadi titik tolak transformasi diri. Bukan sebuah keterpaksaan, namun secara moral, aku menyadari penuh, bahwa posisiku kini bukan berdiri untuk entitas pribadi, namun kini aku diserahi umat.

Staus keanggotaanku dalam komisariat yang masih rancu, adanya tanggung jawab di oganisasi lain, serta berkaca pada karakter dan kepribadianku, terkadang aku merasakan tidak sanggup untuk menerima amanah ini. Perjalanan penuh warna bersama HMI MPO selalu menyisakan air mata di hatiku. Bahkan pengorbanan yang sangat menyakitkan pun harus aku lakukan. Kini, yang terpenting, aku harus bisa belajar dan menyadari bahwa ini adalah salah satu bagian dari kawah candradimuka yang harus ku lewati untuk membawa diri ini menjadi lebih baik lagi. Tuhan, tuntun aku dalam perjalanan proses ini.

Kepada kawan-kawan komperta, kini kalian adalah bagian dari aliran darahku, semangat kalian adalah penentu akan dibawa kemana kondisi umat dalam cakupan wilayah komperta ini.
Kepada kawan-kawan cabang puwokerto, mohon dukungan dan bimbingannya, aku hanyalah serpihan asap yang tiada berguna tanpa bantuan kalian...
Kepada kawan-kawan HMI semuanya........mari terus bersinergis, layaknya sebuah rangkaian tubuh, jika salah satu bagian merasa sakit, maka yang lain pun akan merasa sakit.
Kepada keluarga, ayah dan bunda tercinta, shinta sangat memohon dukungan serta doa restu....
Kepada seseorang......kini saatnya aku harus membencimu...thanx 4 all.

Keep Allah in our heart. YAKUSA! Allahu Akbar!!!



Read more ...
Friday, April 04, 2008

Akhirnya...bisa meraih prestasi lagi....


salah satu nta menyanggupi melaksanakan PORSENAF adalah nta pengen PORSENAF tahun ni bener2 terlaksana. Karena nta pengen banget ikut cabang baca puisi.
Alhamdulillah, keinginan itu tercapai dan nta berhasil jadi runner up. Semoga nanti bisa mewakili UNSOED di ajang PEKSIMIDA.
Prestasi ini adalah pertama setelah dua tahun tidak pernah merasakan menang lomba baca puisi. Nta seneng banget....bisa meraih runner up lagi (dua tahun yang lalu juga runner up di jateng. Masih brthan di runner up.he3). Thanx a lot bwt temen2 sianak n teksas,i.e ; maz Budi (thanx banget bwt semangat n advicenya...u r best brother, mbak aul=>sukses y bwt monolognya, pak dodit,pak edon, temen2 teksas, dll. Doain ya kalo nta bisa ikut peksimida bkn mei nanti.........
Read more ...

PEMBENTUKAN KARAKTER MASYARAKAT BILINGUAL MELALUI PENUMBUHAN LINGUISTIC PRIDE BANYUMASAN*)


Oleh : Shinta Ardhiyani Ummi**)

PENDAHULUAN
Bahasa menunjukkan bangsa. Kalimat pepatah ini memberikan kesan kepada kita bahwa sebuah bahasa dapat menjadi tolak ukur penilaian sebuah hal. Salah satu fungsi yang dimiliki bahasa adalah sebagai sebuah identitas baik individu ataupun kelompok masyarakat. Bahasa juga merupakan sebuah sistem atau lebih tepatnya, sekelompok sistem (yaitu sistem bunyi, sistem tata bahasa, sistem makna).

Sebagai sebuah produk budaya, bahasa memiliki berbagai faktor yang mempengaruhi eksistensinya. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah. Di Indonesia, ada lembaga yang berkompeten untuk membina dan mengembangkan bahas yaitu Pusat Pembinaan Bahasa. Sebagai salah satu identitas, Indonesia juga menunjukan identitasnya melalui bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Kemudian melalui Lembaga Pusat Pembinaan Bahasa, muncul garis kebijakan bahasa seperti:

“ Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah lambing kebulatan semangat kebangsaan Indonesia, alat penyatuan berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan, dan kesukuannya ke dalam satu masyarakat Indonesia, alat perhubungan antarsuku, antardaerah, dan serta antarbudaya….. Di dalam kedudukannya, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional, serta alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.” (Halim, 1980, 17)

Kebijakan ini merupakan sebuah arah pemersatu bangsa yang majemuk. Namun memang ada yang perlu disayangkan dalam implementasinya. Pelaksanaan kebijakan itu hanya semata-mata menekankan pembinaan dan pengembangan bahasa nasional, tanpa secara serius melakukan pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah. Bahasa daerah merupakan kekayaan bangsa yang juga harus dibina dan dikembangkan. Kebijakan yang tidak serius melakukan pembinaan bahasa daerah sehingga lambat laun akan membawa kepunahan bahasa daerah. Hal ini secara tidak langsung merupakan tindak perampasan hak hidup masyarakat pendukung bahasa-bahasa lokal.

Seorang linguis pernah menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki dana dan tenaga yang mencukupi untuk membina dan mengembangkan bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya beratus-ratus. Menurutnya pula, membiarkan masyarakat hidup dengan bahasa daerahnya sama saja halnya dengan memelihara mereka dengan memelihara dalam museum hidup. Dalam arti lain itu adalah sebuah upaya pelestarian. Pandangan ini tak berbeda dengan pandangan A.A.Fokker yang sangat tidak berkenan dengan adanya bahasa lain yang mengganggu pertumbuhan bahasa Indonesia. Menurut Fokker dialek-dialek kecil harus hilang dan itu merupakan hukum yang tak tergoyahkan, dan sebagai penjunjung pikiran untuk masyarakat yang lebih luas dialek itu harus melangkah mundur terhadap yang lebih kuat dan lebih maju. Hal ini jelas-jelas tidak bertentangan dengan garis kebijakan yang telah disusun dalam rangka pembinaan dan pengembangan bahasa daerah seperti yang telah dirumuskan berikut :

”Bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya, dihargai dan dipelihara oleh negara. Oleh karena itu bahasa itu adalah bagian daripada kebudayaan yang hidup”.

PEMBAHASAN
Bahasa Banyumasan yang sering disebut dengan istilah ”ngapak-ngapak” merupakan aset budaya Jawa yang memiliki peluang besar untuk dilestarikan baik melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal. Namun, fenomena yang kita lihat pada era kini adalah menurunnya minat masyarakat dalam penggunaan bahasa banyumasan. Dialek Banyumasan dianggap sebagai bahasa kuno yang tidak populer. Padahal tiap personal masyarakat Banyumas sendirilah yang memiliki tanggung jawab dalam pelestarian dialek lokal tersebut.

Dialek Banyumas memiliki kekhususan-kekhususan linguistik yang tidak dimiliki oleh bahsa Jawa standar. Keunggulan itu misalnya dialek dapat menutup kata-katanya dengan bunyi bersuara dan tidak bersuara. Misalnya sendok, endog, angop, abab, dsb. Di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas selain berkembang bahasa Jawa baku—sering disebut dengan istilah bahasa bandhek—juga berkembang bahasa Jawa dialek Banyumas atau bahasa Banyumasan. Bagi masyarakat di daerah ini, bahasa Banyumasan merupakan bahasa ibu yang hadir sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Bahasa Banyumasan diyakini sebagai peninggalan dari bahasa Jawa lama (bahasa Jawa Kuno dan Tengahan) yang masih bisa dijumpai hingga sekarang (Ahmad Tohari,1999). Dengan demikian bahasa Banyumasan dapat digunakan untuk mengintip pertumbuhan bahasa Jawa lama yang berkembang sebelum lahirnya bahasa Jawa baru.

Bahasa Banyumasan memiliki spesifikasi dan/atau ciri-ciri khusus yang dapat dibedakan dengan bahasa Jawa baru (standar). Beberapa ciri khusus tersebut antara lain:
(1) berkembang secara lokal hanya di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas;
(2) memiliki karakter lugu dan terbuka;
(3) tidak terdapat banyak gradasi unggah-ungguh;
(4) digunakan sebagai bahasa ibu oleh sebagian besar masyarakat Banyumas;
(5) mendapat pengaruh bahasa Jawa kuno, Jawa tengahan, dan bahasa Sunda;
(6) pengucapan konsonan di akhir kata dibaca dengan jelas (selanjutnya sering disebut ngapak-ngapak), dan
(7) pengucapan vokal a, i, u, e, o dibaca dengan jelas (Yusmanto, 2004-a).

Bahasa Jawa dialek Banyumas terbagi setidaknya menjadi sub dialek, yaitu sub dialek wetan kali (sisi timur sungai) dan sub dialek kulon kali (sisi barat sungai). Sungai yang dimaksud disini adalah sungai Serayu. Sub dialek wetan kali merupakan dialek Banyumasan yang cenderung dekat dengan bahasa Jawa standar yang dikembangkan di wilayah negarigung. Sedangkan dialek kulon kali cenderung dekat dengan bahasa Sunda. Fakta yang paling mudah ditemukan adalah nama-nama desa. Di sisi barat sungai Serayu terdapat begitu banyak desa atau tempat-tempat yang didahului kata “ci” yang dalam bahasa Sunda berarti sungai, seperti Cilongok, Cingebul, Cilacap, Cionje dan lain-lain. Ini berbeda dengan desa-desa atau tempat-tempat di sebelah timur sungai Serayu yang lebih njawani, seperti Karangsalam, Karangrau, Purwareja, Wirasaba, Somagede dan lain-lain. Kenyataan demikian tidak dapat disangkal meskipun nama-nama njawani berkembang lebih meluas hingga sisi barat sungai Serayu. Semua itu terjadi karena sungai Serayu telah menjadi batas terakhir perkembangan kebudayaan Sunda, sementara persebaran kebudayaan Jawa merambah hingga perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Lebih dari itu pada tingkat kelompok-kelompok kecil ternyata juga terdapat perbedaan-perbedaan sub dialek yang tercermin pada pilihan kosa kata, intonasi, dan gaya bahasa. Di wilayah kulon kali, terdapat banyak sub dialek seperti yang terdapat di wilayah Kalibagor hingga Purwokerto yang berbeda dengan Karanglewas dan Cilongok. Hal ini berbeda dengan yang terdapat di Ajibarang hingga Lumbir. Semakin ke arah barat, semakin kental pula warna Sundanya. Namun justru ada kekhususan, di daerah Wanareja dan sekitarnya justru banyak digunakan bahasa Jawa bandhek (standar) untuk komunikasi sehari-hari. Hal tersebut terjadi karena di wilayah Wanareja dihuni oleh orang-orang dari Wetan (wilayah Blora, Pati, Klaten dan lainnya) bekas narapidana Nusakambangan pada masa penjajahan Belanda yang tidak pulang ke daerahnya. Artinya, sejak lama di wilayah Wanareja justru telah dihuni oleh masyarakat multietnis yang memungkinkan terciptanya sub kebudayaan tersendiri di dalam konteks kebudayaan Banyumas secara keseluruhan.

Dari fakta-fakta diatas kita dapat menyimpulkan bahwa kebudayaan Banyumas dibentuk dari kebudayaan yang heterogen. Identitas kebudayaan Banyumas justru dibangun dari berbagai komunitas masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil di wilayah Banyumas. Hal ini sangat bisa dipahami karena pada dasarnya identitas budaya dibangun oleh individu-individu sejauh dia dipengaruhi oleh tanggung jawabnya terhadap sebuah kelompok atau kebudayaan (Wikipedia,2006). Karakter individu memiliki peranan yang cukup besar di sini. Karakteristik individu berakar pada identitas dasar yang dibawa semenjak lahir dan merupakan suatu anugerah yang tidak bisa dihindari. Identitas dasar itulah yang kemudian membentuk “keakuan” dan membedakannya dengan yang lain (Ubid Abdillah S., 2002:12). Karakteristik individu pada orang per orang yang mendiami wilayah Banyumas kemudian disatukan oleh perasaan kebersamaan.

Perasaan kebersamaan diwujudkan melalui berbagai cara dan ekspresi seperti yang tampak pada bahasa dan kesenian-kesenian tertentu yang berkembang meluas di seantero Banyumas. Bahwa bahasa dialek Banyumasan dengan sub-sub dialeknya merupakan ekspresi perasaan kebersamaan kaum panginyongan (Ahmad Tohari, 2006) di tengah hegemoni kebudayaan kraton Jawa. Adanya perasaan kebersamaan ini kemudian terbentuk suatu sistem kebudayaan; kebudayaan Banyumas.

Menurunnya pelestarian dialek banyumasan dengan kata lain dapat diindikasikan terjadi adanya degradasi perasaan kebersamaan yang telah menjadi sebuah tali pengikat. Menurut kajian teori dan analisis sosiolinguistik, ada berbagai sebab atau alasan mengapa suatu bahasa punah atau tidak digunakan lagi oleh penutur-penuturnya. Satu diantaranya adalah adanya dominasi bahasa atau dialek yang lebih besar baik secara demografis, ekonomis, soSial, atau politis. Dalam konteks kasus bahasa banyumasan, selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, tekanan dari bahasa Jawa juga merupakan salah satu faktornya. Banyumasan merupakan subbahasa yang kemudian mendapatkan pengaruh dari berbagai dialek disekitarnya seperti telah diuraikan diatas mengenai adanya sub-sub dialek Banyumasan.

Pemertahanan bahasa Banyumas dapat dilakukan melalui kebijakan pembinaan bahasa Jawa yang memberi peluang sebesar-besarnya bagi para penuturnya untuk menggunakan dialek Banyumasan sehingga dialek ini bisa menjadi alat komunikasi yang utama di lingkunan keluarga dan masyarakat dalam mengembangkan budaya lokalnya. Hal yang tidak kalah penting dalam sebuah pemeliharaan sebuah bahasa adalah pembentukan linguistic pride (kebanggaan berbahasa) yaitu penumbuhan rasa bangga dalam diri penutur-penutur dialek Banyumas untuk menggunakan bahasanya.

Kadar kebanggaan berdialek Banyumas apabila diukur di era kini,dapat dikatakan mengalami kecenderungan menurun. Banyak yang berpendapat bahwa pengajaran bahasa Banyumas justru akan mengganggu usaha anak dalam menguasai bahasa Indonesia. Sebagai akibatnya generasi muda tidak lagi mehir menggunakan bahasa ibunya, atau karena prestise beralih ke bahasa jawa standar, dialek Solo-Yogya. Pandangan ini sangat keliru.

Sampai sejauh ini belum ada bukti yang manguatkan bahwa pembelajaran dua bahasa atau lebih dapat menimbulkan gangguan. Pada dasarnya setiap orang juga memiliki kemampuan menguasai bahasa pertama dan bahasa lain setelah bahas pertama. Orang-orang bilingual- yang menguasai lebih dari satu bahasa- justru memiliki banyak keuntungan. Mereka dapat melihat sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda, bahkan bertentangan sehingga dapat lebih toleran menghadapi perbedaan-perbedaan yang muncul.

Jadi dalam pembelajaran bahasa, kita tak bisa menerapkan sikap yang “hitam-putih” bahwa munculnya satu bahasa akan mendominasi bahasa lain. Hal yang perlu ditekankan adalah positioning dari penggunaan bahasa tersebut. Belajar bahasa Banyumas bukan berarti kemudian kita lupa terhadap bahasa Indonesia dan dalam kesehariannya full Banyumasan. Namun sebagai kebanggaan serta komunikasi antar penduduk lokal, penggunaan dialek Banyumasan merupakan taste tersendiri dalam sebuah interaksi.

PENUTUP
Dialek Banyumas merupakan aset budaya yang harus kita pertahankan dan lestarikan. Pemertahanan bahasa melalui penumbuhan linguistic pride merupakan cara yang ampuh dalam pemertahanan bahasa. Dengan tetap menghormati bahasa nasional serta bahasa jawa standar, maka akan tumbuh masyarakat bilingual di Banyumas yang mampu memiliki sikap toleransi yang lebih disbanding masyarakat monolingual. Sikap ini sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang didasarkan atas kemajemukan dan juga dalam interaksi dengan bangsa-bangsa lain dalam era globalisasi. Sebuah kutipan berikut patut kita simak :
“ To this one might add the observable advantages of bilinguals or multilinguals who are more used to switching touht paterns and have more flexible minds. Being familiar with different , often contradictory concepts, they are more tolerant than monolinguals, and more capable of understanding different sides of problem.” (de Cuellar, 1996, 179).





Read more ...

PORSENAF UNSOED ’08 : “Yours Colur is Our Pride”



Selama kurang lebih dua pekan ini kampus perjuangan Jendral Soedirman tampak meriah. Ada perhelatan yang sedang diadakan disana, PORSENAF ’08 , Pekan Olahraga dan Seni Antar Fakultas.

Hari ini tepatnya hari ke -8 PORSENAF ’08. Nta masih inget sms dari PR III yang meminta kesediaan nta untuk melaksanakan PORSENAF. Nta bingung, terus terang ini adalah sesuatu yang membingungkan. Mekanismenya saja sudah salah. Permasalahan organisasi mahasiswa di tingkatan universitas menjadikan masalah ini menjadi kabur.

Status nta waktu itu masih jadi sekretaris umum BEM UNSOED. Birokrat hingga detik itu belum mengakui adanya BEM U dengan berbagai alasan.

Nta diminta melaksanakan PORSENAF itu atas nama personal, bukan atas nama BEM U. Bersama mas Fauzan dan mas Surya. Kebetulan mas Fauzan itu dari FORMAKAF dan Surya dari FKUU.

Saat menerima permintaan itu, nta menyampaikannya kepada mas Begs (presiden BEM UNSOED). Dalam pikiran nta, kenapa tidak BEM saja yang menghandle acara ini. Nta rasa ini peluang, bukan sekedar peluang untuk mendapatkan legalitas, tapi juga peluang untuk melakukan ”kerja nyata” pada mahasiswa. Mas Begs waktu itu ngomong :” jangan buru-buru ambil keputusan, ada yang menarik, bisa jadi ini skenario”.

Nta bingung (sebenarnya sieh sok bingung aja..he3). Nta ngerti permasalahan antara BEM dan birokrat tapi nta gak setuju kalo digeneralisir kita menolak rapat ke birokrat. Kita kan organisasi intra kampus, bukan organisasi independen.

Sore itu langsung diadakan pleno BEM U (gak pleno sieh sebenarnya...soalnya yang dateng ya Cuma itu2 aja). Nta mencoba menwarkan PORSENAF pada BEM U, walaupun yang diminta oleh PR III adalah nta secara personal bukan BEM U. Tapi ternyata temen-temen BEM U menolak. Alasannya banyak...(nta gak inget banget), yang nta inget adalah bahwa BEM U menolak untuk merapat ke birokrat. Jujur, itu nta anggap sebagai awal mula nta mulai agak ”kontra” ke temen-temen BEM U. Apalagi ketika itu ada yang ngomonong ” ya...itu adalah ujian buat kita”. Deuh..jujur nta nggak habis pikir dengan jalan pikiran mereka yang ”cupu”.

Ya, kalo ini emang skenario, kita juga jangan selalu bermain dalam ”asumsi” donkz!!!, harusnya kita bisa juga melawan ”skenario”itu. Jujur, nta gk punya asumsi atau kepentingan apa-apa. Nta berbicara dan bersedia untuk menghandle PORSENAF atas nama nta sebagai mahasiswa dan orang yang sedikit punya sense of art. Nta masuk ke UNSOED bukan hanya ingin kliah tapi juga mengembangkan potensi, salah satunya minat dan bakat di bidang seni. Nta butuh wadah-wadah speerti PORSENAF untuk mengapresiasikan diri.

Yach...akhirnya ide nta untuk mengajak BEM U menghandle PORSENAF gak terealisaskan. Tapi nta jalan terus untuk melaksanakan PORSENAF ini.

Kalau ditanya siapa aja yang ada dibalik PORSENAF UNSOED. Bisa dihitung dengan jari. Yang inti sieh sebenarnya dua orang, nta n mas fauzan. Tentunya kemudian dibantu sama teman-teman lain dan panitia-panitia kecil di tingkatan UKM.

Dua puluh tujuh maret, pembukaan PORSENAF UNSOED ’08 dilaksanakan. Nta masih inget kata-kata mas Fauzan mengenai keyakinan aan berjalannya PORSENAF UNSOED. Lepas dari siapa itu fauzan....

Yeah..sekarang bisa dibilang kos-an kayak sekre PORSENAF, sekretarisnya nta n bendaharanya juga temen satu kos. Jadi kalo malem kita rapat sendiri.

Tapi nta bener-bener ngerasain bisa menyatu banget sama mahasiswa saat menjadi panitia porsenaf ini. Nta ngliat temen-temen yang tadinya terlihat ”apatis” kini mau turun demi membela nama almamaternya. Nta berfikir seandainya kita bisa merangkul danmengarahkan potensi temen-temen itu, gak ada lagi yang namanya demo ”krisis kader”. Yeah..pelan-pelan semua bisa ta!!!banyak sekali memang ujian dan cobaan. Yang penting cobalah bijak dengan melihat sesuatu dari banyak sudut pandang, kalo dulu kata pemateri di LKII berfikirlah secara lateral.

Perjuangan ini masih panjang, kerikil tajam masih banyak, tetap istiqomah dan perkuat azam. YAKUSA!!!



Read more ...

SEMANGAT INDIE DARI BUMI SATRIA


(Purwokerto) Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama, manusia mati meninggalkan karya. Apa yang akan kita wariskan pada dunia ini? Karya merupakan sumbangsih dalam hidup kita, dengan berkarya maka disitulah kita menunjukan eksistensi diri. Semangat berkarya, frasa itulah yang kemudian menjadi motivasi dasar dan perbincangan hangat malam itu, Kamis (13/03) kemarin pada acara launching dan bedah buku indie yang diselenggarakan oleh komunitas teater kampus sastra UNSOED.

Acara yang dihadiri oleh sejumlah penggiat seni di kota Purwokerto itu berlangsung cukup meriah. Bertempat di ruang teater (hall) kampus jurusan Ilmu Budaya ISIP UNSOED, pada acara itu diluncurkan dua buku antologi puisi dan cerpen yang ditulis oleh Ryan Rachman dan Dwiana Jati Setiaji.

Dua buku yang dihasilkan oleh dua mahasiswa ini merupakan bagian kecil dan salah satu dari sekian juta gebrakan karya indie. Karya indie merupakan sebuah hal yang cukup populer di kalangan anak muda. Mulai dari musik indie, film indie, hingga karya-karya lain. Munculnya budaya indie memang bukan suatu hal yang baru. Puncak dari gerakan indie saat itu adalah terselenggaranya Woodstock di tahun 1969, sebuah konser musik paling legendaris dalam sejarah umat manusia saat ini. Jiwa indie dipengaruhi oleh semangat untuk mendobrak kekuatan mayor label yang dianggap menghalangi kreatifitas.
Budaya dan hiburan memang merupakan inkoorporasi perusahaan yang dijiwai motiv ekonomi. Suicide is solution! Begitu salah satu judul lagu dari judisprice yang menumbuhkan semangat ”Do it Your Self”, sebuah semangat yang menjjadi ruh gerakan pemnberontakan pada kekuatan mayor label yang dianggap menghalangi kreattivitas.

Pembahasan karya indie menjadi topic yang hangat malam itu. Acara yang dibagi menjadi empat session diskusi dan empat session pembacaan puisi itu berlangsung meriah. Selain kedua penulis karya indie itu, hadir juga sebagai pembedah buku serta pebicarai Alif. V.Essesi dan M.Ayatullah, dan moderator Shinta A.U. Pembedah serta pembicara yang dihadirkan merupakan dua tokoh yang namanya sudah tak asing lagi di dunia teater Purwkerto.

Dalam diskusi malam hari itu juga membahas bagaimana membuat sebuah karya indie. Semangat yang kuat memang terlihat dari karya-karya indie. Semangat untuk berkarya dan terus berkarya, karena hidup ini adalah untuk berkarya. (nta)


Read more ...

Om, Pakdhe, Mbah kami............... In Memoriam


Beliau putra keempat dari tujuh bersaudara. Aku memanggilnya pakdhe Udin karena papa merupakan adik dari beliau. Om dink, demikian para sanak saudara yang lain memanggilnya. Buat yang ada di generasi ketiga (Nta itu generasi kedua) Keluarga Besar Djahrie, memanggil beliau dengan sebutan ”Mbah Dink”.
Dua puluh Maret dua ribu delapan pukul 07.30 kemarin, pakdhe, om, dan kakek kami tercinta tutup usia di RS. St.Corelius (bener nggak tulisannya???nta lupa..........., pokokna yang di Salemba itu deh...).

Sosok pakdhe di mata nta adalah seorang yang ulet. Beliau adalah seorang workaholic, pekerja keras. Itu juga yang diakui oleh rekan-rekan sekantornya pada saat takziyah kemarin. Pakdhe adalah orang yang tak pernah absen kerja dengan alasan sakit. Nta juga masih ingat waktu itu, masih pagi-pagi betul pakdhe udah nyampe di rumah budhe Ti di Minyak Raya untuk urusan bisnis. Padahal pakdhe tinggal di kebun kopi, jaktim (eh tp waktu itu kl gk dr kebun kopi ya dari di Matraman rumahnya yang satu lagi).
Pesan yang selalu diberikan ke nta adalah ”Harus jadi orang....” (emang gw setan????he3). Ya...beberapa hal yang bisa diteladani adalah keuletan dan kegigihan beliau. Semua itu pakdhe lakukan untuk putra-putrinya tercinta. Tiga orang arjuna dan satu orang srikandi. Kasih sayang yang diberikan pada keempat permata-nya itu sungguh tiada terkira.

Mas Eko, putra sulungnya. Walaupun di usia yang seharusnya dia sudah menjadi sosok yang berdikari, masih terlihat bagaimana mas Eko belum bisa dipisahkan dari sang pakdhe. Bukan masalah manja, namun begitu kuatnya kasih sayang pakdhe kepada beliau. Kini, mas Eko harus sudah menjadi laki-laki dewasa, yang menggantikan pakdhe untuk mengayomi adik-adiknya.

Mas Kiki, sosok pendiam berkacamata tebal ini tak luput dari hujanan kasih sayang pakdhe. Nta tau persis bagaimana pakdhe sangat berusaha keras untuk pendidikan dan apa yang diinginkan oleh salah satu permata ini. Eh, mas Kiki ini juga orang yang asik diajak ngobrol walaupun keliatan pendiem banget. Yang nta inget banget tuh, disaat kita-kita lagi berenang, mas Kiki lah yang bersedia untuk menjadi penjaga barang-barang kita n jadi fotografer (kesannya jahat sieh...tp suer...mas Kiki itu baek banget, he3).


Mas Prinono
. Makhluk yang satu ini emang yang paling jarang nongol. Terlalu asyik dengan dunianya sendiri kali ya???!!! Maz yang satu ini jago design grafis, dulu pernah gawe di salah satu prodution house (duh...nta lagi-lagi lupa namanya). Eh, tp maz Prie ni orang yang asyik n agak ”bocor” he3. Keliatannya aja pendiem. Tp, sumpeh dah, kl udah ngobrol, diajak ”bocor” juga yuk mari.... Lebaran kemaren nggak dateng sieh!! Kalo lebaran sebelumnya sieh sempet dateng, malah kita sesama generasi kedua ngobrol di deket box wartel...inget nggak???malah sempet ngobrolin tentang laundry..yang ngocol abiz itu??? Yang mbak iwik malah ngomong ” Loe shin, kepala dikerudungin, mikirnya gituan juga...he3”. Inget nggak mas prie??? (Kalo udah lupa juga gpp, tp yang pasti nta masih inget raut canda tawa n renyahnya tawa kita ...)

Dhe Nita. Nie dia sepupuku dari pakdhe Udin yang gw sayang. Yach...secara dia tuh cewek sendiri diantara tiga kakak cowok-nya itu. Nta menaruh harapan besar sama dia. Kapan kita sharing2 lagi non??? Jaga diri ati-ati ya... Pokoknya..kita semua sayang kamu. Nta sayang semuanya.................mmuachh............!!!!!



Read more ...

Dua Pesta


“ Huui..nie diena, jd ikut nggak??”

Sebuah pesan singkat singgah di ponselku di sela-sela kesibukan siang itu. Dari keponakan. Si diena emang lumayan deket sama nta. Curhatanna macem2, dari urusan cowok sampe urusan bonyok. Yups, tanggal 21 kemaren mang ada akad nikah salah satu sepupu.Si Diena mengharap nta bwt nginep di rumahnya selama di jkt . Dari satu bulan sebelumnya udah di-prepare sieh. Tapi...blm pasti juga mau datang or nggak. Nelpon ke rumah juga katanya gk ada yg sempet dateng. Hubungi mas Ardan, eh kakakquw terchayank nie ternyata lg mid exam.
Jadi males juga dateng. Pengen menghabiskan long week end di kos-an tercinta (wuuek…)
Hari Kamis pagi kutelpon rumah, kupastikan mo dateng nggak nieh ke srengseng. Ternyta jawabannya cukup melegakan “ Udah, gk usah dateng juga gpp, ntar ada mas Ardan nie yang dateng”. Yeah…untuk sekali ini harus minta maaf sama dhe’ dhina. Maaf ya chayank….besok2 kita curhat n maen2 bareng lagi.
Masih di hari Kamis, kira-kira jam sepuluh pagi (4 jam setelah nta nelpon ke rumah), eh gentian papa yang nelpon ke kos. Nta disuruh buru-buru balik. Sebuah kabar duka datang, pakdhe meninggal dunia. Hampir-hampir nggak percaya sieh. Soalnya ya itu masih kepikirannya di keluarga besar memang lagi ”nduwe gawe”
Yups, alhasil, hari itu, di keluarga besar, ada dua perhelatan besar, dua pesta, pernikahan dan kematian.
Sebuah pelajaran juga, ajal itu tidak melihat tanggal. Semua datang dengan skenario dariNya. Bisa kapan saja. Sebuah pelajaran bagi pribadi untuk senantiasa merefleksi diri untuk senantiasa membekali diri menghadapi pengadilan abadi nanti.

Read more ...

Otak Diatas Normal





Hari ini, otak gw diatas normal. Tau deh, semua keliatan butek-butek cerah (maksudnye???). Setelah menghabiskan long week end bareng keluarga, tiba saatnya buat balik ke koz.
Siang tadi bobo siang. Kayaknya gara2 bobo siang itu deh. Biz maghrib, rapat kos2an gw juga gelo. Ditambah biz itu si Fauzan bareng Ade dateng ngasih tugas2 panitia. Biz itu dengerin musik...kyak ada rasa gimana gitu... nta akhirna sms2 orang gk jelas deh.
Biz itu ngebuka laptop vera, Seli ngajakin nonton (tp masa mo nonton AAC lagi??? Eneg ah..liat tuh film!!!). Yach...kupelajari aja proposal bisnis dari seorang abang..... Agak ”lurus” dikit abiz itu. Agak konsen mikirin bisnis yang nta sendiri agak bingung n nggak yakin.
Tapi biz di-sms ”ya..besok di call...”
Udah deh...balik ”miring” lagi otakku.he3. nieh lagi ngetik tulisan-tulisan curahan isi hatiku (ceile...)

Read more ...