Pages

Monday, April 30, 2007

"EROMOKO" on the stage.... (invitation)


.......disini kita belajar untuk tidak menyerah pada takdir dan tak luput pula dari kehidupan........

sebuah naskah dari Bayu Murdianto,sebuah wujud eksistensi kami sebagai komunitas sastra, sebuah refleksi humanitas kami sebagai manusia yang bercipta, rasa, dan karsa.

mohon apresiasinya..... AULA PSBS UNSOED(KAMPUS KALIBAKAL), Senin 30 APRIL '07 jam 19.19 WIB.

--Salam Budaya--
Read more ...
Saturday, April 21, 2007

AKU INGIN JADI GERMO




Cerpen oleh : Shinta ArDjahrie

Senja memerah. Tiupan angin senja ini terhitung lemah di akhir musim dingin kali ini. Mungkin tak berapa lama lagi, perannya harus digantikan kemarau yang meretakan lapisan tanah. Gemuruh akan mulai menghentikan seriosa-nya sekedar memberikan ruang pada percikan tajam sinar mentari.

Hujan-panas…tetaplah panas. Setidaknya itu yang kurasakan di rumah-kalau harus disebut rumah-ini. Entah seperti apa sejuk itu, ingin sekali aku merasakannya. Air conditioner yang terpasang di ujung ruangan itu memang keluaran perusahaan ternama. Semerbak aroma terapi konon katanya pula membuat perasaan menjadi relax.

Namun, selalu saja hawa gerah yang terasa, apalagi kalau sudah menginjak senja.

Dering ponsel memberi warna senja itu ditengah-tengah bising musik country. Sesosok wanita sintal dengan tergopoh-gopoh mengangkat nokia 9100 dengan chasing warna menyala itu.

“…………..!!……!!!ya..ya…tenang aja…barang baru pasti kualitas yahud!”

Entah apa yang diobrolkannya, yang pasti kalimat itu menjadi akhir pembicaraan mereka. Aku hanya paham derai tawa genit yang sesekali mewarnai perbincangan wanita itu.

Cantik. Wanita itu maksudku. Dia memang wanita. Tentu saja cantik. Kalau ganteng itu ya pria.

Senja ini, tak seperti biasanya wanita itu tampak terburu-buru. Biasanya jam-jam segini, dia sudah rapi dengan dempulan powder, olesan lipstick, sentuhan blush on, eye liner, maskara, serta “pernak-pernik” lain.

Rupa-rupanya si wanita mempunyai selera sentuhan minimalis. Hal itu bisa terlihat dari cara berbusananya. Dari atas sampai bawah, sungguh “minimalis”, hingga kemolekan tubuhnya seperti manekin yang dapat dinikmati dengan mudah oleh siapapun.

Namun dia tetaplah cantik. Bagaimanapun dia, tetap cantik di hatiku. Gurat wajahnya menunjukan betapa kehidupan ini telah membuat ia harus bekerja keras.

Kau memang cantik………..ibuku!!!

*****

“Bener kamu mau kerja disini nduk?”

“Ya bener lah yu, …aku ya juga nggak enak numpang dan ngrepotin keluarga mbakyu terus-terusan. Aku kekota ya pengen kerja”

“Nggak usah nggak enak-nggak enakan kayak gitu. Aku ini kan juga mbakyu-mu. YA sudah, bentar lagi kamu bakal ketemu mamih”

“Mamih itu siapa tho Yu?”

“Dia yang bakal ngasih kamu kerjaan. Dia juga bigboss-ku. Mamih baik kok orangnya. Aku sama teman-tema dulu ditolong mamih waktu bingung cari kerjaan. Kamu liat sendiri toh hasilnya?aku bisa ngirim duit buat kalian di rumah”

“Iya..iya yu! Aku ya pengen punya duit sendiri. Mamih itu baik ya orangnya? Kok di jaman kayak sekarang masih ada orang kayak gitu!”

“”Iya,mamih juga sebenarnya bijaksana. Dia kadang jadi tempat ngadu kita kalau lagiada masalah. Berkat mamih kita semua bisa sejahtera kayak gini. Asal kamu jangan cari gara-gara, mamih juga nggak bakal galak sama kamu”

“Iya….iya…wah, mamih itu orangnya baik ya….kayak malaikat”

Obrolan dua bersaudara katro itu terhenti saat seorang wanita keluar dari ruangan sebelah yang dibatasi kain gorden warna merah menyala.

Kadang karena bosan, aku lebih memilih tidak berada di umah di saat-saat senja seperti ini. Berbgai macam permainan di rumah Sonya- sepupuku- lebih membuat aku tertarik hinga kerap kali aku menginap di rumahnya. Walau sebenarnya aku juga melihat beberapa mainan yang sama antara dirumahku dan dirumah Sonya. Sonya punya koleksi boneka-boneka barbie yang cantik-cantik lengkap dengan pernak-perniknya. Tapi aku punya yang lebih hebat. Banyak boneka- boneka cantik di rumahku. Mereka hidup. Bisa tertawa, menangis, bernyanyi, menari, dan lain sebagainya. Sonya pasti iri melihat boneka-boneka di rumahku lebih hebat. Apalagi ibuku yang merawat boneka-boneka itu. Kata boneka-boneka itu, ibuku baik hati. Apa tadi kata wanita itu??? Ibuku seperti malaikat.

Aku juga ingin seperti ibu. Wanita-wanita cantik itu patuh pada ibu. Kalau aku jadi seperti ibu, mereka juga pasti patuh padaku. Nanti aku ingin menyuruh mereka menipiskan dandanan yang seperti topeng itu. Aku juga akan membelikan mereka baju-baju yang lebih bagus yang lebih sopan yang nggak sobek sana-sini (mungkin mereka habis dimarahin Tukul Arwana, hingga baju mereka disobek-sobek). Aku juga akan melarang mereka kerja di malam hari. Kasihan…..pasti mereka ngantuk kalau harus kerja hingga larut malam. Kerjanya pagi-pagi saja. Mereka kan bisa menjahit, menyulam, merangkai bunga, mengasuh anak, dan lain-lain.

Mereka pasti mau menurut padaku……sama seperti mereka menurut pada ibuku…..karena ibuku malaikat bagi mereka………..karena ibuku seorang Germo!!

Aku ingin jadi malaikat juga……Aku ingin jadi germo!!!

Grendeng, 21 April 2007
Read more ...

Wirausaha Sosial Perempuan



oleh :R. Valentina Sagala *)

"Nya atuh Uwi, ari Uwi panting jeung keukeuh hayang
mah, mugi-mugi bae dimakbul ku Alloh nu ngawasa
sakuliah alam, urang nyoba-nyoba nyieun sakola
sakumaha kahayang Uwi. Pikeun nyegah bisi aya
kateungeunah di ahir, sakola teh hade lamun di pendopo
wae heula. Lamun katanyaan henteu aya naon-naon, pek
bae pindah ka tempat sejen".

Ucapan itu terlontar dari Bupati Bandung R.A.
Martanegara yang terkejut mengetahui Raden Dewi
Sartika (yang disebutnya neneh/nama panggilan "Uwi")
hendak menghadap dan ingin mendirikan sekolah bagi
wanita pribumi. Pada masa itu, posisi perempuan masih
-meminjam istilah Sunda- patih goah yang harus selalu
duolang tinande. Ia memang disebut sebagai "patih",
tetapi hanya di goah atau ruangan yang letaknya di
belakang rumah, tempat menyimpan makanan (Pikiran
Rakyat, 04/12/03).

Tantangan Perempuan
Meski ratusan tahun berlalu, seiring dengan
pembangunanisme Orde Baru, hingga kini sejumlah
persoalan masih menyelimuti perempuan Indonesia.
Kebijakan pembangunan yang bertumpu pada jargon
stabilitas terbukti mengantar Indonesia pada krisis
ekonomi berkepanjangan, terutama saat krisis multi
dimensi menjelang 1998 yang menyebabkan banyak
keluarga miskin mengirimkan anak-anak untuk mencari
nafkah.

Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 1999, sekitar
1,5 juta anak berusia 10-14 tahun bekerja membantu
keluarga. Mayoritas mereka bekerja di sektor pertanian
(69%), industri (11%), dan jasa (4%). Data Kementrian
Pendidikan menunjukkan bahwa 7,5 juta dari total 38,5
juta anak usia 7-15 tahun tidak bersekolah, sedangkan
sekitar 4% dari mereka terpaksa putus sekolah. Meski
dari jumlah tersebut tidak seluruh anak itu bekerja,
mereka yang putus sekolah atau sama sekali tidak
bersekolah cenderung mencari pekerjaan dan beresiko
terlibat dalam bentuk pekerjaan yang berbahaya.

Berdasarkan BPS, tahun 2005 jumlah penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan mencapai 35,2 juta
jiwa atau 15,8% dari total populasi penduduk. Maret
2006, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 39,05
juta atau 17,75 persen dari total populasi. Kemiskinan
terbesar berada di wilayah pedesaan dan sektor
pertanian.

Krisis berkepanjangan semakin memicu menurunnya daya
beli, terutama masyarakat miskin. Kondisi ini
berimplikasi terhadap pertumbuhan angkatan kerja yang
semakin hari semakin meningkat, baik kuantitas maupun
permasalahan. Pada tahun 2001, dari penduduk provinsi
Jawa Barat, jumlah anak yang berusia 1-19 tahun
sebanyak 7.151.924 orang. Penelitian PKBI Jawa Barat
di beberapa lokalisasi pelacuran di Bandung tahun 2003
menunjukkan bahwa 24% dari mereka memasuki dunia
prostitusi ketika berusia anak.

Kemiskinan memang menjadi momok mengerikan bagi
Indonesia dan negara miskin berkembang lainnya. Itulah
mengapa Indonesia menyatukan komitmennya bersama 189
pemimpin negara lain guna mengubah dunia menjadi lebih
baik, dengan mendeklarasikan pencapaian Tujuan
Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals
(MDGs).

MDGs yang menargetkan pencapaian perubahan pada tahun
2015, memberikan ruang untuk pemenuhan kebutuhan dasar
seluruh warga, menjamin warga bebas dari rasa takut,
dan menjamin hak warga untuk hidup bermartabat dalam
kerangka hak asasi manusia.

Delapan poin MDGs adalah: (1) menghapuskan tingkat
kemiskinan dan kelaparan, dimana target untuk 2015
adalah mengurangi setengah dari penduduk dunia yang
berpenghasilan kurang dari 1 dollar AS sehari dan
mengalami kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar
secara universal, dimana target tahun 2015 adalah
memastikan bahwa setiap anak, laki-laki dan perempuan
menyelesaikan tahap pendidikan dasar; (3) mendorong
kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan, dimana
target 2015 adalah mengurangi perbedaan dan
diskriminasi gender pada semua tingkatan; (4)
mengurangi tingkat kematian anak, dimana target tahun
2015 adalah mengurangi tingkat kematian anak usia di
bawah 5 tahun hingga dua pertiga; (5) meningkatkan
kesehatan ibu, dengan target 2015 adalah mengurangi
rasio kematian ibu dalam proses melahirkan hingga 75%;
(6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya;
(7) menjamin keberlanjutan lingkungan serta
merehabilitasi sumber daya yang hilang, dimana tahun
2015 ditargetkan jumlah orang yang tidak memiliki
akses air minum yang layak dikonsumsi berkurang
setengahnya; (8) mengembangkan kemitraan global untuk
pembangunan.

Kenyataannya, di kawasan Asia-Pasifik hingga kini
jutaan orang, sebagian besar anak, tidak berpendidikan
dan tidak memperoleh makanan secara tetap. Perempuan
dan anak perempuan masih mengalami diskriminatif.
Sebanyak 20 anak meninggal tiap menit karena
kemiskinan dan penyakit yang bisa dicegah. Dua
perempuan meninggal tiap jam sebagai akibat kehamilan
atau melahirkan. Amrtya Sen menyebut, 100 juta
perempuan ‘hilang’ akibat hal-hal seperti pembunuhan
bayi perempuan, trafiking, pembunuhan, HIV/AIDS, dan
wabah lain terus merebak. Lebih banyak orang ‘hilang’
akibat kelaparan dan penyakit, ketimbang konflik,
peperangan, dan bencana alam.

Tak heran baru-baru ini Indonesia dinyatakan termasuk
di jajaran negara yang mundur dalam upaya pencapaian
MDGs (Kompas, 03/03/2007). Laporan "A Future Within
Reach" maupun Laporan MDGs Asia-Pasifik 2006
menempatkan Indonesia dalam kategori terbawah, dengan
skor negatif, baik dalam indeks kemajuan maupun dalam
status terakhirnya.

Kewirausahaan Sosial
Apa yang dilakukan Dewi Sartika, demikian pula yang
dilakukan Raden Ajeng Kartini yang hari kelahirannya
diperingati seluruh negeri ini setiap 21 April,
merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah
perubahan kondisi perempuan Indonesia. Perubahan,
inilah kata kunci yang terus menyemangati kedua
perempuan ini untuk melahirkan gagasan dan mewujudkan
selama masa hidupnya.

Dalam masyarakat, ditemukan individu-individu istimewa
dengan visi, kreativitas, komitmen kerja dan keteguhan
hati yang luar biasa -sebagaimana seorang wirausaha-
dan mengabdikan kemampuannya ini untuk memperkenalkan
solusi baru pada masalah-masalah sosial dalam
masyarakat. Individu ini melihat jauh ke depan,
berinovasi, baik dalam isu lingkungan, pendidikan,
pengembangan masyarakat, kesehatan, atau bidang lain
yang berhubungan dengan kebutuhan manusia. Merekalah
yang dikenal sebagai wirausahawan sosial (social
entrepreneur) (Pikiran Rakyat, 27/10/05).

Seperti Kartini dan Dewi Sartika, dengan gagasan baru
dan kreativitasnya dalam menyelesaikan permasalahan
sosial, para wirausahawan sosial ini berdedikasi pada
visinya mewujudkan pola baru dalam masyarakat. Dengan
keteguhan hati dan pantang menyerah, mereka bergelut
menjawab tantangan yang menghadang. Mereka menunjukkan
sikap, kepemimpinan, dan orientasi, disertai
keberanian untuk melakukan hal yang berbeda bahkan
beresiko. Dari sinilah, selain memecahkan masalah
sosial, mereka memberikan manfaat dan pengaruh yang
besar dan meluas untuk perubahan.
Sayangnya, sektor ini yang justru masih dipandang
sebelah mata oleh pemerintah Indonesia. Padahal tidak
dapat dipungkiri, pelaksanaan MDGs misalnya, bukan
berlangsung di gedung-gedung mewah dan bertingkat di
Jakarta, melainkan justru di daerah-daerah pelosok
dengan permasalahan kongkrit dan mendesak. Dengan kata
lain, solusi sesungguhnya bisa muncul dari ‘lapangan’,
dan bukan di depan laptop seharga Rp. 22 juta.

Dunia mulai diingatkan tentang kewirarusahaan sosial,
ketika penghargaan Nobel tahun 2006 jatuh ke tangan
seorang wirausahawan sosial bernama Muhammad Yunus.
Yunus adalah anggota Global Academy Ashoka, dimana
Ashoka dikenal sebagai sebuah organisasi global
pertama yang mengembangkan konsep kewirausahaan
sosial. Berkat gagasannya memberantas kemiskinan
melalui sistem keuangan mikro yang lebih dikenal
sebagai Grameen Bank, Yunus telah membantu jutaan kaum
miskin di Bangladesh, terutama perempuan yang selama
ini sangat sulit memperoleh akses.

Melalui Grammen Bank, Yunus membangun sistem untuk
memperoleh kesejahteraan yang lebih baik di tengah
kemiskinan yang mencekik. Ia membuktikan pentingnya
sistem perbankan berubah menjadi sensitif dan
berdampak pada masyarakat miskin, khususnya perempuan.
Ia tidak hanya menginspirasi masyarakat Bangladesh,
tetapi juga masyarakat dunia.
Dalam bukunya How to Change the World (2004), David
Bornstein memaparkan bagaimana wirausahawan sosial di
dunia, yang hampir tak terliput oleh media, telah
mengubah sejarah dunia dengan terobosan berupa gagasan
inovatif, memutus sekat birokrasi, mengusung komitmen
moral yang tinggi dan kepedulian mengagumkan yang akan
terus menjadi sumber inspirasi. Ia menceritakan
puluhan kisah, seperti Jeroo Billimoria (India) yang
membangun jaringan perlindungan anak terlantar, Vera
Cordeiro (Brazil) yang mereformasi perawatan
kesehatan, atau Veronika Khosa (Afrika Selatan) dengan
model perawatan berbasis rumah (home-based care model)
untuk penderita AIDS, yang telah mengubah kebijakan
pemerintah tentang kesehatan di negaranya.

Di Indonesia, sebuah contoh kecil kisah wirausahawan
sosial dapat dilihat dari sosok Tri Mumpuni. Perempuan
ini gelisah atas fakta bahwa sekitar 75 juta penduduk
Indonesia masih hidup tanpa layanan listrik.
Pembangkit listrik mikrohidro telah dilakukan selama
bertahun-tahun, dan meskipun secara teknis dinyatakan
layak, namun hambatan finansial dan aturan
perundang-undangan membatasi potensinya sebagai solusi
berskala besar. Dengan penciptaan insentif ekonomis
dan pengembangan program-program pembiayaan, Mumpuni
berhasil membantu masyarakat pedesaan Indonesia
memperoleh layanan listrik.
Bagi Mumpuni, kunci pengadaan listrik pedesaan
terletak pada adanya sistem berbasis komunitas
berkesinambungan, yang ditentukan oleh kepemilikan
masyarakat. Sistem ini memungkinkan masyarakat berbagi
pendanaan, ikut mengambil keputusan pada perencanaan,
pengoperasian, pemeliharaan, dan pengembangan
program-program pedesaan sebagai dampak dari
pendapatan yang diperoleh.

Di desa Cinta Mekar, Jawa Barat misalnya, masyarakat
kini mampu memperoleh pendapatan dari pengembangan
usaha energi listrik ini. Tidak hanya usaha ini mampu
memberi penerangan kepada sekitar 620 keluarga atau
3.000 jiwa, namun ia telah menstimulasi kegiatan
ekonomi yang menyerap tenaga kerja dan memfasilitasi
kegiatan sosial lainnya seperti pendidikan, kesehatan,
dan lain-lain (Ashoka, 2007).
Di Indonesia, individu-individu seperti ini sangatlah
dibutuhkan. Pemerintah seharusnya mulai memberikan
dukungan dan menciptakan iklim kondusif bagi kehadiran
para agen perubahan ini. Dukungan yang berakar pada
satu tekad, mengubah Indonesia menjadi lebih baik,
lebih sejahterah, lebih damai, lebih adil, bagi
laki-laki dan perempuan... Selamat Hari Kartini!

*)Aktivis Perempuan, Executive Board of Institut
Perempuan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Katholik
Parahyangan.

(Judul asli: Kartini, Dewi Sartika, dan Kewirausahaan
Sosial)
Read more ...
Thursday, April 05, 2007

Aksi Mahasiswa UNSOED Anti BHP


pengantar : ni foto aksi tolak BHP UNSOED waktu tanggal 21 Maret 2007. WUih....seru lho. Tau nggak waktu itu, nta ikut dari awal.Dari awal Cuma dua orang nta sama mas Anas LAPMI (Presiden DEM D3Bhs.Inggris) trus kita ke pendopo trus ke start di Fabio...trus jemput massa dari fakultas ke Fakultas hingga mencapai ratusan orang (yeah,,,,kalo diitung sama Dalmas-nya bisa nyampe 2000 orang lah...he...he...he.... )Pokoknya pengalaman yang tidak terlupakan. Sampe capeeeek banget. Tapi perjuangan belum selesai, walaupun di hari Sabtu-nya (24/3/07) dilanjutin lagi demonya. malah hampir chaos. nieh beritanya ada di bawah. Buat Temen-temen KBMU : Keep spirit, perjuangan kita belum selesai, HIDUP MAHASISWA!!!.

nb : eh ada cerita2 lucu n seru waktu demo lho...tapi ntar deh nta posting lain kali aja....he..he...


Mahasiswa Unsoed Blokade Jalan (Suara Merdeka, 26 Maret 2007)

* Adang Rektor saat Wisuda

PURWOKERTO - Sekitar seratus mahasiswa dari berbagai fakultas dan progam sarjana yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Unsoed Anti-BHP, Sabtu (24/3), mengadang Rektor Prof Dr Sudjarwo yang akan mewisuda sarjana (S-1), diploma tiga (D-3), dan pascasarjana (S-2), di Gedung Pertemuan Soemardjito, Jl Kampus. Aksi tersebut lanjutan aksi-aksi sebelumnya yang menuntut Unsoed menolak program BHP dari pemerintah.

Untuk berdialog dengan rektor, mahasiswa terpaksa menggelar aksi di sekitar lokasi wisuda. Mereka menutup akses masuk ke Gedung Soemardjoto. Sebaliknya, agar tidak mengganggu kegiatan tersebut, pihak kampus juga menghadang demonstran dengan memblokade jalan menggunakan papan pengumuman dan pagar betis anggota satuan pengamanan kampus.

Mereka saling berhadapan dan beberapa kali terjadi ketegangan, terutama saat mahasiswa memaksa untuk maju. Karena jalan diblokade, para wisudawan dan pengantar mereka kesulitan untuk lewat, baik saat berangkat maupun pulang.

Jalan yang tertutup rapat oleh blokade satpam dan mahasiswa yang beraksi itu juga dikeluhkan para wisudawan dan tamu undangan.

Saat wisuda usai, mahasiswa juga gagal menemui rektor di lokasi tersebut. Sebab, rektor dan jajaran pembantu rektor serta pejabat lainnya bersedia menemui demonstran di rektorat. Pertimbangannya, bila ditemui di lokasi aksi, tidaklah memungkinkan. Hal itu juga bisa menggangu kelancaran lalu lintas di sekitar gedung pertemuan tersebut. Akhirnya, beberapa wakil demonstran menemui rektor di kantornya.

Aksi itu dipimpin oleh koordinator lapangan Bedit Nana Sembodo. Mereka tetap menuntut rektor untuk menolak rencana kampus Unsoed dijadikan BHP pada 2010. Selain itu, mereka juga menolak RUU BHPMN, dan meminta dana persatuan orang tua mahasiswa (POM ) dihapus.

Tidak hanya itu, demonstran juga meminta rektor memperjelas status program studi, menolak penggabungan FISIP dan Program Studi Bahasa dan Sastra serta penghapusan sumbangan pengembangan institusi (SPI).

''Tahun ini, kami mendengar dana POM dinaikkan rata-rata menjadi Rp 2 juta per mahasiswa. Informasi yang kami himpun, tahun 2006 dana POM yang terkumpul mencapai Rp 7 miliar,'' kata Bedit dalam orasinya.

Setelah acara wisuda selesai, mereka juga membubarkan diri dengan tertib. Namun mereka akan terus melakukan aksi susulan kalau pihak kampus dan tim sosialisasi BHP tetap meneruskan kegiatan sosialisasinya. (G22,shs-71)
Read more ...